106. Xiyeon harus kuat

757 115 12
                                    

Sudah lewat tiga hari sejak kematian Lee Jeno. Orang-orang mulai bangkit kembali setelah harus menerima kehilangan salah satu bagian dari mereka.
Tidak dengan Na Jaemin. Anak itu tidak keluar dari kamar sedikitpun, hanya memakan makanannya sekali dan itu pun tidak habis. Setiap malam, Xiyeon selalu bisa mendengarkan teriakan demi teriakan anaknya didalam kamar sana, memanggil papanya berulang kali berharap keajaiban terjadi. Si malaikat kecil masih berharap papanya pulang dan memeluknya, mengatakan semua ini baik-baik saja dan sebenarnya hanya tipu daya, hanya mimpi.

Xiyeon sendiri yang melihat jasad suaminya, Xiyeon sendiri yang melihat bagaimana Jeno mulai dimakamkan. Susah untuk mengatakan jika semuanya hanya mimpi pada Jaemin, ini terlalu nyata untuknya. "Jaemin..kamu belum makan hari ini. Makan ya?"

"Nanti kamu sakit..mama bawain makanan kesukaan kamu. Dimakan ya?"

Jaemin menulikan telinganya, tubuhnya masih meringkuk disudut ruangan bersama boneka-bonekanya. Mereka yang menjadi saksi bisu atas cerita Jaemin selama ini. Langit juga sepertinya tidak suka melihat malaikat kecil Na seperti ini, terbukti selalu mendung setiap hari. Matahari seakan disembunyikan oleh awan-awan gelap disana. Tidak ada lagi teriakan Jeno yang menyuruhnya untuk makan. Kamar Jaemin sudah tidak berbentuk, buku-buku yang berserakan bahkan robek. Kasurnya sama berantakannya, bahkan hiasan berbentuk angsa yang terbuat dari kaca sudah pecah tak berbentuk, hiasan yang Jong-hoon hadiahkan pada hari ulang tahunnya tahun kemarin.

Ulang tahun,
Hari ini ulang tahunnya, ulang tahun si kecil yang sudah benar-benar kecewa pada dunia. "Papa...Nana mau kue...mau kue doraemon yang pernah papa beliin.."lirihnya memeluk boneka Doraemonnya yang basah oleh air mata.
"Papa..Nana ulang tahun. Nana mau kado..Nana mau dipeluk papa aja.."

Jaemin menyandarkan kepalanya pada dinding, ini sudah kelima kalinya kepalanya berdenyut, telinganya berdenging setiap kepalanya sakit. Selalu seperti itu sebelum gelap semuanya. Jaemin selalu seperti itu sekarang, ia menangis, merasa sakit lalu pingsan. Tidak ada yang tau jika Jaemin sering seperti ini.
Xiyeon juga masih berusaha untuk mencari kunci cadangan kamar Jaemin yang diletakkan oleh Jeno entah dimana. Ia bongkar kamarnya hanya untuk mencari kunci itu, berharap bisa segera memeluk Jaemin yang tak kunjung menampakkan dirinya.

Chenle juga datang berusaha membujuk Jaemin, namun yang didapatnya hanyalah makian dari Jaemin yang menyuruhnya untuk pergi. Setiap orang tidak ada yang berhasil membuat Jaemin keluar dari kamar, bahkan Xiyeon sendiri tidak bisa. "Kau lihat kan? Anakmu seperti ini sekarang"

Xiyeon menatap foto Jeno yang masih berada di dinding kamar nya, foto saat mereka melakukan pemotretan bersama Jaemin. Xiyeon kembali berusaha untuk membuka pintu kamar Jaemin yang lagi-lagi gagal. Bahkan Xiyeon sampai berniat memanggil tukang untuk membongkar pintu itu. Xiyeon kembali mencari kuncinya. Ada, dia mendapatkannya berada di dalam kotak yang dipenuhi barang-barang adik iparnya.

"Jaemin.. sayang mama masuk ya?"
Dengan tangan bergetar Xiyeon membuka pintunya, terkejut melihat isi kamar Jaemin yang sudah tak berbentuk. Ia memekik melihat Jaemin yang sudah tidak sadarkan diri di sudut ruangan, wajah pucat nya benar-benar membuatnya berbeda. Apalagi melihat bercak darah di telapak kaki Jaemin yang kemungkinan berasal dari luka tertusuk serpihan kaca. Xiyeon berusaha menelpon Mark ataupun Haechan sembari memeluk Jaemin, tubuhnya begitu dingin dipelukannya. "Jangan seperti ini...mama takut, Na"ucapnya tenang.

Iya, Xiyeon berusaha agar bisa tenang dan tidak membuat keadaan lebih buruk.

***

"Aku yang akan membereskan kamar Jaemin, diam saja disini. Jaemin bangun pasti mencarimu"Xiyeon mengangguk. Haechan sudah pergi dengan Somi menuju rumah Xiyeon, untuk membereskan kamar Jaemin.

Kaki Jaemin sudah terbalut perban, lukanya cukup dalam dan untungnya tidak infeksi. Nafasnya begitu tenang seperti biasanya, tapi Xiyeon yakin itu hanya saat tidur.
Hanya saat Jaemin tidurlah anak itu bisa beristirahat setelah berteriak-teriak memaki dirinya ataupun memaki orang lain. Berkali-kali terdengar Jaemin menyalahkan Tuhan karena mengambil Jeno.
Xiyeon usap kepala Jaemin lembut, dia juga tidak tau harus menyalahkan siapa disini. Entah ia menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan seperti Jaemin, menyalahkan dirinya sendiri seperti Mark.
Xiyeon tidak tau. Sekuat tenaga ia berusaha tegar karena ia yang akan menjadi rumah untuk sang anak sekarang. Menggantikan peran Jeno perlahan yang walaupun Xiyeon yakin tidak akan pernah bisa ia lakukan.

"Jaemin harus tenang lebih dulu. Kita coba ajak dia pelan-pelan ke psikiater"tawar Mark memberikan segelas teh hangat untuk Xiyeon. Jujur, pria itu takjub melihat Xiyeon. Wanita itu hanya menumpahkan air matanya saat hari pemakaman, hari-hari berikutnya wanita itu terlihat benar-benar kuat seakan tembok yang tidak bisa dirobohkan. "Maaf kalau agak lancang, aku takut imbasnya ke mentalnya. Dia baru kelas 7 dan sebentar lagi akan naik kelas. Aku takut dia tidak bisa berkegiatan seperti biasanya dalam kondisi seperti ini"

"Ini tidak akan mudah. Kamu tau sendiri bagaimana Jaemin kan?"
Mark mengangguk pelan, ia paham betul anak itu seperti apa.
"Kalau dia bangun, biarkan istirahat dulu. Panggil aku kalau dia mulai tidak tenang, mau tidak mau aku harus memberikan obat penenang padanya. Dia butuh istirahat total"

Memang sejak Jaemin mengatakan ia benci pekerjaan mamanya, Xiyeon memutuskan untuk cuti entah sampai kapan. Mark bahkan menyarankan Xiyeon untuk tidak mengurus pekerjaannya. Jaemin harus menjadi nomor satu untuk saat ini, hanya Jaemin.
"Lihat, mama bisa kuat seperti ini karena kamu. Jadi mama yakin, kamu juga bisa kuat seperti mama. Mama juga yakin papa tidak akan suka melihatmu seperti ini"

***

"Satu suap lagi saja ya?"Jaemin menerima suapan terakhir dari Xiyeon. Anak itu hanya memakan empat suap bubur, padahal sejak kemarin ia tidak makan. "Maag mu kambuh karena tidak makan, sakit ya?"

Jaemin mengangguk, pandangannya kosong menatap televisi yang menyala, menayangkannya kartun favoritnya. "Minum dulu, mama kasih minyak kayu putih ya biar perutnya gak sakit?"

Jaemin hanya diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Xiyeon meringis pelan melihat perut Jaemin yang sedikit memar, entah apa yang dilakukan anak nya itu. "Jaemin mau es krim gak?"

Jaemin menoleh, menatap mamanya yang tersenyum manis.
"Hari ini, mama mau beliin banyak es krim buat Nana. Tadi mama udah telpon kak Renjun buat beliin. Mama gak bisa beli sendiri karena takut kamu bangun"

"Ini"Jaemin menatap boneka Doraemon yang cukup besar. Itu boneka yang Jeno seharusnya berikan padanya, sudah dicuci bersih, sudah dijahit karena ada yang robek, sudah wangi seperti baru beli. "Katanya mau temenin Nana tidur"

"Nana! Lihat kakak bawa apa!"Renjun masuk dengan semangat. Memberikan plastik besar berisi es krim cookies and cream berukuran besar. Jaemin menoleh menatap Xiyeon seakan meminta izin. "Iya sayang, boleh. Tapi jangan terlalu banyak dulu, perut kamu takutnya kaget nanti karena langsung dikasih banyak es krim"

Jaemin menerima sendok yang diberikan Xiyeon, ia mulai memakan es krim nya sedikit demi sedikit. "Nana mau apalagi? Biar kakak beliin. Sekalian kakak beli makan, belum makan siang hehe"

"Belum? Kamu ini gimana sih, kalau sakit gimana?"
Renjun terkekeh melihat Xiyeon marah padanya. Menatap Jaemin menunggu jawaban, "yasudah. Kakak beliin banyak camilan aja buat kamu oke?"

[]

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang