127. Jangan menangis ya?

571 93 24
                                    

"belum tidur?"Jaemin tersenyum samar menatap Xiyeon. Ia masih betah memperhatikan kursi belajarnya. Entah apa yang tengah dipikirkannya hingga betah menatapi kursi kosong.
Xiyeon duduk di kasur yang kosong sebelah Jaemin, ikut menatap kursi yang jadi pusat perhatian si anak.

Jaemin melirik Xiyeon yang diam namun ia bisa lihat jika setetes air mata membasahi pipi sang mama.
"Jeno masih terlalu spesial untukmu, Na. Jika boleh jujur, mama juga lelah berpura-pura menjadi papa mu. Setiap melakukannya mama pasti berpikir jika mama tidak seharusnya menjadi papa mu. Mama selalu berusaha untuk menjadi sempurna seperti papa"kepalanya menggeleng pelan, "tapi itu tidak akan pernah bisa.. kan?"

Tangan Jaemin terulur mengusap pipi Xiyeon, "mama sudah berjanji untuk tidak menangis kan?"

Xiyeon mengangguk, memasang senyumnya lebih lebar. "Kamu benar"

"Ah..mama merindukan momen ini. Momen saat kamu merengek pada mama karena tidak ditemani tidur"

"Tidak ya!"
Xiyeon mendorong tubuh Jaemin untuk berbaring dan mengusap kepala anaknya berulangkali, "tidurlah. Besok kamu harus sekolah. Mama yang akan mengantarkan mu"

"Tidak tidak..mama pergi saja untuk bekerja. Aku akan naik sepeda"
Xiyeon menggeleng kepalanya, "besok mama libur. Mama akan mengantarkan mu naik bis, oke?"

Jaemin hanya mengangguk kaku, menatap Xiyeon yang telah keluar dari kamarnya. "Ah sial.. bagaimana aku bisa menagih kopi hasil taruhanku dengan Chenle nantinya..."
Jaemin menendang-nendang selimutnya, padahal besok Chenle yang akan mentraktirnya.

"Aish.."

Jaemin dengan cepat tertidur, apalagi penghangat ruangan yang membuat udara dingin tidak menyentuh kulitnya.
Xiyeon menatap Jaemin dari celah pintu, ia juga mendengarkan ucapan Jaemin yang menyebut-nyebut tentang kopi. Biarlah, selama tidak membuat anak itu bolak-balik masuk rumah sakit dan tidak terlalu sering meminumnya. Xiyeon kembali menutup pintu kamar Jaemin, matanya kini menatap kearah lantai bawah. Kakinya seakan melangkah sendiri menuju dapur, tangannya mengusap meja makan dirumahnya itu.

Xiyeon menutup mulutnya agar isakannya tak terdengar, ia sudah duduk di lantai dan menangis. Banyak yang memujinya jika dia adalah wanita yang kuat,
Lihatlah. Itu hanya saat mereka lihat, Xiyeon bahkan sama rapuhnya dengan Jaemin. Kepalanya menoleh untuk melihat ke arah kulkas. Kertas itu, kertas bertuliskan kata-kata penyemangat masih tertempel disana. Ditempel menggunakan magnet karena kertasnya sudah tidak lagi menempel. "Kenapa.."

"Kau berjanji melihat Jaemin dewasa bersamaku. Kau berjanji memeluk Jaemin saat dia berada di perguruan tinggi nanti, kau berjanji akan bersamaku Jeno..."

Intinya, Xiyeon tidak menangis sendirian malam itu.
Jaemin hanya berpura-pura tidur, ia penasaran kenapa Xiyeon sering tidur larut malam. Ia hanya duduk di anak tangga dengan air mata yang terus mengalir, tanpa isakan sedikitpun.
"Papa bilang tidak akan membuat mama menangis kan?"
Dia berdiri dan mengusap pipinya, menghampiri Xiyeon lalu berjongkok dihadapan wanita yang tengah menangis itu.

Tangannya menarik tubuh Xiyeon dan memeluknya. Haechan benar, tidak ada yang bisa menguatkan Xiyeon selain dirinya.
Jaemin membiarkan mamanya menangis, masa bodoh dengan bajunya yang basah nanti. Xiyeon lebih butuh pelukannya sekarang. Jaemin mengangkat wajah Xiyeon, mengusap air mata mamanya. "Kalau aku melihat mama menangis seperti ini, itu membuatku seperti tidak becus menjaga mama.
Aku sudah bilang, aku yang akan menjaga mama menggantikan papa. Kalau seperti ini aku sama saja tidak bisa menjaga mama sampai sekarang"

"Jangan menangis..yang aku butuhkan sekarang mama yang kuat, mama yang tegas seperti dulu bukan yang seperti ini"
Jaemin mengecup dahi Xiyeon cukup lama, hal yang sering dilakukan Jeno ketika istrinya ini terlihat kelelahan.
"Tidur ya? Aku bakal temenin mama sampai tidur"

***

"Kau melamun.."
Jaemin menoleh, Chenle sudah mengomel disebelahnya karena tak didengarkan.
"Sudah buat permohonan?"

"Permohonan?"

"Salju pertama. Aku sering mendengar jika kita bisa buat permohonan saat salju pertama turun. Kamu sudah melakukannya?"
Chenle mencebik kala Jaemin menggeleng. Temannya memang tidak tau apa-apa sekarang.
"Kamu sudah?"

Chenle mengangguk, menyandarkan punggungnya dan menatap siswa-siswi lainnya. "Saat dirumah sakit. Aku membuat permohonan. Kau mau tau?"

"Itu untukmu"
Jaemin masih memandang Chenle semakin serius. Kenapa harus dirinya?
"Aku berharap jika Na Jaemin ku tidak seperti ini terus. Dia harus bisa sukses dan membuatku bangga karena berteman dengan nya. Aku juga berharap Tuhan selalu menjaga mu, ini mungkin terdengar lucu tapi..kamu spesial untukku. Aku memang banyak berteman namun tidak pernah mendapatkan yang seperti dirimu. Kamu itu...ah, sulit dijelaskan. Aku paham sekarang kenapa papamu benar-benar menjagamu selama 24 jam"

"Aku terkadang membayangkan ucapan mu. Kamu dulu sering berkata kenapa papamu tidak mengajakmu ikut. Aku jadi membayangkan bagaimana jika takdirmu berakhir saat itu juga, aku membayangkan bagaimana jika aku melihat fotomu juga dirumah duka. Sudah aku pastikan aku tidak akan baik-baik saja.
Takdir Tuhan itu tidak seburuk yang kau bayangkan, terkadang ada beberapa hal yang membuat dirimu harus mensyukuri nya. Kau pernah membayangkan jika kamu ikut dengan papamu bagaimana mama mu nanti? Mama mu tidak akan bisa seperti ini Na Jaemin... Sial, kenapa setiap membahasmu aku menangis seperti ini"
Chenle bangkit lalu melirik Jaemin sebentar, "kau tidak boleh gegabah..tidak semua keputusan mu itu baik untuk sekitarnya"

Chenle meninggalkan Jaemin begitu saja dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.
"Na Jaemin itu masih gila ya? Masih sering berteriak-teriak setiap mendengar klakson mobil?"

"Yap..kau benar. Dengar-dengar dia seperti itu karena ayahnya"

"Wah..apa jangan-jangan ayahnya itu lelah mengurusnya? Mengurus anak gila sepertinya. Sayang ya, orangtuanya terkenal tapi dia.."
Tangannya terkepal kala mendengar itu semua. Ia tatap tajam siswa-siswa yang tengah mengobrol itu.
"Tarik kembali ucapanmu"

"Hah? Memangnya siapa kau? Ah.. temannya anak gila itu ya. Kau tau, aku ada rencana bagus. Kau harus ikut"

"Uh.. rencana apa itu sampai kau mengajaknya juga?"
Salah satu siswa itu mendekati Chenle lalu berbisik,
"Ini akan seru"

"Bagaimana jika Jaemin diikat dikursi, ditengah-tengah lapangan dan kita membunyikan klakson mobil disekitarnya. Akan sangat menyenangkan, kau harus bergabung Zhong Chenle"

[]

Tiga part noh tiga part..
Yang ngasih komentar sedikit ya;)
Padahal bacain banyak komentar bikin aku ketawa sendiri.

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang