PEKERJAAN yang sehari tertunda, pada akhirnya perlu gue bereskan keesokan harinya. Dalam lima hari kerja, gue bisa empat hari kerja dari mana pun dan seharian penuh menghadiri pertemuan, meeting, segala macam dari pagi hingga malam. Gue nggak bisa langsung mengajak Shafira untuk melihat rumah baru karena pagi harinya gue harus menghadiri acara penting. Namun gue minta dia untuk berkemas dengan alasan pindah ke rumah Papa, berkemas hanya barang-barangnya saja. Barang-barang gue akan gue kemas ketika pulang nanti.
Gara-gara kelakuan gue selama di tempat parkir kemarin, Shafira salah tingkahnya tak berkesudahan. Dia jadi agak canggung, sering menghindar dari gue, bahkan sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata dengan gue. Sekitar pukul empat sore, gue baru balik ke apartemen. Koper berisi pakaian miliknya sudah terlihat siap di dekat pintu kamar. Rencananya kami akan ke Menteng setelah Magrib.
"Assalamualaikum..." Shafira yang tengah sibuk mengemas hasil masakannya yang katanya buat Papa, tiba-tiba menoleh ketika menyadari kehadiran gue. Dia menjawab salam gue, mencuci tangannya sebentar lalu kemudian meraih tangan gue untuk diciumnya.
"Udah pulang?" tanyanya konyol seperti tidak ada pertanyaan lain, padahal jelas-jelas gue ada di depannya. Dia kehabisan kosa kata sejak kemarin. Kalau dia lagi ke kamar, terus gue masuk kamar, pasti dia langsung pura-pura ada keperluan di dapur. Kalau gue susul ke dapur, dia akan pura-pura sibuk dengan kerjaanya di ruang tengah. Cara menghindarnya sangat terlihat kontras sekali
"Asik, makan enak nih. Makanan buat Papa banyak banget..."
"Ini kan bikin porsinya buat di makan bertiga nanti malam bareng-bareng." Gue mengangguk-angguk paham. Sejak tadi matanya sama sekali nggak berani menatap gue. Gue iseng menghitung sepuluh mundur di dalam hati.
"Aku keringetan banget habis masak. Aku mau mandi dulu ya..." Nah, kan. Belum nyampe hitungan lima, dia udah mau kabur lagi aja.
"Oke..." Gue mengikuti kemana ia berjalan.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya heran.
"Ke kamar juga, mau packing. Aku kan belum packing barang-barang aku."
"Oh..." Dia berdiri kaku.
"Oh?"
"Aku baru ingat laptop sama berkas-berkas kerjaan aku belum di-packing, masih di kamarnya Sheina bekas tadi pagi. Koper kamu ada di dekat lemari parfum, udah aku kemas dan siapkan sebagian baju-bajunya. Aku nggak tahu, baju mana yang bakalan kamu bawa. Jadi tinggal kamu pilih aja yang mana yang mau dibawa..." Gue menahan lengannya yang hendak berjalan berlawanan arah menuju kamar yang pernah ditempati Sheina.
"Kamu sengaja menghindar dari aku, ya?" Gue sebenarnya bisa memaklumi tingkahnya. Pernikahan kami baru berjalan kurang dari dua minggu. Meskipun dua tahun sebelum menikah kami saling mengenal, interaksinya tak pernah lebih dari sekadar pekerjaan.
Mungkin mudah bagi gue untuk beradaptasi karena di samping penilaian objektif, gue pernah menaruh rasa padanya, tapi Shafira lain lagi. Ada kalanya gue merasa dia tertarik sama gue, tapi bisa saja sebenarnya dia belum memiliki atensi apapun yang lebih ke gue. Gue bisa menebak isi pikirannya, tapi gue nggak tahu isi hatinya kayak apa.
Jangan harap mendapat pernyataan cinta, bahkan bilang suka secara langsung ke gue aja nggak pernah.
"Seterbaca itu, ya, Tha? Mau bagaimana lagi. Aku memang menghindar..." jawabnya berterus terang lebih ke pasrah. Lengannya masih gue pegang, biar nggak ada celah buat dia kabur lagi.
"Kenapa coba harus menghindar?"
"Ya, karena..." Dia menatap kedua mata gue sebentar, lalu berpaling menatap hal lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...