HARI gue yang udah buruk karena kedatangan Shana, makin buruk ketika gue mendapat telepon masuk melalui telepon kantor. Gue berharap telepon itu hanya difungsikan untuk urusan kerjaan bukan urusan lain, namun mungkin tingkat stres gue akan meningkat kalau telepon itu justru menghubungi nomor pribadi gue. Saat gue kembali ke ruangan setelah kehilangan wajah untuk ditampakkan di depan Shafira, ada panggilan masuk yang kontan gue jawab.
"Ini saya..." katanya pertama yang suaranya langsung gue kenali, membuat gue menghela nafas panjang karena mengalami lonjakan emosi yang begitu cepat. Sempat ada jeda beberapa saat sebelum gue menjawabnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Kemarin om sama grandma-mu berkunjung dari bogor di antar pamanmu, seenggaknya kamu bisa bertemu dan menyapa mereka sebelum mereka pulang hari ini. Mereka datang jelas untuk melihat keadaan kamu."
"Itu bukan job-desc saya."
"Papa minta kamu menemuinya sebagai cucu, bukan sebagain plan manager, Athaya!"
"Orang yang Anda maksud nggak pernah memiliki cucu laki-laki, dan saya bukan cucunya. Kalau pun dia memilikinya, dia telah kehilangannya sejak empat belas tahun lalu." Gue mendengar Pak Andreas yang menghela nafas.
"Usia kamu udah terlalu dewasa untuk bersikap kekanak-kanakan kayak sekarang. Athaya..."
"Kamu boleh nggak menganggap saya sebagai ayah, atau nggak menganggap Sheina sebagai adik. Walau bagaimana pun, sekalipun kamu nggak bisa menerima kenyataan ini, nenek kamu tetap orang yang melahirkan dan membesarkan ibu kamu."
"-dan memanggil cucunya dengan sebutan anak haram di pertemuan pertama?" Gue tersenyum miris mengatakan itu.
"Bawa anak haram itu pergi, jangan sampai aibnya mengotori rumah ini! Dia telah kehilangan cucunya sejak kalimat itu keluar dari mulutnya." Gue memutus panggilan itu secara sepihak, tak peduli dengan pendapat orang di sebrang telepon.
Persetan dengan kedewasaan! Bukankah luka akan meninggalkan bekas seumur hidup kala kita mendapatkannya saat kecil. Pertemuan pertama gue dengan nenek dari pihak ibu, keputusan ibu yang pada akhirnya memilih untuk membawa gue pulang ke tempat yang dulu dia anggap rumah setelah menyadari kondisinya, penolakan yang gue terima saat itu. Bekas lukannya masih gue ingat sampai sekarang.
Saat pikiran gue kembali menarik semua hal tentang ibu, Shafira mengetuk pintu ruangan gue untuk menyerahkan sesuatu. Gue menyadari dia sama sekali tidak terlibat dengan apa yang gue alami, namun entah kenapa gue merasa kedatangannya tidak tepat. Ada dua perasaan aneh yang berkecamuk dalam diri gue.
"Ini dokumen yang Anda minta dari divisi-"
"Bisakah kamu bekerja setengah hari untuk hari ini? Pekerjaan kamu akan saya handle sendiri dan kamu bisa pulang." Mungkin Shafira akan mengira gue seorang pria mesum yang gila dengan mood yang mudah berubah dalam hitungan menit. Biasanya dia akan menurut tanpa menanyakan apapun, akan tetapi kali ini permintaan terlalu janggal untuknya.
"Pulang? Pekerjaan saya banyak yang perlu diselesaikan."
"Pulang sekarang aja. Saya bisa handle pekerjaan kamu."
"Kalau begitu saya akan membereskan arsip yang baru dipindahkan ke-"
"Saya nggak mau melihat kamu di kantor untuk saat ini. Kalau lemari arsip itu bisa kamu bawa pulang untuk di bereskan, silakan lakukan." Gue mengatakan itu dengan agak sarkas, membuatnya menelan bulat-bulat segala hal yang ingin dia tanyakan.
Setelah menaruh barang yang dia bawa di meja gue dan berpamitan, dia pergi dengan wajah yang tidak terlihat marah sama sekali. Seperti mengerti kalau gue memang sedang butuh waktu untuk sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...