Extra Chapter 7A

16.2K 3K 1K
                                    

TAK pernah ada kesempurnaan pada manusia, setelah wafatnya manusia paling sempurna. Sepenggal kalimat nasihat itu gue dapatkan justru dari orang yang lebih muda dari gue. Hazm pernah mengatakan itu saat kami bertemu untuk mengurus dan membicarakan hal-hal soal pernikahan dulu. 

Tak hanya pertanyaan-pertanyaan krusial yang perlu gue dan Shafira diskusikan sebelum pernikahan, beberapa sifat juga perlu kami kenali, tapi tidak langsung dari orangnya melainkan dari orang-orang terdekatnya. Mungkin Shafira pernah menanyakan pada Papa melalui perantara kakaknya juga, perihal apa saja sikap buruk gue dan bagaimana gue ketika marah. Maka gue pernah menanyakan hal yang sama dan mendapatkannya dari Hazm.

Shafira orang yang banyak memendam segala hal yang iya rasakan. Justru cenderung lebih sering menjadi wadah untuk segala perasaan orang lain. Hal tersebut membuatnya enggan bercerita atau meminta bantuan saat ada masalah. Hazm bilang, kalau ada masalah yang cukup berat untuknya, Shafira justru akan bercerita saat masalahnya sudah selesai.

Tak pernah ada kesempurnaan pada manusia, setelah wafatnya manusia paling sempurna. Begitu pun dengan Shafira, sesempurna apapun dia dimata gue, dia masih punya kekurangan, dan gue pun begitu. 

Pulang dari mengantar Papa, rencananya selama satu sampai dua jam gue akan mengerjakan pekerjaan sebentar dari rumah. Setelah itu gue akan mengajak Shafira melihat rumah yang akan kami huni kedepannya. Namun sepertinya kepulangan gue ke apartemen tidak sesuai dengan harapan Shafira.

Ketika gue masuk, dia terlalu fokus bertelepon hingga salam gue mungkin tak terdengar olehnya. Bukan, bukan perkara tidak disambut atau diacuhkan yang membuat gue mulai tahu kekurangan yang dimaksud Hazm, tapi saat itu sepertinya Shafira sedang ada kendala dengan bisnisnya dan nggak bisa diselesaikan oleh stafnya, dia terlihat sedang sangat pusing berbicara dengan orang di telepon itu.

"Astagfirullah, nggak bisa. Itu nggak bisa diundur lagi, minggu-minggu ini aku ada perjalanan ke luar negeri. Nggak ada waktu untuk nyari supplier lagi. Nggak bisa asal sembarangan ambil barang dari tempat lain lah! Kita nggak tahu kualitas kainnya kayak gimana. Belum tentu juga tone warnanya sama..."

"Assalamu'alaikum..." Gue mengulang salam, kontan dia segera mengakhiri panggilannya. Pembicaraan sebelumnya yang terasa agak emosional mendadak padam. Shafira langsung berusaha mengembalikan mood-nya hitungan detik ketika mendengar kepulangan gue.

"Wa'alaikumussalam.... udah pulang lagi? Papa gimana? Kamu udah makan siang? Maaf penampilan aku agak..." Shafira membenarkan ikat rambutnya dengan menyisir rambutnya menggunakan jari. Mungkin dia baru selesai salat, sebab rambut bagian depannya terlihat masih agak basah.

"Penampilan aku agak sedikit berantakan." Dia tersenyum kaku. Senyum yang tetap terasa manis meski gue tahu dibalik senyum itu ada segudang masalah yang belum dia ceritakan.

"Berantakan aja kamu tetap cantik kok, Ra. Nggak perlu minta maaf segala. Kamu aja sering lihat betapa berantakannya aku waktu bangun tidur. Yang berhak mendapat penampilan terbaik itu, bukan hanya suami dari istri, tapi istri juga berhak melihat penampilan terbaik dari suaminya."

Shafira selalu dress well di depan gue, selalu wangi, selalu terlihat cantik—kadang juga seksi—selalu terlihat rapi, dan berpenampilan semaksimal mungkin ketika gue ada di rumah. Begitu pun gue. Gue juga berusaha untuk selalu terlihat tampan, wangi, dan memesona di depannya. 

"Papa udah aku antar sampai rumah. Tadi mau makan siang sama Papa, tapi ternyata Papa udah makan selama di kereta, jadi cuma sempat berjamaah dulu aja di Masjid dekat rumah yang di menteng. Kamu udah makan? Lunch di luar yuk?" Dia diam. Tadinya gue pikir mengajaknya makan siang di luar jadi salah satu opsi menenangkan pikirannya, tapi kayaknya itu opsi yang kurang tepat.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang