Bagian 91

10.7K 2.5K 1.6K
                                    

TEMAN makan, kayaknya gue udah nggak memerlukan itu lagi sekarang. Sebab seringkali gue hanya memiliki waktu lima belas menit untuk makan. Membagi waktu untuk mengobrol dan mengunyah jelas nggak cukup hanya lima belas menit. Seperti siang ini, karena mengurus soal Shafira dulu dan mengejar berjamaah Zuhur, gue korupsi waktu lima belas menit dari jadwal yang gue janjikan dengan orang personalia. Namun sebelum itu gue sudah mengatakan bahwa gue akan datang terlambat ke kantor, karena gue baru selesai makan siang di luar, sehingga orang personalianya memaklumi keterlambatan gue.

Yang jadi masalah adalah gue kasihan sama kandidat yang akan interviu hari ini. Mungkin mereka sudah menunggu dari beberapa jam lalu. Gue lupa mengatakan kalau gue menginginkan gantinya Shafira itu laki-laki, tetapi hampir keseluruhan partisipan rekrutmennya perempuan. Selama interviu, gue juga nggak fokus karena gue kepikiran Shafira. Dia pasti belum makan siang setelah kembali ke kantor dan hanya sempat salat Zuhur saja.

Di sela-sela melakukan interviu, gue mengirim pesan kepada Pak Abdul pramukator lantai dua puluh yang kebetulan gue punya nomernya. Gue menanyakan jadwal kerjanya hari ini dan Pak Abdul lagi kerja siang hari itu. Gue minta tolong pada Pak Abdul untuk memesankan makan siang dan mengantarkannya ke ruang kerja gue dan memberikannya pada Shafira.

Interviu kandidat pengganti Shafira ternyata cukup memakan waktu. Kegiatan itu baru berakhir sekitar sepuluh menit menjelang jam pulang. Gue baru bisa kembali ke ruangan setelah duduk berjam-jam dan menanyakan banyak hal pada orang-orang yang baru gue temui untuk pertama kalinya. Nggak ada di antara mereka yang mampu memenuhi ekspektasi gue, hingga gue belum memberikan jawaban pasti pada personalia.

Shafira masih duduk di tempatnya saat gue kembali, "Udah?" tanya gue padanya.

"Udah. Ini laporan yang harus ditanda tangan hari ini dan harus di berikan juga besok pagi ke bagian lain," jawabnya. Padahal gue nggak menanyakan soal laporan yang gue minta hari ini. Gue menanyakan perihal makan siang yang gue pesan ke Pak Abdul untuknya.

"Bukan itu, Ra... Maksud saya, kamu udah makan siang tadi?" Dia mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih. Gue melihat tumpukan pekerjaannya yang harus dia selesaikan hari ini. Karena ini sudah hampir memasuki minggu-minggu terakhirnya dia bekerja, sepertinya dia berusaha keras untuk menyiapkan dan menyelesaikan segala tugasnya.

"Ini biar saya aja yang meng-update ke sistem. Pulang gih, udah jam empat." kata gue ketika memastikan jam melalui arloji yang gue pakai.

"Tapi ini pekerjaan saya."

"Pulang, Ra..." pinta gue agak memaksa. Dia terlihat menghela nafas menghadapi sikap gue yang kadang keras kepala terhadap hal-hal yang gue pinta. Namun akhirnya dia mulai membereskan barang-barangnya.

"Apa Anda selalu sebaik dan seperhatian ini kepada setiap orang?" tanyanya tiba-tiba. Mungkin baginya, membelikan makan siang tadi adalah tindakan yang terlalu berlebihan buat gue lakukan sebagai atasan.

Gue mempertimbangkan jawaban yang paling tepat untuk dikatakan, meski dalam hati gue sangat ingin menjawab bahwa meskipun gue memberikan perhatian kepada semua orang, perhatian yang gue berikan ke dia itu jelas sangat-sangat berbeda.

"Gara-gara saya pesankan makan siang tadi?"

"Segala hal. Makan siang, tisu, membukakan botol minum, mengantar pulang saat terlalu malam." Perlakuan gue sudah melewati batas normal yang bisa dianggap biasa oleh Shafira.

"Bagaimana saya bisa diam aja, saat tahu ada orang yang kerja, tapi dia belum makan siang. Saat ada orang yang sedang kesulitan dan saya punya kapasitas untuk menolongnya, tapi saya memilih untuk nggak menolongnya. Bukankah bersikap baik kepada semua manusia itu juga bagian dari melakukan kebaikan?" Dia mengangguk-angguk sambil masih sibuk mengemas barang-barangnya.

"Kalau begitu sekarang semuanya jelas. Saya harap nggak ada maksud lain dari semua kebaikan yang Anda lakukan pada saya. Anda melakukannya, karena memang Anda orang baik."

Gue menelan ludah mendengar itu. Padahal tadi siang gue sendiri yang mengatakan pada Shafira untuk nggak berbohong lagi, tapi saat ini malah gue sendiri yang justru berbohong pada Shafira.

Perlu banyak pertimbangan untuk bisa mengatakan segala perasaan yang gue rasakan dengan jujur. Kalau gue katakan yang sebenarnya juga nggak akan berarti apa-apa buat Shafira. Justru yang ada, itu akan membuatnya makin nggak nyaman dan akan membuat dia menolak segala kebaikan yang gue lakukan untuknya.

"Pulang gih, udah sore." Gue mengatakan itu untuk kesekian kalinya.

Gue tahu, sikap laki-laki seperti gue, yang memang social butterfly-nya tinggi, akan membuat bingung banyak orang, karena gue gampang ramah , gampang baik, gampang nyapa orang-orang disekitar gue. Sehingga agak sulit untuk dibedakan kapan gue berperilaku baik karena gue memang baik, dan kapan gue berperilaku baik karena memang lagi memberikan perhatian lebih pada seseorang.

Padahal mudah sekali membedakannya. Orang yang ramah itu ketika menaruh atensi lebih ke orang lain, dia akan banyak membicarakan tentang dirinya. Sementara kalau dia hanya bersikap baik karena memang dia baik, tanpa ada perasaan lain, dia akan lebih banyak mendengarkan dibandingkan membicarakan tentang dirinya.

Gue mungkin memperlakukan semua perempuan di sekitar gue dengan baik, tapi pada Shafira gue lebih sering menceritakan tentang diri gue. Gue leluasa membicarakan Sheina, gue nggak keberatan mengatakan masalah gue dengan Papa, bahkan soal motor saja gue katakan padanya tadi.

Sayangnya Shafira tidak bisa membedakan itu. Dia menganggap segala bentuk perhatian dan kebaikan yang gue lakukan hanya semata-mata karena gue orang baik, kebaikan yang diberikan pimpinan untuk bawahannya, nggak lebih, karena mungkin dia melihat gue sama baiknya nge-treat orang lain.

__________

To be continued.

Aku double update, cek deh.

Make the Qur'an as the main reading.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang