Bagian 103

10.1K 2.6K 2.5K
                                    

HAMPIR seluruh kegiatan Sheina di kampus gue ketahui jadwalnya. Kapan dia ada kelas, kapan dia ada kegiatan, dan kapan dia ada di apartemen, sehingga gue sering pulang ke apartemen saat Sheina nggak ada di sana. Tentu saja gue perlu membawa beberapa pakaian untuk tinggal terpisah, namun nggak semuanya gue bawa agar Sheina nggak curiga, gue bawa seperlunya aja.

Hari itu, di minggu-minggu saat menunggu kepulangan Ustaz Harits pulang umrah selama sembilan hari, gue sempat pulang ke apartemen, bahkan numpang mandi di sana sebab Sheina lagi nggak ada. Namun Sheina tiba-tiba pulang di jam-jam yang seharusnya dia nggak pulang. Menyadari gue ada di apartemen, dia sudah berdiri di depan pintu kamar gue yang kebetulan terbuka.

"Kamu bikin kaget orang aja, Na! Bisa, kan, bilang salam atau minimal ketuk pintu kamar dulu sebelum berdiri di situ?" komentar gue sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.

"Tumben hari ini ada di apartemen. Aku udah ketuk pintu dan aku juga udah bilang salam. Kak Athaya aja yang nggak dengar."

"Charger laptop Kakak ketinggalan. Kamu nggak kuliah? Bukannya seharusnya sekarang ada jadwal kelas, ya?"

"Dosennya berhalangan hadir, orang tuanya sakit katanya. Jadi cuma dikasih tugas aja. Karena cuma satu mata kuliah dan nggak ada kegiatan lain di kampus, jadi langsung pulang aja. Hari ini Kak Athaya tidur di sini atau ada kegiatan lain?" tanyanya. Jelas ketidakhadiran gue di apartemen, cukup mengherankan untuknya.

"Enggak... Kakak ada janji sama temen dan mungkin sampai malam, jadi kemungkinan nggak akan pulang. Tapi kalau kamu ada apa-apa, jangan sungkan untuk langsung telepon aja. Kakak pasti datang kok." Gue berusaha untuk mengatakan itu senormal mungkin seolah gue memang memiliki kesibukan yang membuat gue nggak bisa tidur di apartemen.

"Kalau siang ini masih free atau ada kerjaan lain juga?"

"Kenapa memangnya?"

"Makan siang bareng di sini, yuk, sebelum berangkat lagi," ajaknya. Gue sempat terdiam untuk memikirkan tawaran itu. Kalau gue menolaknya Sheina pasti sangat-sangat kecewa, tapi di sisi lain gue juga nggak bisa mengiyakan.

"Kalau makan di luar gimana? Sekalian jalan-jalan mungkin, atau kamu mau nyari buku, keperluan lain, apapun." Seenggaknya kalau makan di luar, gue nggak berduaan dengan Sheina.

"Boleh banget tuh. Aku siap-siap dulu ya, mau ganti baju dulu, bau matahari." Dia begitu antusias berlari menuju kamarnya. Gue sempat mengatakan hal lain sebelum bayangannya menghilang.

"Tapi kita naik taksi aja, ya? Soalnya Kakak lagi males bawa mobil." Untungnya hal tersebut direspon jempol oleh Sheina sebelum dia berlalu masuk menuju kamarnya. Padahal gue menawarkan itu agar tidak perlu berduaan selama di mobil.

Oh, ya. Gue lupa menceritakan Kalau Pak Iman sudah resign bekerja sebagai sopir gue semenjak gue juga resign dari Nata Adyatama. Selain gue nggak begitu banyak memerlukan jasa sopir, karena gue masih sanggup menyetir sendiri bolak-balik bandara atau stasiun, gue juga jarang ada pekerjaan di luar kota.

Bukan gue yang memberhentikan Pak Iman, dia sendiri yang memutuskan untuk resign. Katanya dia ingin kembali ke kampung halaman dan menikmati hasil bekerja kerasnya, karena selama bekerja pada gue dia sudah memiliki tabungan yang cukup untuk pensiun. Lucunya, dia bahkan menggunakan frasa 'kaya raya' semenjak bekerja sebagai sopir gue.

Selagi menunggu Sheina berganti pakaian dan bersiap-siap, gue mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan kalau gue akan turun duluan ke lobi untuk memesan taksi. Supaya nanti nggak perlu nunggu lama, karena taksinya udah ada di bawah. Plus, gue nggak perlu berlama-lama di apartemen.

Tempat pertama yang dituju Sheina adalah rumah makan seafood kesukaannya. Salah satu cabangnya memang sudah buka dari lama di daerah Jakarta Selatan. Rumah makan yang dia kunjungi pertama kali, saat dia diperbolehkan pulang dari rumah sakit pasca kecelakaan dulu. Dia memesan menu yang sama, dengan dua porsi yang sama, seperti waktu itu.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang