MUNGKIN ini dikategorikan sebagai makan malam yang kesorean. Setelah hanya tinggal menunggu sup makaroni matang, sekitar sepuluh menit menjelang Asar, gue menyempatkan diri untuk mandi dan berjamaah. Baru ketika pulang dari masjid, gue dan Shafira makan bersama. Dia juga sudah dalam kondisi sudah mandi dan sudah ganti baju lagi—untuk kesekian kalinya—kali ini dia menggunakan piyama tidur berlengan panjang begitu pun dengan celananya.
Selesai makan, gue langsung lebih dulu bangkit dan mengambil piring-piring kotor itu ke wastafel. Hanya perkara cuci piring saja, kami sering rebutan. Shafira melarang gue mencucinya dengan alasan gue baru pulang kerja dan masih capek, dan gue tetep mengotot cuci piring karena gue belum mengerjakan pekerjaan rumah apapun dari pagi.
"Nggak usah dicuci, besok pagi aja sama aku sekalian. Toh, besok pagi juga masak lagi buat sarapan."
"Tapi kamu nggak suka kan, kalau lihat bak cuci penuh piring-piring kotor, Ra. Kamu suka kepikiran sampai malam." Gue mulai menyalakan keran air dan menuangkan sabun cuci piring. Shafira menyusul dengan mangkoknya yang sudah kosong.
"Ya udah, aku bantu keringkan kalau gitu. Biar kamu nggak ikut banyak pikiran gara-gara aku banyak pikiran..." katanya membuat gue sedikit tertawa. Setelah meletakan mangkoknya bersama benda-benda lain yang mengantre untuk dicuci, dia mengambil lap kering. Berdiri di samping gue, menunggu gue menyerahkan peralatan yang sudah dinyatakan bersih.
Gue sering membayangkan betapa capeknya dia meski hanya di rumah. Dia yang belanja, dia yang prepare buat masak, dia yang masak, dia juga yang harus cuci alat-alat bekas masaknya. Itu baru pasal masak memasak, belum membereskan kamar, vacum rumah, dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Maka sebisa mungkin dalam sehari, gue membantu pekerjaan rumah, apapun itu. Padahal sebenarnya semua pekerjaan rumah itu tugas suami, itu artinya Shafira yang justru banyak membantu.
Rumah tangga adalah kerja sama, bukan soal ego. Kegiatan-kegiatan sederhana yang dilakukan berdua justru menjadi quality time di sela-sela kesibukan kami masing-masing. Cara mewujudkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam pernikahan. Usai kegiatan cuci piring itu selesai, gue menanyakan sesuatu padanya.
"Udah zikir pertang, Ra?" Dia mengangguk. Kadang gue kelamaan di masjid sampai Shafira bisa melakukan berbagai pekerjaan ketika gue salat berjamaah.
"Yah... Aku ketinggalan. Ya udah, duduk di sana, yuk." Gue mengajaknya ke sofa dekat jendela yang menghadap matahari terbenam. Sebenarnya, nggak ada yang bisa diharapkan dari pemandangan di luar jendela. Hanya gedung-gedung yang juga tinggi dan pemandangan kota disertai jalan raya yang terasa penat menjelang jam pulang kerja.
"Ngapain duduk di sana?" tanyanya heran.
"Melakukan sunnah nabi." Keningnya mengernyit tajam saat mendengar itu, dari mimik wajahnya yang berubah drastis gue bisa membaca pikiran paniknya. Gue kontan menghampirinya dan menyentil keningnya pelan.
"Aw!" ringisnya, pura-pura kesakitan.
"Nah, kan, siapa yang lebih mesum coba? Kamu harus banyak-banyak istighfar."
"Aku nggak bilang apa-apa!" Elaknya.
"Memang nggak bilang apa-apa, tapi pikirannya udah kemana-mana. Kelihatan jelas dari muka kamu tuh..." Dia menormalkan mimik wajahnya. Memegangi pipinya yang agak memerah.
"Sunnah yang aku maksud itu, sunnah tidur di pangkuan istri. Kamu duduk, nanti aku rebahan sambil dzikir," jelas gue. Waktu selama cuci piring tadi, sudah cukup untuk membuat makanan turun ke usus halus. Gue bisa mulai rebahan dan meluruskan punggung.
"Makanya bilang dong yang spesifik," demonya tak terima.
"Ya udah, sebentar. Aku mau sambil makan yoghurt." Shafira mengeluarkan yoghurt berukuran kecil dari dalam kulkas yang gue belikan tadi. Dia sempat menawarkan juga, tapi gue menolak karena gue masih kenyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...