MENDARAT di Soekarno-Hatta, orang pertama yang menghubungi gue via telepon ketika gue mematikan mode pesawat adalah Sheina. Dia menceramahi gue panjang lebar sebab baju yang gue titipkan pada Ammar. Dia bilang sudah punya belasan abaya hitam dan gue tidak perlu membelikannya lagi, karena selera gue sangat beda dengannya. Dia menjulukinya dengan "selera bapak-bapak", padahal menurut gue abayanya bagus-bagus saja.
"Ya udah, kan udah terlanjur di beli. Dipake aja, atau kamu kasih ke orang. Yang penting jangan sampai mubazir aja. Nggak mungkin kan Kakak harus ke Riyadh lagi buat ngambil baju dan mengembalikannya ke penjualnya."
"Atau kamu kasih ke adiknya Ammar. Dia adik tingkat kamu di kampus, kan?" Harusnya tahun ini Sheina pulang ke Indonesia, namun setelah dua semester program student exchange-nya selesai. Lagi-lagi dia mendaftar sebagai mahasiswi baru di PNU dengan program studi yang sama, tanpa sepengetahuan gue dan Papa.
Sheina baru mengatakannya saat hasilnya sudah keluar. Dia akan melanjutkan kuliahnya di sana, nilai selama di LIPIA akan dikonversi sehingga dia tidak harus mengulang dari semester pertama. Yang harusnya satu tahun dia sudah kembali ke Indonesia, sekarang tiga tahun ke depan Sheina masih harus tinggal di Riyadh.
"Ya udah, nanti aku kasih ke adiknya Kak Ammar. Kapan Kak Atha ke sini lagi?"
"Ya Allah, Na... Ini Kakak belum juga satu jam mendarat di Soeta, kamu udah nanya kapan ke sana lagi."
"Kesininya bareng Papa, kan Papa belum sesering Kak Atha. Tapi jangan di bulan-bulan ini, aku nggak bisa jadi tour guide entar, lagi ada ujian penting. Padahal kemarin Kak Atha ke sini pengen ke Mesir di foto sama kuda, tapi karena aku sibuk, jadi nggak bisa. Maaf ya..."
"La Mafisy Musykila...marra geyh insya Allah." Nggak apa-apa, lain kali aja. Jawab gue.
"Lagian Kakak bukan mau difoto sama kuda. Ngapain jauh-jauh ke Mesir kalau cuma di foto sama kuda, di Lembang juga banyak. Kakak pengen nyobain gimana rasanya berkuda di padang pasir. Apalagi Mesir terkenal dengan kawasan wisata gurunnya."
"Ya, itu maksudnya. Setelah ini, kesibukan Kak Atha apa?"
"Besok insyaallah mau nganter Papa kontrol dulu. Minggu depannya Kakak ada kerjaan ke Yogya sama ada nikahan teman juga, nggak mungkin meninggalkan Papa di Jakarta sendirian. Kemarin udah diskusi sama Papa lewat telepon, Papa minta di antar ke rumah keluarganya Bang Daffin aja. Jadi selama Kakak ada perdin di Yogya, Papa di Bandung ada yang jagain."
"Yah... Berarti aku nggak bisa sering telepon Kak Atha, ya? Papa juga kalau udah ketemu saudara-saudaranya di Bandung, suka susah dihubungi." Nada bicaranya terdengar agak kecewa.
Ya, bayangkan saja. Om dan tante gue, saudaranya Papa, adalah orang-orang dengan social butterfly yang sama seperti Papa. Apabila mereka disatukan, mereka akan membicarakan banyak hal dan melupakan yang namanya handphone.
"Lebay banget, telepon aja kali. Ada kerjaan di Yogya bukan berarti full dua puluh empat jam kerja terus-terusan."
"Eh, bukannya Kak Shafira tinggal di Bandung, ya? Perlu aku tanyain alamatnya nggak?" katanya dengan nada menggoda. Gue nggak tahu apakah mereka masih saling berkomunikasi atau enggak, gue juga nggak ada niatan untuk bertanya tentang itu pada Sheina.
Percaya atau tidak, semenjak sibuk mengurus Papa dan mengaji di Darul Hikam. Gue menutup segala akses komunikasi dengan Shafira, atau lebih tepatnya menutup segala akses komunikasi dengan lawan jenis. Dua tahun ini, gue sama sekali nggak tahu apapun tentangnya.
"Jangan mulai deh, udah Kakak tutup ya. Harus nyari mobil di tempat parkir nih. Assalamu'alaikum."
Sebenarnya pekerjaan di Yogya bukan hanya perjalanan dinas Nata Adyatama saja. Hampir setengah tahun ini, gue, Abyan, dan Vian sedang membangun start-up properti yang lebih syariah sistem pembayarannya. Proyek pertama kami adalah membangun kavling layak huni untuk kalangan menengah bawah. Betapa marak kredit rumah yang didalamnya masih terdapat riba sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...