Bagian 66

12.3K 2.7K 2.1K
                                    

DALAM dunia bisnis properti, ada istilah absentee landlord, sebutan untuk pemilik lahan yang tidak berdomisili di area properti yang disewakan. Bokap gue salah satunya, dia banyak membangun hunian vertikal, superblok atau disebut juga kawasan terpadu yang menyatukan apartemen, hotel, unit rumah sakit, sekolah, dan pusat belanja dengan sistem baseman terintegrasi, rumah tapak, hingga rumah elit. Namun dia belum pernah memikirkan untuk pindah rumah dan menghuni salah satu hasil proyeknya yang prestisius.

Papa kurang suka mendapatkan perlakuan khusus hanya karena dia pemilik Nata Adyatama, termasuk dalam memilih rumah sakit. Kalau dipikir ulang, Sheina bisa saja dipindahkan ke salah satu rumah sakit yang cukup ternama di Jakarta. Great Adyatama adalah pemilik 100% saham Look Capital Pte Ltd, serta secara penuh pemilik saham PT Sejahtera Raya. PT tersebut merupakan perusahaan yang memiliki rumah sakit di jalan TB Simatupang.

Papa lebih memilih rumah sakit mana pun, mengantre sama seperti yang lain, mendapatkan perlakuan sama seperti yang lain, membayar biaya rumah sakit sama seperti yang lain—meski biaya tentu nggak pernah menjadi kendala di keluarga ini—tapi Papa enggan dispesialkan.

Ketika gue sampai di rumah sakit, Sheina sudah bersiap untuk pulang. Dia bahkan bisa mondar-mandir sendiri tanpa bantuan. Saat itu dia sendirian di ruangannya. Katanya Papa sedang mengurus administrasinya dulu, padahal mengurus administrasi rumah sakit itu agak lumayan ribet karena harus bolak-balik ke beberapa ruangan yang berbeda. Entah kenapa Papa memutuskan untuk melakukannya sendiri. Padahal dia bisa minta tolong PA-nya, Mas Teguh.

"Cuma ini aja barang bawaannya?" tanya gue ketika melihat tas kecil yang sepertinya hanya tinggal bareng-bareng kecil milik Sheina saja. Ngomong-ngomong, Sheina benar-benar mengenakan hijab sekarang.

"Iya, sisanya udah dibawa pulang duluan tadi pagi sama supirnya Papa. Ayo kita tunggu di lobi aja," ajak Sheina.

"Nggak usah, kita tunggu di sini aja. Nanti Papa malah bolak-balik nyariin kamu karena mengira kamu masih nunggu di sini."

"Kan tinggal ditelepon aja, tinggal kabarin Papa kalau kita udah nunggu di lobi."

"Tuh, handphone Papa ketinggalan di meja." Pria usia lanjut itu nggak akan pernah bisa dihubungi kalau handphonenya ketinggalan.

"Cieee.... Ada yang lagi perhatian sama Papa," ejeknya, reaksinya dilebih-lebihkan.

"Perhatian sama nggak mau repot itu bedanya tipis," sanggah gue. Gue memutuskan untuk merebahkan diri di sofa terlebih dahulu sambil menunggu Papa. Padahal cuma nyetir dari kantor ke rumah sakit, tapi bawaannya capek banget. Mungkin karena gue baru sembuh, tubuh gue masih kerasa lesu. Mana setelah ini, gue perlu menyetir sendiri buat pulang ke apartemen.

"Kak Atha kok pucat banget hari ini? Sakit?" tanya Sheina, dia sudah duduk di sofa yang bersebrangan dengan tempat gue berbaring.

"Lapar... Tadi skip makan siang supaya semua kerjaan bisa selesai sebelum jam dua," jawab gue, sengaja tidak memberitahunya karena gue nggak mau membuat Sheina cemas hanya karena demam tinggi beberapa hari lalu.

"Kalau sibuk banget di kantor kenapa nggak bilang aja tadi di telepon?"

"A promise is a promise," gue mengulang kalimatnya sama persis.

Gue memang melewatkan jam makan siang, dengan harapan sepanjang perjalanan ke rumah sakit gue bisa mampir dulu ke salah satu resto buat makan, tapi ternyata belum sampai jam pulang kerja aja jalanan Jakarta sudah sesak dengan kendaraan. Meski hanya tinggal dua jam menuju jam pulang, gue juga nggak bisa melimpahkan semua sisa kerjaan ke Shafira gitu aja.

Sheina menggeledah tas kecil yang dibawanya. Dia menyerahkan sebungkus coklat produksi London yang marak dijual di Indonesia dengan kemasan berwarna ungu. "Makan ini dulu aja, nanti sekalian pulang kita cari tempat makan," katanya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang