Bagian 9

18.6K 2.8K 463
                                    

TERNYATA bertemu dengan Shafira membuat beberapa pertanyaan memenuhi benak gue sampai jam pulang kerja, yang membuat gue pada akhirnya memarkirkan mobil di salah satu toko maninan terdekat untuk membeli beberapa Hot Wheels buat sepupu gue yang masih SD. Gue juga menyempatkan membeli sekotak donat. Habis itu gue langsung cabut ke arah yang berlawanan dari apartemen gue.

"Ada angin apa lo datang ke sini? Tumben banget." Gue nggak menghiraukan ucapan Mbak Indah yang mendapati gue mendatangi rumahnya padahal ini hari pertama dia mulai cuti. Wajahnya udah langsung males aja, karena dikira gue mau bahas soal kerjaan.

"Om Athaaaaa..." Teriak bocah tujuh tahun yang paling sering gue cari kalau ke rumahnya. Kayaknya kalau nggak ada anak ini, gue nggak punya tujuan lain buat datang ke rumah Mbak Indah.

"Nih, Hot Wheels buat nambah koleksi mobil kamu." Dia kegirangan membuka hadiah yang gue bawa, padahal mungkin jenis yang gue belikan sudah dia miliki. Gue tahu di kamarnya ada satu lemari penuh koleksi miniatur mobil-mobilan dari berbagai merek. Dia mulai jadi kolektor mainan-mainan itu sejak mendapat hadiah dari papanya yang sering bolak balik keluar negeri.

"Hey, Mas..." Gue menyapa suaminya Mbak Indah yang baru turun dari lantai dua.

"Eh, baru pulang kerja, Tha? Tumben kesini?" Dia menanyakan pertanyaan yang hampir sama dengan Mbak Indah. Gue memang jarang banget berkunjung ke sini. Selain karena gue sibuk dengan pekerjaan, gue juga membatasi diri untuk terlibat dengan hal-hal yang bersangkutan dengan keluarga gue.

Mbak Indah itu anak om gue, yang artinya kita sepupuan. Gue nggak akur sama keluarga inti doang, terutama Papa. Pengecualian buat Mbak Indah dan keluarganya yang kadang masih gue kunjungi. Itu pun karena Mbak Indah bekerja jadi sekretaris gue. Kalau enggak, kayaknya gue nggak akan seakrab ini dengan keluarganya.

Gue sempat berbincang sebentar dengan suaminya Mbak Indah tentang isu-isu dunia perpropertian yang lagi hangat. Lagi dan lagi, kemana pun gue pergi membicarakan kerjaan kadang nggak ada habisnya. Tapi gue cukup senang untuk sharing dengan suaminya Mbak Indah, apalagi dia homebase kantornya di Jepang. Bolak-balik Indonesia kerjaannya.

"Kesenengan dia ketemu Om-nya. Tiap weekend selalu bilang mau main PS sama Om Atha. Mau pamer koleksi-koleksi mainan baru katanya."

"Papa nggak jago main PS sih, nggak seru. Ayo main PS Om Athaaa..." Anaknya komplen. Maklum saja, suaminya Mbak Indah lebih jago main saham daripada main PS.

"Kamu siapkan dulu PS-nya gih," pinta gue, membuat anak itu antusias berlari menuju ruang tengah di mana ada smart TV berlayar besar di sana. Suaminya Mbak Indah berpamitan untuk melanjutkan tujuannya turun ke lantai bawah, ngambil makanan.

"Andai lo bisa sebaik ini sama Sheina, betapa damainya dunia ini tanpa gue harus mendengar keluh kesahnya itu anak," komentar Mbak Indah sembari menyodorkan cemilan ringan ke pangkuan gue. Semenjak tragedi hari ulang tahunnya itu, Sheina belum pernah menghubungi gue lagi. Namun mungkin dia meneror Mbak Indah untuk bertanya tentang gue sebagai gantinya.

"Sheina udah nggak butuh mainan kali." Gue menanggapinya malas. Ya kali gue masih membelikan anak seusia Sheina mainan.

"Bukan soal hadiahnya, soal gimana cara lo memperlakukan Sheina, itu harusnya sama dengan cara lo memperlakukan anak gue. Kasian dia tuh..." Gue hanya menghela nafas panjang.

"By the way, gue udah ketemu dan ngobrol tadi siang." Gue mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Sama Sheina? Dia ke kantor hari ini?"

"Bukan... sama perempuan yang lo rekomendasikan buat jadi sekretaris gue."

"Oh, Shafira? Gimana perencanaan proyeknya udah di ACC sama Ayash Properti?" Mbak Indah malah teringat topik meeting gue dengan klien tadi siang. Padahal meeting-nya agak berantakan karena beberapa kali gue nggak fokus.

"Udah clear itu. Yang belum clear isi pikiran gue." Mbak Indah tiba-tiba saja tersenyum usil, senyum yang menganggu.

"I see... Akhirnya gue paham alasan lo mendadak dateng ke sini. Gue kira lo mau bahas kerjaan yang belom kelar. Ternyata lo mau bahas soal Shafira." Senyumnya semakin mengembang. Tak tanggung-tanggung dia mudah sekali menyebutkan namanya.

"Gimana first impression lo? Anaknya baik, kan?" tanyanya.

"Nggak tahu gue."

"Kok nggak tahu sih, tadi katanya udah ketemu dan ngobrol juga. Lo tuh dateng ke sini pasti karena punya keresahan. Kalau lo nggak punya keresahan soal Shafira mana mungkin lo mau jauh-jauh dateng ke rumah gue." Entah bagaimana semua tebakan Mbak Indah rasanya benar. Gue merasa nggak karuan setelah bertemu dengan Shafira tadi siang. Separuh dari diri gue merasa senang, separuh lagi merasa kosong dan kecewa.

"Jaman sekarang memang masih ada ya anak perempuan yang minta izin ke bokapnya buat kerja? Nggak pegangan tangan, nggak berduaan, nggak menatap mata lawan jenis juga. Kaku banget nggak sih?" tanya gue.

"Sekalipun lo nggak pernah ketemu perempuan setaat itu, bukan berarti orang kayak gitu nggak ada di muka Bumi ini, kan? Lo nya aja yang memang baru pertama kali ketemu spesies macam Shafira. Bagi orang kayak kita, mereka yang taat terkesan kaku. Bagi mereka, kita yang imannya pas-pasan ini juga kaku."

"Seseorang tuh bakal menemukan sesuai dengan apa yang dia cari, Tha..."

"Kalau gue ketemu orang-orang baik, tandanya gue memang nyari kebaikan. Kalau otak lo isinya cuma perempuan yang... Yah, naughty as much as your type. Lo pun akan menemukan perempuan-perempuan yang semacam itu doang. Jadi gimana? Bakalan tetap dia yang gantiin posisi gue, atau ganti yang lain?"

"Lo paling tahu gue nggak suka banget mengingat hal soal nyokap. Padahal gue merasa nggak bakalan cocok," Gue nggak menemukan kemiripan lain dari Shafira selain matanya dan tatapannya doang. Sisanya sangat amat jauh berbeda dengan nyokap gue, dari segi keramahan apalagi. Shafira berbicara seperlunya, sementara sependek yang gue ingat, nyokap gue orangnya lebih ceria dan lemah lembut.

"Cocok?" Mbak Indah tertawa hambar. "Bahasanya udah kayak milih pasangan aja."

"Cocok sebagai patner kerja maksud gue. Ya kali gue sama dia bagai surga dan neraka. Kayaknya dia juga lebih memilih nunggu abis kontrak daripada jadi sekretaris gue. Heran aja gue, kok masih ada perempuan macam begitu." Mbak Indah tersenyum lagi, kali ini lebih hangat.

"Jawaban pertama dari pertanyaan yang gue tangkap soal keresahaan lo itu. Kenapa isi pikiran lo berbanding terbalik dengan perlakuan lo? Kenapa lo pengen dia yang gantiin gue padahal lo nggak suka mengingat soal nyokap? Itu karena yang lo temui 'Shafira', dia orang yang berbeda dengan nyokap lo yang memiliki rekam jejak yang jelek dipikiran lo."

Gue cukup bisa menangkap petuah Mbak satu ini. Intinya dia menegaskan kalau orang yang ada dipikiran gue itu berbeda dengan orang yang gue temui.

"Dan bicara soal kerja sama sebagai patner kerja. Dia anaknya baik kok, gue udah nanya ke beberapa supervisor dan beberapa staf yang gue kenal. Sependek pengetahuan gue, meskipun dia taat banget soal agama, dia nggak pernah memaksakan ketaatanya ke orang lain. Jadi tenang aja... gue jamin lo masih tetap bisa ke club dan nggak perlu khawatir diceramahin, sekalipun kelakukan lo kayak setan." Gue hanya berdecak kesal, memang laknat sekali sepupu satu ini. Harus banget nyamain gue sama setan.

"Gue punya feeling aja kalau Shafira tuh bakalan banyak berpengaruh ke hidup lo. Pengaruh baik tentunya, dan semoga aja benar. Feeling cewek jarang meleset."

"Om Atha, ayo udah nyala!"

"Iya... iya... ayo main." Gue beranjak menuju ruang tengah sembari membawa cemilan tadi.

Dengan membuat gue dateng ke tempat ini, ketemu dengan Mbak Indah dan keluarganya aja itu sudah menjadi sebuah perubahan. Dan gue tidak menyadari bahwa hal tersebut juga dampak dari kehadirannya Shafira. Dia... Merubah gue dengan terlalu cepat.

___________

To be continued.

Ketemu malam minggu depan ya, makasih udah baca. Jazakumullah khairan.

Make the Quran as the main reading.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang