MEMILIKI hubungan persaudaraan yang nyokap atau bokapnya beda, kayaknya nggak akan seharmonis hubungan persaudaraan pada umumnya dimana orang tuanya sama. There will be complicated feelings. Kadang udah di urus dari kecil aja, rasa canggungnya masih ada. Apalagi kasusnya ketemu gede, pasti ada dinding besar yang menjadi pembatas yang membuat hubungan semacam itu kerasa kaku. Itu yang terjadi antara gue dengan adik perempuan gue yang sekarang kelas tiga SMA. Dia sangat menganggap gue sebagai seorang kakak.
Sayangnya, gue orang yang tidak mengharapkan memiliki seorang adik.
"Gue udah coba ngomong baik-baik dan nyuruh Sheina supaya berangkat ke sekolah dulu, tapi dia tetap mau ketemu lo." Tengah hamil besar harus menghadapi Sheina yang keras kepalanya minta ampun, jelas melipatgandakan kadar stresnya Mbak Indah. Helaan nafas panjang terlihat dia keluarkan beberapa kali ketika memberi tahu gue hal tersebut.
"Hari ini lo selaku pawangnya agak bikin dia jinak gitu. Jangan terlalu diabaikan, jangan terlalu keras juga. Pusing gue." Gue hanya menanggapinya dengan anggukan kecil sebelum akhirnya hendak berjalan masuk ke ruangan.
"Gue ke pantri dulu bentar, bikin teh buat lo." Gue sempat mengiyakan sebelum bayangannya Mbak Indah menghilang. Ruangan gue sama ruangan Mbak Indah masih satu ruangan, untuk memudahkan kita dalam komunikasi. Cuma cubicle-nya Mbak Indah aja yang letaknya lumayan renggang dari meja gue. Karena hal tersebut Mbak Indah paling tahu bagaimana rumitnya hubungan gue dengan Sheina. Hubungan adik-kakak, beda ibu.
Gue bukannya nggak peduli sama itu anak satu. Gue merasa tidak layak aja untuk dijadikan kakak saat gue tiba-tiba hadir dihidupnya dan menjadi penyebab Sheina kehilangan mamanya diusianya yang masih terbilang kecil waktu itu. Gue menjadi sumber segala kebagiaan dalam hidupnya meredup. Kehadiran gue di muka bumi ini, berhasil membuat seseorang sangat terpukul hingga memutuskan menanggalkan nyawanya.
Sepanjang berjalan masuk, gue berusaha mengingat-ingat kata-kata Mbak Indah untuk tidak terlalu keras berbicara pada Sheina. Dia duduk di depan meja kerja gue, menggunakan seragam, memainkan kursi goyang dengan kakinya, sebelum akhirnya pergerakannya terhenti saat melihat kedatangan gue. Sengaja gue mengambil nafas dalam-dalam sebelum bicara, bawaanya udah pengen marah-marah aja.
"Bukannya sekarang jadwal upacara, ngapain lo malah ke sini?" Suara gue masih terbilang tenang saat itu.
"Ketemu lo lah. Ngapain lagi."
"Bisa kan datang ke sini habis pulang sekolah?"
"Gue males pergi sekolah, makanya datang ke sini. Entar, giliran gue datang ke sini habis pulang sekolah, lo malah nggak ada di tempat. Menghindar terus."
"Gue nggak ada waktu. Mbak Indah udah bilang gue ada rapat direksi pagi ini, kan?"
"Ya, gue nggak akan ganggu rapat lo kok. Gue tungguin di sini sampai rapatnya selesai."
"Kalo lo masih menganggap gue kakak, harusnya lo nggak akan mungkin berani datang ke tempat kerja kakak lo kayak sekarang. Kantor bukan tempat yang bisa lo datengin sesuka hati, Sheina!"
"Memangnya pernah lo nyari gue duluan kalau gue nggak datang ke sini? Lagian kan kantor Nata Adyatama punya Papa." Lagi-lagi dia mengatakan hal yang bikin gue makin males buat bicara. Gue alergi denger kata "Papa", amarah gue memuncak tiap membahas orang itu. Dari gue lahir, gue udah menganggap diri gue terlahir yatim.
"Ini memang kantor Papa lo, dan itu masalahnya! Gue paling nggak suka orang-orang kantor tahu kalau kita punya hubungan darah. Cuma lo yang anak Papa!"
"Gua nggak suka orang lain tahu kalau gue punya adik kayak lo!" Sheina tak menjawab, dia langsung diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...