104. Explain the truth

767 109 28
                                    

"kecelakaan"

Mark memukul meja dihadapannya, satu kata yang terlontar dari mulut Xiyeon membuatnya semakin murka. "Panggilan, ada yang kecelakaan, aku kira...aku kira itu.."

"Tenangkan dirimu, jangan tergesa-gesa.."

"Aku akan mengecek CCTV, aku benar-benar berharap pelakunya mati"
Mark keluar begitu saja dari ruangan, meninggalkan Xiyeon, Haechan dan Somi. Wanita itu masih kacau sampai sekarang, Somi tidak yakin Xiyeon akan cepat tenang. "Apa ada yang terluka lagi?"

Xiyeon menggeleng, "tabrak lari"

Haechan mengalihkan pandangannya, mau menangis tapi jika menangis itu malah membuat Xiyeon ikut terpuruk. "Aku. Aku yang melihatnya menangis didepanku. Menangis memanggil ku. Menangis memanggil Jaemin."

Xiyeon menatap Jaemin yang berdiri di tangga, ia mendengarkannya sejak tadi. Anak itu berjalan pelan mendekat pada sang mama, menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Xiyeon. Jaemin tidak lagi bisa menangis, air matanya seakan kering. "Nana nakal ya? Papa pergi karena Nana nakal ya?"

Xiyeon mengecup kepala Jaemin, berusaha kuat dihadapan anaknya. Kenyataannya kini ia harus menjadi sosok kepala keluarga bagi keluarga kecilnya, menjadi tulang punggung menggantikan Lee Jeno. "Mama minta maaf ya..putra mama yang paling hebat.."

Xiyeon memasang senyum, senyum untuk memalsukan ketakutannya. Bukan ketakutan terhadap bagaimana ia menjadi tulang punggung keluarga. Tapi ketakutan bagaimana melihat anaknya tumbuh didalam rasa bersalah seperti ini. Xiyeon yakin sekali Jaemin tidak akan baik-baik saja kedepannya. Haechan menatap ponselnya yang berdering, Mark menelponnya.
"Halo?"

"Truk. Itu yang menabrak Jeno. Mobil Jeno terguling setelahnya. Tidak ada yang menolongnya beberapa menit sebelum seorang pesepeda melihatnya."

"Kita temui pesepedanya, jadikan saksi. Aku tidak terima seperti ini, Jeno tidak pantas menerimanya"

"Jalur hukum?"

"Apapun itu, Jeno tidak pantas mendapatkannya. Dia anak baik dan harus mendapatkan yang terbaik juga"

"Oke...kita coba bawa ke jalur hukum."
Haechan mengangguk, menatap ponselnya yang sudah mati. "Bagaimana?"

"Kita bawa jalur hukum"

"Hukum? Yang benar saja.."Haechan menatap Somi tajam. "Lee Jeno, dia tidak pantas mendapatkan semua ini. Aku dan Mark akan membawa ke jalur hukum, tapi aku butuh persetujuan kalian dulu"Haechan menatap Xiyeon yang masih menenangkan Jaemin. "Jaemin yang akan memberi jawaban"

Anak itu terdiam, menatap kosong meja putih dihadapannya. "Aku setuju"

***

Jaemin benar-benar jatuh. Anak itu sama sekali tidak berkata apa-apa selama tidak ditanya. Anak itu selalu melamun menatap foto sang papa. Boneka-boneka pemberian Jeno ia letakkan di sudut seolah boneka itu memiliki sesuatu yang membuatnya tidak boleh disentuh.
Jaemin hanya makan sekali dan itupun hanya roti, tidak mau keluar kamar seharian.

Ia benci semuanya. Benci pekerjaan dokter, benci kendaraan yang membuat ayahnya harus merenggut nyawa. Bahkan Jaemin perlahan membenci hal-hal yang ia lakukan bersama Jeno. Sayangnya hampir semua yang ia lakukan bersama Jeno. Jaemin juga mulai membenci neneknya, kenapa harus membawa Jeno ikut bersamanya. Kenapa harus Jeno yang mengalami hal tragis itu, kenapa harus Jeno, kenapa kenapa kenapa.

Tidak ada lagi yang menemaninya tidur, tidak ada lagi yang menyanyikan lagu sebelum tidur, membuatkan secangkir coklat panas, menemaninya bermain hujan, membantunya mengerjakan tugas, membuatnya tertawa setiap hari. Jaemin kehilangan sosok yang membuatnya semangat menjalani hidupnya.
Tidak ada lagi pria yang bisa ia pamerkan pada dunia, ia pamerkan betapa bangganya memiliki seorang ayah yang hampir mendekati kata sempurna itu. Jika bisa mengulang waktu, Jaemin bersumpah akan membuat Jeno tidak pergi hari itu.

Tidak ada kata maaf lagi jika sang papa melakukan kesalahan, tidak ada lagi ucapan semangat setiap berangkat sekolah.
"Papa...Nana takut sekarang..."

"Nana takut pada dunia..Nana takut jika tidak ada papa"

"Nana harus apa? Nana mau menyusul papa saja boleh?"Jaemin terkejut begitu tubuhnya dipeluk Mark. Pria itu menangis sekarang. "Jangan, jangan melakukannya...jangan aku mohon jangan"

"Tapi Nana takut..Nana takut pada apa yang ada di luar sana"

"Paman. Paman yang akan melindungi mu, paman yang akan menjagamu"

"Aku butuh papa bukan pelindung. Paman tidak bisa menjadi papa. Kakek tidak bisa mama juga tidak. Papa cuma satu dan aku cuma butuh papa."
Jaemin menundukkan kepalanya, pusing menyerang kepalanya lagi sebelum tubuhnya ambruk ke atas lantai. Hanya panggilan Mark yang ia dengar sebelum semuanya gelap dan sunyi.

"Papa...Nana mau mengaku boleh? Sebenarnya Nana selama ini lelah juga loh. Nana cuma tersenyum untuk papa saja, kalau sekarang Nana harus tersenyum untuk siapa? Nana tidak mau berbagi senyum lagi"

***

"Jaemin lebih butuh dukungan dibandingkan appa"Jong-hoon berucap. Pria itu terlihat begitu tegar dan pandai menyembunyikan lukanya dibandingkan Xiyeon. "Percayalah, appa baik-baik saja. Jaemin lebih butuh kalian semua"

"Appa ke atas dulu ya."
Jong-hoon masuk ke kamar Jaemin, anak itu duduk menyandarkan punggungnya pada kasur dengan banyaknya boneka dihadapannya. Ia duduk disebelah Jaemin, menarik tubuh anak itu ke dekapannya. Membiarkan Jaemin menyandarkan kepalanya di dadanya.
"Nana tau tidak? Kakek hari ini sama seperti Nana. Kakek juga bingung harus apa. Tapi Nana tidak boleh seperti ini...kakek tidak mau Nana sakit terus menerus"

"Papa... waktu Nana peluk papa gak ada suara kayak gini"ujarnya begitu mendengar degup jantung Jong-hoon. "Sayangnya kakek...kuat ya? Nana nya kakek hebat.
Kuat terus ya cucu kakek.."

"Gak bisa...papa gak ada..aku gak tau caranya kuat.."

"Bisa, Nana pasti bisa. Pasti. Kita berjuang sama-sama ya?"

"Enggak semuanya bisa...gak semua hal bisa dilewatin dengan kalimat kayak gitu"

"Cucunya kakek sudah besar. Kita berusaha sama-sama pasti bisa, kita berusaha bertiga. Kamu, kakek, dan papa.
Kita bertiga sama-sama usaha ya?"

"Kakek aja..Nana udah lelah"
Jong-hoon menepuk-nepuk punggung Jaemin, menatap langit yang sepertinya marah. Awan hitam berbondong-bondong menutupi sinar matahari.
Dunia seakan marah dengan kabar ini, kemarin saja angin besar dan hujan deras. Dunia pun tidak menerima takdir ini.

Jaemin terlalu lemah untuk menopang takdir ini, namun tidak ada yang bisa membantunya.
Hanya Lee Jeno, hanya pria itu yang bisa membantunya untuk menopang hal-hal besar dihidup anak itu.
"Kakek mau coba jadi pengganti papa sebentar aja..kakek mau coba jadi rumah buat Nana. Tempat Nana cerita, boleh?"

[]

1. Ini sudah alurnya
Maaf kalau memang ini diluar ekspektasi kalian, sebelum buku ini publish alur yang aku bayangin udah gini. Walau aku coba buat ganti alurnya itu rumit karena dari awal udah dibuat yang menjurus ke hal ini

2.Endingnya belum pasti, sepertinya masih jauh karena ceritanya belum berakhir disini.

3.Aku tau kalian kecewa berat, aku juga kecewa sama diriku sendiri tapi ini bener-bener emang udah rencana matang nya selama ini. Nanti aku jelasin kode-kode yang aku maksud waktu itu.

Aku juga sama gak terimanya dengan ide yang aku buat,
Asal kalian tau juga ini yang bikin aku pusing dua hari ini. Aku tipikal anak yang gak bisa ngelupain hal yang udah ngeganjel dihati gitu aja.

Jadi...
Aku minta maaf sekali lagi..
Kita juga sama-sama kecewa disini

Ini otakku minta aku cincang sumpah, bikin kecewa kalian


Kita nangis bareng disini

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang