Extra Chapter 8B

18.2K 3K 3.2K
                                    

SHAFIRA tipe orang perencana, dia nggak bisa menyiapkan keperluan traveling hanya sehari dua hari. Dia sudah menyiapkan keperluan keberangkatan kami dari semenjak perpindahan kami ke rumah baru. Khawatir ada yang tertinggal katanya. Kami memang nggak berangkat pakai jasa travel haji dan umrah, supaya bisa lebih lama berada di sana. Lagipula gue punya Ammar sebagai tour guide selama di sana nanti.

Kota tujuan pertama kami langsung ke Riyadh. Ya, gue akan menemui Sheina dulu sebelum berkunjung ke kota dan negara lain karena itu amanat dari Papa. Gue juga udah lumayan lama nggak mengunjungi anak itu.

Awalnya rencana perjalanan kami itu nggak langsung ke Riyadh, tapi ke Dubai dulu. Setelah itu ke Qatar, Riyadh, Madinah, Mekkah, dan baru terakhir ke Mesir biar nggak bolak-balik. Namun karena Papa meminta untuk langsung ke Riyadh waktu itu, maka mau nggak mau Dubai dan Qatar gue skip.

"Apa nggak masalah meninggalkan Papa di Jakarta sendirian? Kayaknya lebih baik selama kita traveling nanti, Papa tinggal di Bandung dulu, entah di rumah Ayah atau di rumah Om kamu. Atau kita ajak Papa aja sekalian, Papa juga pasti kangen banget sama Sheina..."

Gue sangat bersyukur Papa bisa sangat akur dengan Shafira. Kebanyakan hubungan menantu dan mertua itu berpotensi menjadi masalah dalam rumah tangga, tapi hal tersebut nggak terjadi di rumah tangga gue. Sayangnya, kadang ada masanya gue iri akan kedekatan mereka. 

"Papa ada jadwal check up di akhir minggu ini, makanya belum bisa ke Bandung. Kamu tenang aja, aku udah minta Mas Teguh buat jagain Papa dan mengantar Papa ke mana pun dia mau selama kita traveling nanti. Di rumah juga nggak sendiri, ada Mbak Asrti kalau siang, ada yang jaga kebun, sama ada security juga."

"Kita di sana hampir sebulan loh..." ucapnya lagi. Gue menyerahkan beberapa pakaian yang sudah gue pilih untuk dibawa kepadanya. Hasil berkemas gue sama sekali nggak terpakai olehnya, jadi gue serahkan semua urusan packing itu pada Shafira.

"Lagipula, kalau pun di ajak, Papa pasti nggak mau ikut."

"Kenapa? Karena destinasinya kebanyakan, ya? Atau karena kelamaan? Papa kan bisa tinggal di Riyadh dulu sementara sama Sheina nanti, nggak perlu ikut ke Mesir atau ke tempat lain kalau nggak mau."

"Bukan karena itu, Ra... tapi karena Papa tahu ini honey moon kita. Kalau dia ikut, kemungkinan besar oleh-oleh yang Papa minta bakalan susah didapat."

"Memangnya Papa mau oleh-oleh apa? Barang limited edition?" Dia menanyakan itu tanpa firasat apa-apa, sambil masih memegang baju-baju yang gue serahkan tadi.

"Papa minta cucu." Mendengar itu tangannya melemas, dia menjatuhkan semua pakaian itu dan menatap syok ke arah gue dengan kening yang sempurna mengkerut.

"Papa nggak pernah bilang tuh ke aku kalau lagi ngobrol."

"Ya, Papa enggak akan berani bilang langsung ke kamu lah, kan kamu menantunya. Ke anaknya lain lagi. Penuh dengan tekanan." Shafira berekspresi setengah takut, syok, agak kaget dan mungkin sedikit terlihat malu.

"Setakut itu ya?" tanya gue menggodanya. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengambil kembali baju-baju yang sempat dia jatuhkan tadi. Gue juga membantunya memungut beberapa.

"Dasar... mulai deh tuh, gejala dinosaurusnya keluar. Oleh-oleh buat Sheina udah?" Dia mencoba mengalihkan pembicaraan. Dari responnya yang kurang mood, gue memutuskan untuk tidak menyinggung soal itu lagi. Gue harus menjaga mood-nya agar tetap baik, apalagi dia masih menstruasi.

"Udah. Semuanya udah aku pisahkan di koper yang kata kamu kemarin." 

Karena Sheina udah lama nggak pulang ke Indonesia, dia banyak request dibawakan makanan. Kayaknya kalau sea food langganannya nggak basi dibawa penerbangan berjam-jam, dia udah minta dibawakan juga.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang