GAYA bicara gue mulai banyak berubah semenjak mengikuti kajian. Awal-awal, gue hanya meniru tanpa tahu maknanya, tapi lama-lama gue ikut terbiasa untuk mengucapkan kalimat-kalimat dzikir atau kalimat doa dalam setiap ucapan. Sebelum gue mengajukan pertanyaan itu, gue sudah tinggal dengan Sheina selama beberapa bulan, karena anak itu sudah masuk kuliah semester satu. Meski kami jarang bertemu, tetap saja gue dan Sheina tinggal satu atap dan hal tersebut cukup menganggu pikiran gue selama ini.
"Apa yang harus dilakukan apabila kita mencintai seorang wanita—ini antum aja kayaknya, bukan 'kita', karena kalau saya mencintai istri saya..." Jemaah tertawa, "...tapi kemudian wanita itu belum menerima kita. Apakah perlu diperjuangkan?"
"Apabila wanita itu adalah wanita yang salihah... Apabila wanita itu akan menjadi ibu yang baik untuk calon anak-anak kita, dan kita melihat ketaatannya pada Allah, maka sangat-sangat perlu diperjuangkan, tapi ingat... Perjuangannya jangan sampai terkesan memaksa. Kita harus sadar diri, kalau sudah mendapat penolakan beberapa kali, silakan cari wanita lain."
"Lalu pertanyaan kedua. Ini berkenaan dengan pembahasan kita hari ini, masih ada hubungannya dengan pernikahan. Anak yang lahir diluar pernikahan itu tidak dikenakan hukum syar'i terhadap ayahnya. Seperti yang disebutkan tadi, dia tidak dinasabkan kepada ayahnya tetapi pada ibunya. Artinya apa? Artinya tidak berlaku hukum mahram, dan tidak berlaku hukum waris baginya."
"Ulama berpendapat, meskipun tidak berlaku hukum waris, tapi ayahnya ini tetap wajib menafkahinya. Mereka memiliki hubungan darah, akan tetapi hukum-hukumnya tidak diberlakukan kepada anak yang lahir diluar pernikahan."
"Lalu bagaimana dengan hukum mahram tadi? Anak laki-laki yang lahir di luar pernikahan, masih mahram pada keluarga dari pihak ibu. Misalnya dia memiliki tante dari pihak ibu, nenek dari pihak ibu, itu masih termasuk mahram. Dikarenakan nasabnya pada ibunya tadi."
"Sedangkan pada ayah, itu tidak berlaku. Dia bukan mahram dengan saudara perempuan dari keluarga pihak ayahnya. Maka dia bukan mahram pada tante atau nenek dari pihak ayah. Begitupun kalau ayahnya menikah dengan orang lain dan lahir anak perempuan. Meskipun secara biologis itu adalah adiknya, namun dia tetap bukan mahram dan kakaknya ini tidak bisa menjadi wali nikah untuk adiknya nantinya."
"Meskipun bukan mahram, para ulama juga sepakat mereka tetap haram untuk menikah. Wallahu'lam bishawab." Mendengar itu rasanya darah gue seketika turun mengalir, membuat gue merasa lemas. Beberapa tindakan yang gue ambil selama ini ternyata salah. Nggak seharusnya gue tinggal satu apartemen dengan Sheina atau berduaan dengan anak itu.
Sesi kajian berlanjut pada penanya yang lain, hingga kajian ditutup dengan doa dan dinyatakan selesai sekitar pukul dua siang. Gue menunggu Asar di masjid tersebut karena jadwal penerbangan gue masih lama. Baru setelahnya, gue berangkat menuju bandara Sultan Syarif Kasim II untuk kembali ke Jakarta dengan durasi penerbangan sekitar satu jam empat pukul menit.
Setelah mendarat di Soeta dan mematikan mode pesawat di ponsel, ada dua pesan yang gue terima, yang pertama dari Bang Hisyam. Dia mewakili Ustaz Harits untuk menyampaikan ucapan terima perihal donasi yang gue lakukan untuk rumah literasinya. Dia juga menyampaikan kalau berkenan, dalam minggu-minggu ini Ustaz Harits meminta bertemu dengan gue. Tentu saja gue sangat berkenan, mengingat momen itu yang paling gue nantikan.
Pesan kedua dari Sheina, dia menanyakan apakah malam ini gue pulang dari Riau atau enggak. Baru sempat mengetik pesan balasan, namanya sudah langsung muncul menghubungi gue lewat panggilan.
"Assalamu'alaikum. Kak Atha, malam ini pulang nggak?" Gue menjawab salamnya dahulu.
"Kenapa memangnya, Na?"
"Nggak apa-apa, kita udah lama aja nggak makan malam bareng." Biasanya dalam sehari gue menyempatkan diri untuk punya quality time dengan anak itu, entah itu sarapan bareng, makan malam bareng, pergi ke toko buku, kadang berangkat kajian bareng, mengantarkan atau menjemputnya dari kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...