Bagian 34

11.8K 2.5K 243
                                    

"Kinan. Kinan, kan?"  tanya gue. Baru sekali ketemu gue lupa-lupa ingat sama wajahnya. Kinan mencoba untuk menyapa dan memberikan senyum, meski sepertinya menemukan gue di kursi tunggu lobi bukan sesuatu yang dia harapkan terjadi saat ini.
Gue juga nggak melihat dia membawa atau menggunakan name tag bertuliskan visitor yang biasanya dipakai oleh orang-orang luar yang menjadi tamu dan memiliki kepentingan di Nata Adyatama. Gue mempersilakannya duduk di sofa kosong yang nggak terlalu jauh dari tempat gue duduk.

"Kamu lagi ada kerjaan di Nata Adyatama atau punya janji dengan Shafira?" Entah kenapa rasa penasaran ini nggak bisa ditahan meski orang yang diajak bicara lagi nggak mood untuk membicarakan apapun.

"Saya mau ketemu sama Shafira, tapi saya belum buat janji sebelumnya. Tadi udah ke resepsionis, waktu coba ditelepon beberapa kali, panggilannya sibuk. Anda sendiri?"

"Oh, saya lagi nunggu supir," jawab gue. Mendengar penjelasan dia sebelumnya, gue inisiatif mengeluarkan handphone bermaksud membantunya untuk bisa menghubungi Shafira daripada dia cuma duduk nunggu di kursi lobi dalam ketidak jelasan.

"Udah coba hubungi nomer pribadinya? Sebentar saya coba hubungi nome-"

"Nggak usah, saya nggak mau menganggu pekerjaan Shafira. Biar saya nunggu di sini aja."

"Tapi ini lagi jam makan siang?" Gue mengatakan itu seolah menanyakan kenapa gue nggak boleh membantunya menghubungi Shafira kalau tujuannya datang ke sini untuk menemui Shafira.

"Kalau udah jam makan siang, dia pasti turun ke bawah, kan? Saya..." Nafasnya tersendat, seperti menahan sesuatu yang tertahan di pangkal tenggorokan.

"Saya perlu membicarakan hal pribadi dengan Shafira, saya nggak mau membebani pikirannya sebelum kami bertemu langsung." Gue cukup tahu sampai batas mana gue pantas menanyakan. Meski gue masih memiliki rasa ingin tahu terkait ada masalah apa di antara mereka, akan tetapi gue menelan rasa penasaran itu ketika melihat reaksi Kinan yang sudah enggan membahas hal tersebut.

Gue mendapat pesan dari Pak Iman kalau dia sudah ada di depan, kunci mobilnya memang masih di gue. "Kalau gitu, saya duluan ya. Supir saya udah nunggu di depan."

"Kamu bisa minta tolong ke resepsionis lagi untuk minta dipanggilkan ke lantai atas kalau Shafira memang masih belum bisa dihubungi." Dia mengucapkan terima kasih sebelum gue berlalu pergi.

Kunci mobil langsung gue serahkan ke Pak Iman, gue berdiri di depan building A  sementara Pak Iman mengambil mobil terlebih dahulu. Gue malah melamun memikirkan masalah yang terjadi antara Shafira dengan Kinan. Gue tahu, mereka cukup dekat karena waktu event di JungleLand gue melihat hanya Kinan yang paling sering di ajak bicara oleh Shafira. Apa mungkin masalah mereka berkaitan dengan Afif, ya? Sial! Gue malah kepikiran masalah yang bahkan nggak melibatkan gue di dalamnya.

Beberapa menit kemudian mobil sudah berada di hadapan gue. Gue lebih sering duduk di kursi samping supir dibandingkan di belakang sendirian. Rasanya aneh aja ngobrol di mobil jauh-jauhan. Gue juga kasian sama Pak Iman, karena tiap gue ajak ngobrol dia  mesti lihat spion depan mulu.

Ketika gue sudah duduk di samping kursi supir, gue tersadar kalau gue nggak bawa iPad. Benda krusial yang kayaknya tanpa benda itu gue nggak bisa ngurusin kerjaan. "Pak, ada yang ketinggalan. Saya ke atas dulu sebentar, ya."

Baru mau buka pintu, gue merasa belum siap menampakan diri di depan Shafira dengan emosi yang entah sudah stabil atau belum.

"Nggak jadi deh, Pak. Saya minta tolong Bapak aja yang ke atas. Minta ambilkan iPad saya ke Mbak Shafira. Kalau dia nggak ada di ruangannya, ambil aja iPad di meja saya." Salah satu hal yang menjadi nilai lebih dari Pak Iman, dia nggak banyak nanya kalau gue lagi nggak mood kayak gini. Itulah kenapa gue mempertahankan dia sebagai sopir gue bertahun-tahun.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang