"aku hanya ingin mencoba menggantikan posisi Jeno untuk Jaemin, dia masih butuh sosok ayahnya"lirih Xiyeon. Menatap teman-temannya dihadapannya.
"Gak ada yang boleh gantiin papa"Keempatnya kompak menoleh menatap Jaemin yang sudah menatap mereka tajam. Tangannya mengepal kuat dengan air mata yang sudah berlinang dibawah matanya. "Aku gak pernah izinin itu"
"Na..mama hanya-"
"Sekalipun itu mama. Aku gak pernah mau papa di gantiin. Papa tetap papa dan aku yang akan menunggunya pulang, sendiri!"
Jaemin berjalan mundur ketika Mark hendak menghampirinya, "jauh-jauh dariku""Jaemin dengarkan paman dulu"
Punggung Jaemin sudah menyentuh meja makan. Tangannya dengan cepat mengambil gelas yang ada, membantingnya kuat hingga pecah. "Jaemin!"Xiyeon mulai panik melihat Jaemin memungut pecahan gelas itu. Merematnya kuat hingga terlihat darah mulai menetes. Ia arahkan pecahan kaca ditangannya pada siapapun yang mendekat. "Jahat ya? Papa digantiin gitu aja. Kalian kira aku suka? Gak! Papa gak pernah bisa ada yang gantiin sekalipun itu mama atau kakek. Papa, akan pulang!"
"Jaemin letakkan itu!"bentak Mark sudah mulai kehabisan kesabaran, apalagi melihat darah yang terus menetes dari telapak tangan Jaemin. Mark berlari mendekati Jaemin, masa bodoh dirinya akan terluka karena pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Dipeluknya tubuh Jaemin yang mulai melemas diiringi tangisannya, kaca ditangannya terlepas begitu saja memperlihatkan luka sayatan yang begitu dalam.
"Tidak..tidak ada yang menggantikan papa oke? Tidak akan ada yang menggantikannya. Jangan seperti ini ya?"Jaemin meremat lengan baju Mark hingga kemeja putih pria itu kini bernoda darah. Menatap pecahan kaca di lantai yang dia sebabkan. "Papa...bakal pulang kan?"
"Iya..kita tunggu papa pulang ya? Tapi kamu gak boleh kayak gini, gak boleh gegabah kayak gini. Kamu sama aja bikin diri kamu tambah sakit, lihat? Tangan kamu berdarah"Mark menggenggam pelan tangan Jaemin, menunjukkan telapak tangan yang sudah berdarah pada anak itu. "Sakit kan? Makanya gak boleh gini ya? Kamu udah sakit dan nanti gimana kalau makin sakit karena kamu sendiri."
Jaemin masih menempelkan kepalanya di dada Mark, menatapi telapak tangannya sendiri. "Kita ke kamar kamu ya? Paman obati lukanya"
Jaemin menggeleng, ia terlalu lelah untuk berjalan sekarang. "Pindah ke sofa aja, disini masih banyak kaca nanti tambah banyak lukanya oke?"
Xiyeon masih syok melihat Jaemin tadi, bahkan saat anak itu melemparkan gelas hingga pecah. Rasanya ingin menangis melihat anaknya sendiri seperti ini sekarang, lagi-lagi ia gagal menjaga Jaemin. "Tenanglah, aku sudah bilang dia hanya masih syok dengan keadaan. Seiring waktu Jaemin juga akan mulai bisa mengontrol dirinya lagi, ya?"
Haechan menatap Xiyeon sebentar lalu kembali menyapu serpihan kaca dilantai. Matanya menatap tetesan darah di lantai, Haechan sama terkejutnya dengan Xiyeon setelah melihat Jaemin. Nasib baik ia tidak jadi membawa Areum kesini.
Jaemin masih berada dipelukan Mark, pria itu juga sudah mulai mengobati tangan Jaemin secara pelan-pelan. Lukanya cukup dalam karena Jaemin menekan kaca ditangannya kuat sekali.
"Lihat, tangan yang papa kamu jaga selama ini jadi terluka karena kamu terlalu dikuasai amarah. Papa kamu dulu paling telaten jaga kamu, dia sering usapin tangan kamu sama krim dulu. Waktu kecil kulit kamu masih sensitif, tiap malem nangis karena tangannya gatel jadi papa kamu yang selalu usapin krim ditangan kamu ini. Masa kamu dengan mudahnya ngerusak tangan kamu yang udah papa jaga selama ini...""Paman ngerti kok perasaan kamu kayak gimana. Kamu masih takut makanya seperti ini. Tapi kalau bisa jangan lampiaskan ketakutan kamu seperti ini, lama-lama kulit kamu banyak yang luka. Kalau takut nangis aja gak papa, teriak sekencang-kencang nya juga gak papa. Jangan kayak gini, kasihan mama harus sedih lihat tangan kamu luka kayak gini. Bukan mama doang yang sedih, papa kamu juga. Papa kamu bakal nangis liat anaknya terluka kayak gini"Jaemin masih diam, menatap Xiyeon yang tengah meniup secangkir teh untuk Jaemin yang masih panas.
"Minum dulu ya? Biar badannya hangat"
Mark tersenyum kecil melihat Jaemin, anak pintar itu bisa menyimak ucapannya dengan baik. "Sudah, nanti kalau sakit lagi bilang sama mama atau paman oke?"Jaemin mengangguk, ia masih betah di pelukan Mark. Rasanya hampir sama dengan Jeno. "Besok paman mau ajak kak Seojun kesini, boleh?"
Jaemin kembali mengangguk, matanya menatap perban yang sudah menutupi luka ditangannya. "Padahal kamu dulu paling gak tahan sama luka bahkan yang kecil. Waktu tangan kamu gak sengaja kena pisau sampe nangis, inget gak?"
Jaemin tersenyum kecil mendengar ucapan Xiyeon. Ia ingat, hari itu Jaemin memaksa Xiyeon agar mengizinkannya membantu memasak. Memang tipikal anaknya tidak mau diam, Jaemin tidak bisa fokus saat memotong sayuran hingga jarinya tidak sengaja tersayat pisau. Anak itu menangis histeris memegangi jarinya yang mulai mengeluarkan darah. Xiyeon menatap Jaemin yang tak bersuara, anak itu sudah tertidur dengan tangannya yang menggenggam kemeja Mark.
"Kau tau..Haechan saja yang tertusuk jarum sampai menangis. Jaemin lebih kuat dari dia""Lah? Kata siapa?"
Somi memutar bola matanya, itu memang benar kok.
Mark tertawa kecil, menatap Jaemin yang sudah tertidur. "Jika paman bisa menukar sesuatu, paman lebih baik menukarkan nyawa paman untukmu Na"***
Jaemin demam tinggi, saat bangun tadi Jaemin mengeluh kepalanya pusing, saat tidurnya juga terus meracau memanggil Jeno. Xiyeon hanya bisa menenangkan Jaemin, ia tidak tau harus berbuat apa jika sudah berhubungan dengan Jeno. Wanita itu mengusap telapak tangan Jaemin yang terbalut perban karena anak itu sejak tadi seperti menahan sakit sembari memegangi tangannya. "Jangan sakit terus... kamu jadi langganan sakit seperti ini"
Xiyeon mengusap kepala Jaemin, tertegun melihat Jaemin yang tersenyum tipis. Bibir keringnya menyerukan kata papa sembari menggenggam tangan Xiyeon. Wanita itu juga tidak berhenti mengusap kepala anaknya, membiarkannya tidur nyenyak. Ponselnya bergetar menampilkan seseorang yang menelponnya, dia berdecak. Padahal Xiyeon sudah lama cuti tapi masih saja ada perawat yang terus menghubunginya.
"Saya sudah bilang saya tidak bekerja. Saya punya tanggung jawab yang lain jadi tidak punya waktu untuk mengurus tentang rumah sakit""Maaf, tapi pasien ini yang meminta untuk diperiksa oleh ibu. Saya sudah mengatakannya berulang kali tapi dia tetap memaksa"
Xiyeon memejamkan matanya, sudah dibuat bingung sekarang. Ia tidak tega meninggalkan Jaemin namun prinsip rumah sakit juga yang tidak mengizinkannya untuk mengabaikan pasien. "Tidak bisa besok? Ini sudah malam. Anak saya sudah tidur, saya tidak mungkin meninggalkan anak saya begitu saja kan?"
Terdengar perawat itu berbicara dengan sang pasien. Xiyeon berdoa agar pasien itu mau dan tidak perlu meninggalkan Jaemin sekarang. "Maaf, tapi besok pasien sudah keluar kota. Katanya ini mendesak dan tidak bisa besok"
"Anda sudah membuat saya kehabisan kesabaran sekarang. Saya kesana"Xiyeon memutuskan telponnya sepihak, melemparkan ponselnya asal. Ditatapnya Jaemin yang masih menggenggam tangannya. Xiyeon kembali mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tatapan yang tak lepas dari Jaemin,
"Somi, aku butuh bantuan mu malam ini"[]
Sumpah ya,
Aku ngetik ini...berasa beda gegara gak ada Jeno.
Woy bapak terhormat Lee Jeno, balik ngapa pak. Anakmu itu anakmu kasian..
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Him Nana
Fanfiction[Sequel dari 'Sweet Night'] Tepat di tanggal 13 Agustus, Seseorang lahir dan menambah cerita dihidup nya. Membuatnya bisa kembali merasakan sosok seseorang yang berharga di hidup nya "Kalian percaya adanya reinkarnasi?" [Cerita yang paling panjang y...