Bagian 1

33.3K 3K 204
                                    

KALAU boleh gue analogikan, hidup ini kayak manajemen. Uang menjadi unsur penting dalam kegiatan manajemen karena menjadi perantara utama dalam mencapai tujuan. Uang juga jadi unsur terpenting dalam hidup manusia, segala tujuan manusia dari mulai kebutuhan, pendidikan, kesehatan perlu di capai memerlukan uang. Penting, tetapi bukan unsur satu-satunya. Ada unsur lain dalam manajemen yang juga nggak kalah penting, metode. Unsur ini mempengaruhi kinerja dalam sebuah manajemen. Jika metode yang dibuat berdasarkan target, fasilitas, waktu, uang, dan kegiatan bisnis, kegiatan manajemen pasti akan berjalan lebih lancar. Jadi intinya, percuma banyak uang kalau metode yang dipake dalam hidupnya kurang efektif.

Gue adalah orang yang lumayan cerdas dalam dua hal tersebut, nyari uang dan bikin perencanaan strategis hidup dengan rinci sebagai metode yang gue pake dalam menjalani hidup. Yang kurang digue cuma satu, gue kurang bisa meminimalisir pengeluaran dalam urusan perut. Dalam satu hari gue bisa menguras satu digit lebih saldo di rekening cuma buat nongkrong sama makan. Gue pintar cari uang, pintar juga ngabisinnya. Gaya hidup bokap yang modest sama sekali nggak di wariskan ke gue. Yang diwariskan cuma sepersekian kemampuan otak dan tampang yang kadang gue syukuri, kadang juga gue rutuki.

Keempat teman gue—sumber terbesar yang bikin gue menghamburkan uang—mengajak gue nongkrong malam ini, malam senin. Ya, malam senin. Nggak perlu di ulang, gue tahu weekend berakhir jam dua belas malam nanti. Mereka membuat janji temu di sebuah bar unik yang cabangnya baru buka di Jakarta. The BARber Room, a unique party place for boys in 'barbershop'. Setahu gue bar ini pusatnya ada di Jimbaran, Bali. Jangan khawatir, lo nggak akan minum sampo dan koktail kondisioner di sini.

"Si Gema baru putus, pacarnya selingkuh. Jangan diganggu dia..." ucapan itu yang gue dapat pertama waktu sampai di tempat. Oh, gue paham sekarang. Nongkrong kali ini dilaksanakan dalam rangka menghibur sadboy satu ini. Gema teman yang nggak sengaja gue kenal di bandara, kita pernah satu penerbangan buat kegiatan seminar di luar negeri yang ternyata acaranya sama.

"Kalo pacar lo main cantik, ya lo main cantik juga. Baru habis itu putusin pas dia lagi sayang-sayangnya. Ngapain sih pake acara patah hati segala." Gue mencibir Gema yang wajahnya teramat melankolis malam ini. Sesuai dengan musik yang sedang diputar di bar, genre blues yang bawaanya malah bikin kebawa galau.

"Orang kayak lo yang nggak punya hati, mana pernah ngerasain yang namanya patah hati, Tha," ledek Vian.

"Patah hati hanya berlaku bagi orang-orang yang punya hati. Kalau hati aja nggak punya, ya apa yang mau patah?" Dipta menyahut.

"Berisik lo, Dip!" bentak gue. Visual kita berempat, Dipta, Vian, Gema dan gue di dalamnya adalah kumpulan para pakar buaya. Gema bisa dibilang nggak termasuk sih, sependek pengetahuan gue dia setia dan nggak pernah selingkuh, tapi karena kurang beruntung dalam menjalin hubungan, dia jadi sering di selingkuhin dan ujung-ujungnya gonta-ganti pacar. Sisanya tiga orang termasuk gue, sama-sama membuka asrama untuk wanita.

"Hanphone lo geter tuh, cewek provinsi mana lagi yang nelepon?" Dipta menunjuk handphone gue yang kebetulan memang langsung gue taruh di atas meja pas tadi datang. Ketiga teman gue tertawa serempak mendengar itu.

"Provinsi banget nggak tuh bahasanya. Si Atha bener-bener. Dikira ceweknya dari Sabang sampai Merauke."

"Eh, bener dia. Yang bulan lalu kenal di Bali, yang minggu lalu kenal pas lagi perdin ke Jawa Tengah. Terus yang terakhir itu, kenalan pas kita nongkrong di Bandung rabu lalu. Kayaknya ada sih satu kota satu orang."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang