166. Dipermainkan oleh takdir

729 103 22
                                    

"istirahat lah dulu, sejak tadi aku tidak melihatmu duduk sedikitpun"
Jaemin menggeleng, masih tersenyum meladeni pembeli dihadapannya itu.
"Terimakasih, silahkan datang kembali"

"Sudah, istirahat sana"

Jaemin yang ingin menjawab Hyunjin seketika terdiam begitu matanya menangkap siluet orang diseberang jalan lalu menghilang begitu saja begitu ada bis yang lewat. "Jaemin?"

"A-ah.. iya, gantikan aku sebentar"

Jaemin masih memikirkan yang tadi, bagaimana dirinya menatap sosok yang mirip Jeno diseberang jalan tadi.
"Tidak, itu hanya karena aku yang terlalu memikirkannya"

"Jaemin, ada yang mencarimu!"

***

Chenle turun dari bis dengan menjinjing tas kecil berisi kotak makan dari ibunya. Katanya sekalian berikan itu pada Jaemin saat tau Chenle mau menemui anak itu.
Matanya menatap ke tiap sudut tempat kerja sahabatnya itu, "cari Jaemin ya?"

"Iya, Jaeminnya ada?"

"Ada, sebentar aku panggil dulu"
Chenle mengangguk lalu duduk di salah satu kursi. "Tumben kesini"

"Nyari kamu, tadi kerumah mama kamu bilang kamu udah kerja lagi. Nih, ada makanan buat kamu"

"Asik.. gak perlu ngeluarin uang"

"Dih.. hitungan ternyata"
Jaemin terkekeh kecil lalu membuka kotak makan yang disodorkan oleh Chenle. "Na"

"Hm?"
Chenle menggeleng. Jujur saja, ia kelewat khawatir dengan kondisi anak didepannya ini. Dia tidak suka jika Jaemin memilih diam disaat dia diberi kesempatan untuk menceritakan masalahnya. Ingin sekali rasanya dia bisa membawa ayah dari sahabatnya sejak kecil ini kembali. Jaemin terdiam begitu melihat mata Chenle berair. Senyum nya mengembang seraya berkata,
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu menangis seperti itu. Aku sudah berhenti"

"Maksudnya?"

"Berhenti berharap pada seseorang yang jelas-jelas sudah tidak bisa hidup lagi."

***

"Tubuhmu masih panas, istirahat lagi saja sana. Biar aku yang memasak untuk Jaemin. Sebentar lagi dia pulang kan?"
Kepalanya mengangguk. Xiyeon masih tetap duduk sembari memperhatikan gelas yang berada ditangannya. "Jaemin, dia pasti sangat bangga memiliki ibu seperti mu"

"Ah.. aku iri melihat keluarga kalian. Benar-benar keluarga impian semua orang. Salut dengan cara kalian mendidik Jaemin sampai bisa sehebat itu. Percaya tidak, Haechan sering memandang remeh Jeno setelah kalian menikah.
Haechan pernah cerita kalau dia pernah beranggapan Jeno tidak akan bisa sehebat itu, katanya Jeno bukan lagi Jeno yang seratus persen sama dengan Jeno sebelum adiknya meninggal. Tapi dia salah, bahkan pria itu jadi lebih hebat berkali-kali lipat. Haechan pernah beranggapan jika anak Jeno tidak akan bisa sangat mandiri setelah melihat perlakuan dari Jeno. Dia berpikir kalian akan menjadi orangtua yang selalu mengekang anaknya. Ternyata dia salah lagi"

"Haechan iri karena itu semua, sejak Areum lahir dia belajar semuanya dari Jeno. Sayangnya Haechan belum belajar lebih banyak sekarang"
Somi mengusap bahu Xiyeon, menatap wanita disebelahnya itu,
"Kau telah bekerja dengan baik, Lee Xiyeon"

"Istirahat, tidak usah khawatir tentang Jaemin. Aku yang akan masak"

"Terimakasih"
Xiyeon bangkit dan menuruti permintaan Somi untuk istirahat. Kepalanya memang cukup pusing, tapi sejak kemarin bawaannya selalu khawatir saat ingat Jaemin. Tidak, Xiyeon tidak bisa sakit. Dia harus kuat, untuk Jaemin.
Tentu saja, demi anaknya.

***

"Besok jadi pergi kemah nya?"

"Ah itu.. aku tidak yakin. Jaemin belum pernah ikut kemah"Felix menatap bingung Chenle, bagaimana bisa? Bukannya sekolah nya pernah mengadakan acara kemah juga?
"Aku tidak tau pasti.. ini berhubungan dengan masa lalunya. Kau ingat?"

"Ah.. cerita itu. Aku ingat. Jadi bagaimana? Aku tidak enak jika pergi tanpa Jaemin"

"Kita keliling-keliling saja mau? Lagipula sudah jarang main bareng. Bisa kali nginep di hotel semalam doang"
Felix menjentikkan jarinya, di setuju dengan ide itu. Sangat-sangat setuju. "Tapi.. mau kemana?"

"Aku jarang main.. kita tanya Jaemin saja. Dia pasti tau tempat-tempat yang seru"
Chenle mengangguk semangat. Rencananya ini sudah disusun sejak seminggu lalu dalam rangka menghibur Jaemin.
Ayolah, anak itu juga butuh rehat sejenak dari sibuknya urusan yang harus ia hadapi.

"Bagaimana kalau saat itu... Jaemin tidak selamat?"

"Apa maksud mu?"

"Kecelakaan itu.. bagaimana kalau Jaemin harus kehilangan nyawa.. mama nya, aku tidak akan bisa memaafkan diriku nanti"

"Tidak usah berdoa yang jelek-jelek. Dia baik-baik saja, aku tau Tuhan masih sayang padanya makanya masih diberi kesempatan. Sudah siang, aku pulang duluan ya? Kakakku mau datang hari ini"

"Oke"Chenle kembali membaca bukunya. Lucu memang karena tiba-tiba Felix yang notabenenya anak yang jarang belajar tiba-tiba mengajak Chenle ke perpustakaan kota. Tadi saat menemui Jaemin juga dia mengajaknya tapi anak itu tidak bisa ikut karena pekerjaannya. Katanya begini,
"Sudah izin lama, jarang masuk, kadang telat datang. Malu kalau hari ini izin lagi"

Chenle pernah meminta izin pada ibunya untuk seperti Jaemin. Tapi malah ditolak mentah-mentah didepan Jaemin sampai anak itu tertawa terbahak-bahak. Karena ya menolak sembari mengejek anaknya sendiri.
"Apa... Ke pantai saja ya"

***

"Aishh.."
Jaemin menatap sebal ban sepedanya yang kempes. Mau tidak mau dia harus pulang dengan berjalan kaki sembari mendorong sepedanya. Terlalu malas untuk memompa ban sepedanya, besok saja.

Di tangannya sudah ada plastik berisi obat yang baru dibelinya untuk Xiyeon. Kakinya melangkah pelan, mendorong sepedanya perlahan. Langkahnya seakan lebih berat dari biasanya, bayangkan jika Jeno ada di posisinya. Ayahnya bisa menipu dunia dengan senyumannya disaat harus memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, belum masalah-masalah lainnya.
"Baru segini saja sudah mengeluh.. papa saja tidak pernah mengeluh"

Ia berhenti melangkah begitu melihat sebuah kertas yang kebetulan mendarat di jalan. Kertas berisi informasi tentang anak yang hilang, entah sudah ketemu atau belum. Ia jadi ingat saat di mall, saat Jeno berlarian panik mencari dirinya yang hanya berdiri sembari menangis.
Baru seperti itu saja sudah menangis, apalagi kalau hilang untuk waktu lama.
Tidak bisa membayangkan seperti apa Jeno nantinya. Jaemin mendongakkan kepalanya setelah melihat kertas tadi, masih belum melangkah sedikitpun. Tangannya bahkan semakin erat memegang stang sepeda nya sampai buku-buku jarinya memutih. Detak jantung nya seakan tidak terkontrol, berdetak dengan brutal hampir meledak.

"Anaknya papa.. sudah besar ya?"

[]

WOE MASA GAK ADA YANG KANGEN NANA NYA JENO AH..
:(

:(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang