MESKIPUN bekerja di kantor yang sama dengan bidang yang sama dan divisi yang saling berhubungan. Gue paling jarang untuk menghubungi Daffin duluan kalau nggak penting-penting banget. Daffin tahu gue sangat menjaga jarak dengan dia, hingga dia pun melakukan hal yang sama dengan tidak menghubungi gue kecuali soal kerjaan.
Gue sebenarnya nggak kesal kalaupun dia dekat dengan Nalea saat ini, gue udah pernah bilang kalaupun mereka memiliki hubungan lebih dari teman gue akan menjadi orang pertama yang mendukung hubungan mereka.
Hal yang nggak suka adalah dia orang yang sering melaporkan hal-hal yang gue lakukan entah itu ke Nalea maupun ke bokap gue. Dia sudah seperti CCTV berjalan dalam hidup gue.
Namun pada suatu siang menjelang jam makan siang, tiba-tiba saja gue mendapat panggilan dari Daffin. Namun bukan soal kerjaan. Juga bukan soal Nalea. Dia menghubungi gue perihal status Shafira yang pernah gue katakan bahwa dia sudah menjadi istri orang lain.
"Tha, Lo parah banget lah asli! Ngapain juga bilang kalau Shafira udah bersuami? Padahal dia masih lajang, lo mau mempersempit kemungkinan anak-anak kontruksi buat punya istri?" Gue nggak sejahat itu untuk membuat mereka melajang seumur hidup. Belum sempat gue tanya Daffin tahu dari mana soal status Shafira, dia sudah lebih dulu menjelaskannya.
"Gue tahu tuh dari divisi perencanaan. Shafira dulu kerja sebagai staf, kan? Dan sampai saat ini, dia masih berstatus lajang. Kenapa coba lo mesti bilang kalau dia udah bersuami?" Seolah-olah dalam pertanyaannya terdapat pertanyaan implisit terkait hubungan gue dengan Shafira.
Kalau boleh gue katakan, gue lebih rela Shafira bareng Afif, dibandingkan Shafira sama salah satu anak konstruksi yang terkenal dengan kebuayaannya. Gue juga sangat-sangat keberatan kalau mereka mau mendekati Shafira. Masalahnya gue tahu, yang mereka dekati dan yang mereka incar di kantor bukan cuma Shafira doang.
"Lo nggak ada pekerjaan lain selain menghubungi gue dan mengklarifikasi statusnya Shafira? Ya, dia memang lajang, tapi sebentar lagi pun dia akan tunangan dan akan menikah. Jadi nggak masalah dong kalau gue bilang dia udah jadi milik orang lain. Lagian, lo tahu kan fungi telepon kantor buat apa?" jawab gue agak sarkas.
"Tahu lah, gue menghubungi lo sebenarnya mau bahas kerjaan kok, tapi nanti aja sekalian siang. Jangan lupa kita ada meeting sekaligus acara makan-makan siang ini, biar gue bisa protes langsung. Jangan lupa ajak Shafira. Siap-siap aja lo ketemu staf dari divisi gue. Jangan kabur!"
Panggilan itu terputus. Gue baru ingat kalau siang nanti gue memang ada jadwal meeting bersama dengan divisi konstruksi. Shafira sudah mengingatkan gue tentang itu dari tadi pagi, karena siang ini dia meminta izin untuk pulang lebih awal.
Namun sudah hampir tengah hari, bayang-bayangnya masih dapat gue lihat dari kaca. Ketika gue coba untuk telepon pakai telepon kantor panggilannya malah nggak dia hiraukan.
Akhirnya gue menghubunginya via nomor handphonenya langsung, karena kayaknya dia lagi sibuk banget sama handphonenya. Setelah dering pertama pun dia langsung menjawab panggilan gue.
"Khusyuk banget lihat handphonenya. Hari ini pertemuan terakhir bareng tim arsitektur sama tim konstruksi mengenai proyek pemerintah. Mereka mengajak kita untuk makan siang bareng timnya setelah bubar sholat Jumat nanti. Kamu jadi cuti setengah hari apa enggak? Ini udah hampir jam 11.00. Kenapa belum pergi juga?" tanya gue.
Akan lebih baik kalau Safira memang tidak mengikuti acara makan siang kali ini. Karena kalau dia ikut, orang-orang dari tim arsitektur dan konstruksi pasti memberi tahu kalau gue mengatakan bahwa dia sudah bersuami, dan itu akan membuat Shafira juga menanyakan hal yang sama ke gue sama seperti apa yang Daffin tanyakan.
"Saya berangkat sekarang kok," jawabnya terdengar agak menggerutu. Mungkin kesal karena gue memintanya segera pergi.
"Baguslah kamu mending jangan ikut. Ya udah, jangan lupa clock out dulu di mesin absen sebelum pulang. Jangan nyusahin orang HRD sama bagian IT lagi."
"Memangnya kalau saya nggak jadi cuti terus saya ikut makan siang kenapa?"
"Ya, itu... nggak kenapa-napa sih. Selagi kamu bisa nyaman lama-lama sama tim arsitektur dan tim konstruksi yang notabenenya cowok semua. Kalau kamu mau let's lunch together," jawab gue. Dia diam agak lama, seolah sedang memikirkan apa yang baru saja gue katakan.
"Jadi mau ikut apa enggak? Saya tebak kamu akan tetap menolak." Dia masih diam.
"Nggak akan ikut, kan? So once again jangan lupa clock out dulu di mesin absen sebelum pulang." Mungkin gue agak terdengar cerewet saat itu meskipun gue mengatakan hal yang sebenarnya nggak merugikan gue kalaupun Shafira lupa ikut.
Gue tahu saat itu dia kesal banget dengan tingkah gue yang tiba-tiba menyuruhnya pulang padahal urusan pulang lebih awal adalah urusannya. Nggak tahu kenapa gue malah seneng membuat dia kesel. Padahal dia nggak pernah mematikan sambungan telepon yang lebih dulu.
Nggak lama dari itu dia masuk ke ruangan gue untuk permintaan pulang dengan wajah yang benar-benar tanpa ekspresi.
Siangnya gue menghadiri makan bersama yang diadakan oleh anak-anak dari tim konstruksi dan tim arsitektur sendirian. Kehadiran gue di restoran itu membuat mereka seketika heboh karena gue datang tanpa membawa Shafira.
"Wah, Pak Atha curang nih. Kok datangnya sendirian, tahu aja sekretarisnya lagi diincar." Gue menarik salah satu kursi sebelum memberikan penjelasan pada mereka.
"Bukan gue yang sengaja nggak membawa Shafira ke sini, tapi memang hari ini dia pulang lebih awal. Jadi jangan salahkan gue, salahkan manager kalian yang mengadakan makan bersama hari ini, tanpa konfirmasi ke gue dahulu kalau Shafira bisa ikut atau enggak."
"Lagian ya kalian tuh kayak nggak ada capeknya-capeknya. Kayaknya dulu waktu ada anak magang di divisi gue, pernah kalian ajak pulang bareng . Sekretaris gue sudah berada di tahap akan dilamar orang, jadi jangan berharap lebih dan silakan cari target lain supaya kalian tidak membuat divisi arsitektur dan divisi konstruksi terkenal dengan cowok-cowok tampan tapi selalu berstatus single dari tahun ke tahun."
"Nah, maka dari itu harusnya Pak Atha itu sering-sering mengadakan makan bersama antara divisi perencanaan sama divisi kami. Supaya kami nggak terkenal sebagai pria tampan berstatus single dari tahun ke tahun. Divisi Bapak enak, banyak ceweknya. Divisi saya yang masuk cowok lagi cowok lagi. Pak Daffin anti banget masukin cewek ke divisi kita," kata yang satunya.
"Ya bagus, itu tadinya Daffin tahu kalau kalian sangat-sangat berbahaya kalau dikasih staf cewek."
"Kalau kayak gini terus kapan saya bisa kayak Bapak, punya tunangan cantik terus udah berada di tahap yang serius juga."
"Hubungan yang serius seserius suami istri aja, masih ada cerainya. Apalagi hubungan yang baru sampai tahap pertunangan. Kita nggak tahu ke depannya apa yang akan terjadi di antara kita semua," jawab gue sambil sengaja menatap Daffin.
___________
To be continued.
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...