MENDARAT di Soekarno Hatta gue langsung memberhentikan sebuah taksi untuk segera meluncur ke rumah sakit yang dikatakan Shafira di pesan chat. Gue bahkan masih membawa koper, tanpa berniat untuk pulang lebih dulu. Ini sudah menghabiskan waktu berjam-jam dari terakhir kali gue menghubungi Shafira. Bahkan Shafira mengirim gue lengkap dengan nomor kamarnya untuk membuat gue nggak kebingungan ketika sampai.
"Pak, ke rumah sakit Bakti Kencana II ya," pinta gue. Mobil itu melaju sesuai dengan tujuan yang gue pinta.
Setelah sampai di depan ruangan yang dimaksud, lagi-lagi langkah gue tertahan di ambang pintu saat gue tak sengaja mendengar suara Shafira, seorang laki-laki, dan Sheina telah mengobrol begitu hangat. Melebihi hangatnya obrolan sebuah keluarga. Beberapa kali gue juga mendengar Sheina tertawa lepas, meski gue tidak bisa mendengar seluruh topik yang sedang mereka bicarakan.
Awalnya gue memutuskan untuk tidak jadi menemui Sheina saat itu, tapi tiba-tiba Shafira menemukan gue tengah berdiri di ambang pintu, dengan sebuah koper dan wajah yang mungkin benar-benar sangat kusut. Kami hanya sama-sama mematung hingga gue memilih memecahkan keheningan itu.
"Sheina baik-baik aja, kan?" tanya gue pada akhirnya.
"Kenapa nggak masuk aja dan tanya Sheina langsung," jawabnya. Dengan tawa seceria itu, gue menyimpulkan Sheina sudah baik-baik saja.
"Sepertinya dia udah baik-baik aja sekarang, Tolong bilang aja, kalau saya... kalau saya belum pulang dari Osaka," kata gue setelah berbagai pertimbangan. Ketika gue hendak memutar arah untuk pergi setelah mengatakan itu, Shafira menahan gue dengan mengambil alih koper tersebut. Tentu saja dengan memegang sisi yang lain agar tangannya tidak bersentuhan.
"Sheina itu baru mengalami kecelakaan hebat, nggak mungkin dia baik-baik aja tanpa keluarganya dan berapa kali saya bilang, saya nggak dibayar untuk berbohong," katanya terdengar agak kesal.
"Saya bukan bagian dari keluarganya, saya terlalu buruk untuk menjadi kakaknya. Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki seperti saya?" Gue rasa Safira tahu tentang kondisi keluarga gue dan tentang bagaimana gue terakhir sebagai anak haram di keluarga Adyatama ini. Sekalipun gue sangat ingin menemui Sheina, fakta kalau gue yang menjadi penyebab ibunya bunuh diri nggak akan pernah bisa anak itu terima.
"Saya nggak peduli seberapa buruk Anda menjadi seorang kakak. Sheina depresi berat mengalami ini, yang bisa menguatkan orang depresi itu bukan kalimat motivasi atau semangat dari orang lain, tapi adanya orang-orang yang dia anggap dekat yang memberikan simpati dan empati. Orang yang dianggap penting dalam hidupnya, terlepas orang tersebut buruk atau enggak."
"Selagi Anda punya hubungan darah dengan Sheina, Anda tidak bisa mengelak. Anda tetap kakaknya. Seenggaknya..." Shafira sejenak mengatur nafasnya setelah cukup menggebu-gebu mengatakan hal tersebut. Mencoba untuk tetap berbicara sopan, meski mungkin dibenaknya dia sudah sangat ingin mencaci maki gue.
"Seenggaknya kalau Anda mau berbohong, lakukan sendiri. Jangan buat orang lain harus ikut berbohong juga..." Shafira mengatakan itu dengan suara yang lebih tenang. Mungkin baginya, ini pertama kalinya dia mengeluarkan segala isi pikirannya dengan terang-terangan. Dia mengambil alih koper gue dan membawanya masuk lebih dulu untuk membuat dia tidak pergi dari tempat tersebut.
Gue sempat mendengar Sheina yang menanyakan koper siapa yang Shafira bawa masuk. Shafira sengaja membuka pintu ruangan lebih lebar. Mau nggak mau, saat itu gue memutuskan untuk masuk. Gue mendapati kakak laki-laki Shafira di ruangan itu, dia sempat menatap gue dengan pandangan bingung sekaligus penasaran. Suasana seketika hening, Sheina juga langsung diam saat menyadari gue yang datang.
Tanpa mengatakan apapun lagi, ketika gue sudah menginjakkan kaki di ruangan itu. Shafira dan kakaknya berpamitan sekilas dan meninggalkan ruangan tersebut, memberikan ruang seluas mungkin dengan membiarkan gue dan Sheina berduaan. Gue nggak tahu harus mengatakan apa, atau memulai percakapan dari mana. Banyak sekali hal yang perlu kami bicarakan setelah selama ini gue sering menghindar.
"You alright?" tanya gue singkat, padahal gue bisa melihat langsung kondisinya. Beberapa memar berat menghiasi wajahnya pucatnya yang tak pernah tersentuh matahari itu. Tentu saja kali ini gue tidak mengawali pembicaraan dengan menceramahinya panjang lebar seperti saat dia mendapatkan luka akibat terserempet motor.
Sheina mengangguk menanggapi pertanyaan gue. Dia tak lagi seheboh dan seekspresif biasanya saat melihat kedatangan gue. Gue menarik salah satu kursi untuk bisa duduk di sampingnya, mengamati kondisinya lebih dekat. Memar di ujung mata kirinya terlihat paling parah. Mungkin bagian itu yang menghantam setir mobil cukup keras saat mobilnya menghantam pembatas jalan. Pendarahan dalam membuatnya tak bisa berdiri, karena luka yang dia dapat pasca operasi.
Tiba-tiba saja gue menggenggam tangannya yang masih terpasang selang infus. Rasa bersalah itu seolah memeluk gue sangat erat. Harusnya gue nggak membuatnya merasa sendirian. Kita memang nggak bisa memahami semua manusia yang ada di dunia. Ada kalanya kita harus berdebat dengan orang lain. Kita lebih banyak berdebat dengan diri sendiri dan lupa untuk memahami tanpa kita sadari.
"Sheina..." Kami saling bertatapan saat itu, terlebih saat gue memanggil namanya. Belum apa-apa, gue sudah merasa mata gue mulai berair.
"Maafin kakak ya..." Satu kalimat itu berhasil membuat tetes demi tetes meluncur dari kedua mata Sheina. Sulit untuk nggak menangis di kondisi ini. Sejujurnya satu kalimat itu sudah dari dulu ingin gue ucapkan. Kalau harus meminta maaf terus menerus pada Sheina atas apa yang terjadi di hidupnya, akan gue lakukan meski gue harus melakukannya seumur hidup.
Sheina nggak sanggup mengatakan apapun. Gue beralih duduk di samping tempat tidurnya. Menariknya dalam pelukan dan mencoba menenangkannya dengan menepuk-nepuk bahunya. Disela-sela kejadian mengharukan tersebut, gue mengatakan sesuatu.
"Kamu mau kan kasih kakak kesempatan untuk kembali menata dan memperbaiki semuanya?" tanya gue.
"Jahat banget sih jadi manusia! Apa harus nunggu selama ini buat bisa baik sama aku?" Dia merengek seperti anak kecil, lupa dengan usianya. Gue melepaskan pelukan itu dan kembali menatapnya.
"Ini memang sangat terlambat, sebagai gantinya kamu boleh nangis dan mengumpat kakak sepuas yang kamu mau sekarang." Sheina mengusap kedua mata dan pipinya yang sudah terlalu basah.
"Aku... aku boleh kirim pesan, telepon... atau datang ke kantor lagi, kan? Aku juga mau tahu alamat apartemen yang di Jaksel." Tanyanya terputus-putus sebab berusaha berhenti menangis. Gue tersenyum tipis dan mengusap rambutnya pelan. Sebenarnya keinginannya sangat-sangat sederhana.
"Dengan senang hati. Kamu boleh melakukan sebanyak apapun yang kamu mau."
"Tapi dibales! Jangan cuma dibaca doang!" Gerutunya.
"Iya, iya..." Jawab gue.
Mungkin ini benar-benar akan menjadi awal yang baik bagi hubungan gue dengan Sheina. Setidaknya kecelakaan ini membuat gue sadar, bahwa hidup gue akan lebih tidak baik-baik saja saat sehina nggak ada di dunia gue.
__________
To be continued.
Lagi ambis buat update nih, kalau komentar tembus 500. Besok aku update lagi deh.
Semoga kalian nggak jenuh aja keseringan meeting.
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...