122. Kerja bagus, Na Jaemin

563 91 15
                                    

"apa?!"
Haechan yang tengah menyusun puzzle dengan Areum ikut terkejut melihat istrinya berteriak. Ditatapnya wajah Somi yang terlihat panik, "ada apa?

"Kita kerumah sakit sekarang"

Haechan masih belum beranjak, masih menatapi Somi yang sudah kalang kabut. "Ada apa dulu.. tiba-tiba ke rumah sakit"

"Ini Jaemin"

***

Haechan menatap Xiyeon yang terus bergumam. Somi berada disebelahnya, memeluk wanita yang tengah ketakutan itu. Haechan masih memandangi pintu dihadapannya, dia sama terkejutnya setelah Somi menjelaskannya di mobil tadi.
Semuanya memandang Mark begitu pria itu keluar dari ruangan, "J-Jaemin bagaimana? Dia bagaimana?"

"Tekanan darah nya tinggi, Jaemin juga kesulitan bernafas. Apa kau selama ini tidak tau jika Jaemin mengkonsumsi obat tidur?"

Haechan menoleh, menatap Mark serius. "Obat tidur?"

"Dia overdosis. Sepertinya karena dia mengkonsumsi banyak sekali obat tadi malam. Nasib baik kau melihatnya Xiyeon..aku tidak yakin dia bisa selamat setelah memakan begitu banyaknya obat.
Jangan buat dia berpikir terlalu keras apalagi nafasnya yang sekarang masih belum teratur. Jaemin butuh istirahat"

"Papa!"Mark menoleh, anaknya datang bersama Mina. "Jaemin baik-baik saja kan?"

"Iya, dia hanya butuh istirahat total"
Mina menatap Xiyeon yang masih terlihat panik. Menggantikan Somi yang sejak tadi berusaha menenangkan nya, "Jaemin kan sudah baik-baik saja. Tenanglah, kamu juga butuh istirahat"

"J-Jaemin bagaimana?"

"Ada aku, ada Haechan, ada Mark juga.. Seojun juga bisa ikut menjaga Jaemin disini. Somi, tidak keberatan jika kamu yang menemaninya dirumah?"
Somi mengangguk, membantu Xiyeon berdiri. Langkah wanita itu begitu berat meninggalkan tempatnya.
Pagi tadi, Xiyeon hampir dibuat terkena serangan jantung dengan melihat Jaemin yang sudah terbaring di lantai. Apalagi saat melihat botol obat yang merupakan obat tidur sudah berada dilantai, isinya berserakan. Bahkan masih ada beberapa di genggaman Jaemin.

Dia baru saja menyaksikan anaknya sendiri berusaha mengakhiri hidupnya.

Haechan mendudukkan dirinya di kursi, mengusap surai nya kasar. "Kau tau..dia lebih gila daripada Jeno"

"Setidaknya dia bisa diselamatkan. Kau bayangkan saja jika Jeno hari itu berhasil menggantung dirinya. Aku yakin kau tidak akan pernah melihatnya lagi"

"Jadi maksud mu apa hah?! Nyawa Jeno tidak berharga dibandingkan dengan Jaemin?!"Mina panik begitu Haechan menarik kerah baju Mark, mendorong tubuh pria itu hingga menabrak dinding. "Jadi menurut mu Jeno mati tidak berharga dibandingkan dengan Jaemin?!"

"Jangan salah paham dulu, bodoh. Kau tidak bisa mencerna ucapan ku!"

"Hentikan!"
Seojun memandang kedua pria itu sengit, "kalian bukan anak kecil lagi. Tidak bisakah dibicarakan baik-baik saja?"

Keempatnya kini diam. Bergelut dengan pikirannya masing-masing. Apalagi Mark, pria itu sudah kalut sekarang. Ia sendiri yang melihat Jaemin hampir kehabisan oksigen jika ia tidak segera menindaklanjuti nya.
"Aku yang salah. Puas kau hah?!"

Haechan memandang Mark yang berlalu begitu saja. Pria itu lebih menyebalkan disaat seperti ini. Pria yang dulu menemani Jeno setiap harinya kini mendudukkan Jaemin di lantai. Ia baru sadar, secara tidak langsung ia mengatakan jika nyawa Jaemin tidak lebih berharga daripada Jeno tadi. "Maaf..aku tidak bermaksud seperti itu..aku hanya.."

"Emosi. Aku tau, makanya kau harus lebih mengendalikan emosimu"

"Jaemin kita pindahkan ke ICU saja.. istirahat nya benar-benar penting sekarang. Walau dalam keadaan seperti ini aku yakin Jaemin bisa mendengar kita, tidak mau kan jika Jaemin sampai mendengar kalian bertengkar seperti tadi?"

***

Chenle memandangi Jaemin yang masih terbaring. Dengan masker oksigen yang masih terus membantunya untuk bernafas.
"Kau bodoh Jaemin. Kau benar-benar bodoh. Kau manusia terbodoh yang pernah ku temui, Na Jaemin"

"Kau kira nyawamu ada banyak sampai berniat seperti itu?"
Chenle menyentuh kaca yang cukup tebal seakan-akan tengah menyentuh Jaemin. "Kau tau? Daegal merindukan mu. Bukan kamu yang seperti ini, kamu yang dulu tidak pernah mau diam"

"Daegang juga. Kasihan dia jarang bertemu dengan pemiliknya."
Chenle menarik nafasnya, menengadahkan kepalanya agar tidak menangis. Tepukan di bahunya membuat ia menoleh, "he's okay?"

Chenle mengalihkan pandangannya. Bingung menjawab pertanyaan Felix. Satu hal yang ia yakini, Jaemin tidak baik-baik saja sekarang. "Aku terkejut saat kau bilang dia hampir bunuh diri. Anak menyebalkan sepertinya ternyata bisa membuatku takut setengah mati. Aku kira dia mau bunuh diri karena aku memasukkan sebatang rokok ke saku jaketnya"

"Sialan kau"Chenle menendang Felix pelan. Jika saja bukan dirumah sakit ia sudah memelintir kepala temannya itu.
"Sebenarnya masih banyak yang belum kamu tau tentang Jaemin yang sekarang."

"Aku tau semuanya"

"Bahkan tentang pekerjaan dia?"
Chenle memandang Felix terkejut. "Maksudnya?"

"See? Kau bahkan tidak tau tentang itu. Sayangnya aku berjanji tidak akan memberitahu pada siapapun"

"Lee Felix!"
Pemuda itu tersenyum, sengaja membuat Chenle marah.
"Dia bekerja, sebenarnya sudah agak lama. Dia terlalu pintar menyembunyikannya.
Setiap hari, sekitar jam tiga atau empat? Aku lupa jadwal dia. Ingat tempat ku bekerja sekarang? Aku beda jam dengannya"Felix menunjuk Jaemin dengan dagunya. Bahkan Na Jaemin lebih rajin dibandingkan dengannya yang kadang tidak bekerja paruh waktu.

"Mamanya tidak tau. Entah siapa lagi yang sudah tau selain aku. Cepat atau lambat semuanya juga akan mengetahuinya kan?
Kau tau, Na Jaemin lebih kuat daripada bayangan ku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku yang ada diposisinya, mungkin aku sudah mati sekarang? Entahlah.."
Felix memasukkan satu tangannya ke dalam saku jaket, memandangi Jaemin yang terlelap dalam tidurnya.
"Jangan katakan pada siapapun, apapun yang tengah ku katakan padamu sekarang.
Aku, aku yang mengantar Jaemin membeli banyak obat tidur. Dia mengeluh sulit tidur, aku memberikannya sebagai solusi. Aku tidak tau jika akan jadi seperti ini"

"Obat tidur itu. Aku yang mendapatkannya lalu memberikannya padanya. Aku kira dia hanya akan mengatasi masalah tidurnya, tapi ternyata, wah.. dia jauh sekali dari pikiranku"
Felix memberikan paper bag pada Chenle. "Berikan ini padanya jika sudah bangun. Setidaknya ini bisa membuatnya tidur secara alami, bukan dengan obat itu lagi. Aish.. aku jadi membencinya"

Chenle memandangi isi paper bag yang Felix berikan. Ada beberapa kotak teh hijau dan entahlah, ia tidak tau apa itu. "Jangan pulang malam, ibumu nanti malah menginterogasi ku seperti waktu itu"

Pemuda itu menatap Felix yang kini melenggang pergi. Meninggalkan nya sendiri sembari memperhatikan Jaemin. "Wah... Apa lagi yang kau sembunyikan dari ku selain ini? Apa yang aku tidak tau tentangmu hm?"

"Kau diam-diam ternyata pembohong besar ya, Na Jaemin"

[]

Tanganku gatel..
Ehe
Habis nonton the penthouse... Panas-panas ni otak liat teorinya

Call Him NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang