169. Antara nyata dan alam bawah sadar

1K 116 45
                                    

"demamnya tinggi sekali.. padahal kemarin malam sudah turun"
Jeno mengusap dahi Jaemin yang berkeringat lalu meletakkan handuk basah di dahinya. Wajahnya lebih pucat dari kemarin, dia sempat mengajak Xiyeon untuk membawanya ke rumah sakit tapi Xiyeon bilang demamnya pasti turun setelah dikompres dan minum obat. Jeno ke dapur untuk membuat teh, Xiyeon mungkin lelah karena menangis seharian kemarin.

Xiyeon hanya diam memperhatikan Jeno. Dia beranikan diri untuk memeluk Jeno dari belakang,
Tidak lucu kalau pria dihadapannya ini tiba-tiba tidak bisa disentuh.
Ini nyata, bukan mimpi.

Jeno memutar badannya untuk memeluk Xiyeon. "Maaf membuat mu harus mengurus semuanya, pasti melelahkan"

"Berjanjilah untuk tidak pergi lagi, aku mohon.. Jangan ingkari itu"
Jeno mengangguk, masih memeluk tubuh Xiyeon. Wanita yang selalu ia tunggu saat belum pulang dari rumah sakit, wanita yang selalu ia cari untuk menanyakan dimana bajunya, wanita yang selalu memasakkan banyak makanan untuknya setiap pulang kerja. "Lalu kenapa harus melakukan seolah-olah kamu mati?"

"Bukan urusan ku. Aku juga tidak tau itu. Soo Kyung bilang itu karena ada dokter yang diajak kerjasama olehnya tiba-tiba mengatakan jika aku, Lee Jeno mati. Padahal suami Soo Kyung bilang pada dokter itu jangan katakan apapun karena aku masih hidup, tapi dia malah bilang aku mati"

"Yang waktu itu ikut nanganin kamu?"

"Gak tau.. kenapa? Mau tendang dia?"
Xiyeon tertawa kecil, Jeno masih sama dengan dulu. "Jaemin.. belum membaik, benar?"

"Mereka membuatnya lebih buruk. Mereka membuat Jaemin semakin takut"

"Tak apa.. tidak perlu menyimpan dendam. Aku sudah ada, aku akan membantumu juga Jaemin sekarang"
Xiyeon tersenyum manis, menyandarkan kepalanya di dada Jeno. "Tunggu dulu... Aku tidak tau bagaimana cara memberitahu tentang ini pada ayahku... Tidak mungkin aku tiba-tiba muncul seperti kemarin lagi? Kalian saja pingsan.. kalau appa tiba-tiba serangan jantung tidak lucu"

"Aku yang akan memberitahunya. Tidak perlu khawatir, yang harus kamu khawatirkan itu Haechan.. dia bisa saja memukulmu habis-habisan"

"Ah.. benar juga"

"Berapa kali mereka menangis karena kamu. Kurang ajar memang"

"Biarlah.. Hitung-hitung balas dendam karena waktu itu bilangnya mau traktir makan tapi ujung-ujungnya aku yang bayar. Teman macam apa itu"

***

Jaemin tidak bisa tidur dengan nyenyak, sungguh. Bayangkan mobil Jeno yang hancur hari itu masih ia ingat jelas, ingin rasanya ia mencuci otaknya agar lupa itu.
Bagaimana kalau ini mimpi, bukankah terkadang mimpi terasa nyata? Bagaimana jika sebenarnya dia hanya sedang tertidur nyenyak dan belum juga bangun sampai sekarang. Bagaimana jika Jeno hanya ada karena alam bawah sadarnya saja?

Dia hanya takut, itu saja.

Tangannya meremat wastafel begitu kepalanya terasa berdenyut, jika ini mimpi, Jaemin mau segera bangun daripada lebih lama seperti ini. Karena perlahan dia kembali berharap,
Jika Jeno benar-benar masih ada, sampai sekarang.
"Jaemin, kamu baik-baik saja?"

Jaemin tidak menjawab. Dia fokus memperhatikan dirinya sendiri dalam cermin,
Bangun dasar bodoh.

"Jaemin?"

Ini mimpi,
Papa itu hanya khayalan,
Dia tidak benar-benar disini.
Itu yang dikatakan pikirannya sejak tadi seakan menolak percaya.

Yang berlawanan dengan hati kecilnya yang benar-benar percaya sekarang.

Ini nyata,
Papa itu benar-benar nyata
Dia benar-benar disini.

Menarik nafas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar mandi karena Jeno yang terus menerus memanggil nya. "Kamu gak apa-apa?"

Jeno terkejut saat Jaemin hanya diam namun langsung memeluknya. Anaknya memang sudah dewasa sekarang. Yang dulunya Jaemin hanya setinggi dadanya saja sekarang sudah hampir sama. Jeno menepuk punggung anaknya saat mendengar isakan Jaemin, "kenapa menangis?"

Jaemin menggeleng. Dia terlalu takut, sungguh. Dia takut jika besok Jeno tidak ada dan ternyata ini hanya mimpinya saja. "Anak laki-laki tidak boleh menangis.. itu kata kamu dulu kan"

"Papa tadi mau ajak kamu jalan-jalan.. tapi bingung harus naik apa. Papa gak mungkin maksa kamu naik mobil. Sakit sekali ya waktu itu?"

Tangisannya semakin keras, rasa sakitnya saat itu kembali ia rasakan. Bagaimana tubuhnya yang terasa remuk redam dan hanya bisa menunggu pertolongan. Bagaimana kepalanya yang terasa pusing berkali-kali lipat karena membentur jalan dengan keras. Bagaimana dia harus melihat mobil yang baru menabraknya pergi tanpa berniat menolongnya.
"Papa tau itu. Tenang saja.. papa sudah ada disini. Siapapun tidak ada yang boleh menyakiti anak papa sedikit pun"

"Banyak sekali, papa.."adunya. Dia masih memeluk Jeno untuk menyembunyikan wajahnya.
"Siapa? Berani-beraninya menyakiti anak papa"

Jaemin hanya tidak tau jika Jeno mati-matian menahan tangisannya. Dia tidak ingin melihat Jaemin semakin sedih saja. Jeno yang selalu maju setiap ada yang berani menyakiti anaknya tapi selama ini dia sendiri yang membiarkan orang-orang menyakitinya. "Mereka bilang papa gak bakal balik lagi..."

"Papa sudah disini. Tidak perlu memikirkan hal itu lagi oke?"

"Aku jadi anak nakal karena papa gak ada.."
Jeno diam, mencoba memahami ucapan Jaemin. "Aku mukul temen sendiri di kelas.. aku berani bentak orang yang lebih tua.. berani bentak guru.. aku juga sering bentak mama.. padahal papa sering bilang aku harus jadi anak baik.."

"Semuanya pasti punya alasan bukan? Yang pertama, kenapa?"

"Dia... Dia bilang papa sengaja bikin mobil papa tertabrak.. gak bener kan?"

"Kalau papa melakukan itu papa pasti sudah benar-benar tidak waras. Lalu?"

"Ibunya marah.. tapi dia bentak mama. Guru juga bela orang lain tanpa mau dengerin penjelasan aku.."

"Tapi kamu tau itu salah bukan?"

Jaemin menganggukkan kepalanya, "maaf.."

"Kenapa sering bentak mama?"

"Aku pengen papa pulang... Mama selalu bilang papa gak akan pernah bisa pulang lagi gimanapun caranya. Mama bilang papa udah pulang, tapi bukan kesini."
Sial, Jeno tidak tahan lagi. Seberapa banyak ia menyakiti Jaemin selama ini sebenarnya.

"Papa bilang mau pulang... Papa bilang mau kasih aku hadiah banyak banget.. tapi kenapa gak pulang? Kenapa malah cuma kasih boneka? Kenapa bukannya papa yang ngasih langsung?"

Jeno tersenyum tipis sembari memeluk Jaemin. Dia kehabisan kata-kata. Jeno lah yang sudah membuat Jaemin berharap dengan janjinya. Dirinya sendiri yang membuat Jaemin harus menangis setiap harinya.
"Udah.. jangan nangis lagi. Dari kemarin kamu nangis terus, matanya bisa sakit. Mau jalan-jalan sebentar? Sambil nunggu mama pulang dari rumah sakit"

Jaemin bingung. Ia akui masih terlalu takut untuk menaiki mobil apalagi Jeno disini. Bagaimana kalau kejadiannya terulang?
"Kita jalan kaki. Gak perlu naik apapun. Papa lagi gak mau, jadi jalan kaki aja gak apa-apa kan?
Sekalian cari udara segar. Papa udah lama gak jalan-jalan berdua doang sama anak papa. Kangen banget rasanya"

[]

Sudahi sibuk mu,
Mari menggalau bersama.

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang