Bagian 102

12K 2.8K 2.6K
                                    

UDARA terasa lebih segar, sebab sepanjang perjalanan masih berdiri tegak pohon-pohon pinus, meski nggak banyak. Ya, seenggaknya masih ada hijau-hijaunya, membuat Bogor nggak terasa panas meski tanpa AC. Pesantren Darul Hikam, berdiri megah di pusat kota Bogor. Baik pesantren salaf maupun pesantren tahfiz-nya. Uniknya, gedung asrama putri dan asrama putra terpisah bagai dua komplek yang berbeda. Gerbang masuknya saja berbeda. Sangat tidak mungkin terjadi interaksi antara lawan jenis, karena kemungkinan untuk berpapasan saja tidak ada.

Gue mengutarakan isi pikiran gue itu pada Ustaz Harits saat kami berdua berjalan keluar dari area santri putra, tentang keunikan yang gue temukan di tempat ini.

"Pondok pesantren menjadi unik sekaligus mengkhawatirkan untuk kita yang hidup di akhir zaman."

"Mengkhawatirkan?" Tanya gue nggak paham.

"Beberapa kali, saya bertemu dengan orang tua santri pindahan dari pondok lain. Alasannya beragam, dan yang akhir-akhir ini banyak saya temui , diusia yang masih sangat belia, mereka menyukai sesama jenis. Agak sulit untuk mengatasi hal-hal seperti itu dengan memasukan mereka ke pondok, sebab di sini mereka justru hanya bertemu dengan laki-laki. Pada akhirnya mereka hanya bertahan beberapa saat, lalu kemudian dipindahkan lagi."

Ah, kaum-kaum pelangi. Jujur gue nggak pernah menemukan atau punya kenalan langsung yang gay atau lesbian, tapi gue pernah menemukan mereka di tempat gym dan itu menjadi pengalaman paling horor buat gue. Jangan mengira laki-laki yang datang ke tempat gym adalah laki-laki yang maskulin semua. Dibalik otot-otot yang dibentuk, gue pernah diperhatikan seseorang dan diajak kenalan.

Awalnya gue kira kenalan biasa. Tahu-tahu gue dapat info dari pelatih gym di tempat itu kalau orang yang mengajak gue kenalan tadi agak melenceng dari seharusnya. Dia berkenalan dengan gue untuk hubungan yang lebih. Semenjak itu, gue agak trauma untuk pergi ke tempat gym meski  tempatnya khusus laki-laki.

"Lalu apa yang Ustaz lakukan kalau menemukan hal seperti itu?"

"Biasanya setelah berbagai nasihat dan berbagai ikhtiar nggak berhasil, solusi untuk orang-orang seperti itu hanya bisa mendoakan saja, sebab hidayah dan hati manusia hanya milik Allah. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan mereka kesadaran untuk bertaubat sebelum ajal sampai di pelupuk mata."

"Atau sebelum ditenggelamkan seperti kaum Nabi Luth, Ustaz," tambah gue, membuat Ustaz Harits sedikit tertawa.

"Semoga azab yang sama, nggak pernah datang dua kali ya. Naudzubillah... saya nggak bisa membayangkan kehancuran yang sama terjadi dua kali, seperti azab yang Allah turunkan pada kaum Nabi Luth."

Pembicaraan kami sering terputus sebab beberapa kali Ustaz berhenti untuk menyapa warga yang rumahnya berada di sekitar pondok tersebut dengan ramah tamah tiada tara. Orang-orang juga antusias berbicara dengannya. Disela-sela itu, gue mendapat panggilan dari Sheina dan meminta izin untuk menjauh dan mengangkatnya sebentar.

"Kak Athaya lagi di mana?" tanyanya usai kami bertukar salam.

"Lagi di Bogor, Na. Kenapa? Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, udah hampir tiga hari loh Kak Atha nggak pulang ke apartemen. Ngapain sih di Bogor? Ada kerjaan?"

"Bukan, lagi mengejar guru. Kakak lagi di Pondok Pesantren Darul Hikam. Kamu tahu kan Ustaz Harits? Kakak janjian sama beliau, dan kebetulan bisanya hanya hari ini. Kemarin Kakak pulang kok, waktu kamu masih di kampus."

"Aku nggak suka sendirian di rumah..." Rengeknya.

"Dulu juga waktu Papa kerja, Kakak masih kerja, kamu sering sendirian di rumah yang di Menteng. Asal upetinya terpenuhi aja, kan?"

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang