BISA-BISANYA gue menjelaskan tentang kandasnya hubungan pertunangan gue ke orang tuanya Nalea, tapi gue lupa menjelaskannya pada orang tua sendiri. Sepertinya Papa tahu hal tersebut dari orang lain, karena tiba-tiba saja hari itu gue diminta pulang ke Menteng. Gue kira Papa akan marah tentang masalah tersebut karena gue nggak diskusi dulu sama dia dan tiba-tiba saja menemui papanya Nalea sendirian.
Namun ternyata kepulangan gue ke Menteng bukan untuk membahas soal kandasnya hubungan gue, tapi membahas soal kuliahnya Sheina. Gue lupa mengatakan kalau semenjak Papa berencana pensiun dan Sheina mengalami kecelakaan, anak itu pindah sekolah ke Al Insani International Islamic School. Sebenarnya ada asramanya juga, hanya saja Papa belum mengizinkan Sheina untuk tinggal di Ma'had. Akhirnya ia hanya full day school, berangkat pagi pulang sekitar pukul lima, kadang juga Magrib.
Hanya tinggal satu semester lagi dan dia akan lulus. Dia harus memilih universitas untuk melanjutkan pendidikannya. Gue dan Papa diminta Sheina untuk duduk di kursi tengah, di ruang keluarga. Dia menggunakan televisi berukuran 85 inci untuk mempresentasikan planning-nya pada kami.
"Baiklah, bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..." Gue dan Papa bersama-sama menjawab salamnya. Dia bahkan sudah membuat salindia untuk presentasi sore ini.
"Ada sebuah pepatah Arab yang mengatakan bahwa, carilah ilmu sampai negeri Cina, tapi atas asas khidmat kepada orang tua, yang sudah memberikan amanat bahwa aku nggak boleh memilih tempat kuliah di luar Jakarta, jadi aku sudah memilih beberapa universitas di Jakarta dengan program studi yang aku minati."
"Kampus yang pertama yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan saya berminat untuk mengambil program studi psikologi di sana."
"Meskipun di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini ada program studi ekonomi dan bisnis, Papa jangan harap aku memilih prodi tersebut karena kalau ternyata aku nggak lolos prodi psikologi di UIN, aku lebih memilih untuk masuk di kampus lain dengan jurusan yang aku mau."
"Kenapa kamu nggak mau ambil bisnis? Padahal lebih enak ambil bisnis, biar sama kayak kakak kamu. Kalau ada tugas nggak usah repot..." komentar Papa yang memang sepertinya sangat mencintai prodinya dulu.
"Kalau Papa pengen aku ngambil bisnis, maka aku lebih ingin ngambil prodi bisnis Islam di UI, tapi itu kemungkinannya sangat-sangat kecil karena aku nggak yakin bisa keterima di UI. Ditambah, Papa melarang aku kuliah di luar Jakarta, kan? UI itu udah bukan lagi kawasan Jakarta, Pa, tapi masuk kawasan Depok." Layar salindia itu berpindah lagi memunculkan satu kampus yang kayaknya sering banget gue lewati.
"Opsi yang terakhir... Aku memilih kampus LIPIA Jakarta. Di kampus LIPIA ini, sebenarnya ada prodi yang aku minati yaitu syariah, tapi waktu aku cari tahu. Salah satu persyaratan masuk prodi syariah itu harus memiliki hafalan Al-Quran, sementara aku baru hafal juz tiga puluh doang."
"Kalau di LIPIA, kemungkinan aku akan mengambil program studi manajemen keuangan dan ekonomi syariah. Yang jadi masalah, ada tes bahasa Arab untuk semua prodi. Aku harus lancar berbicara, menulis, dan membaca bahasa Arab. Jadi aku perlu mengambil les tambahan dari sekarang."
Gue mengangkat tangan untuk melakukan interupsi, "Kalau segala hal kamu tunjukkan untuk Papa, terus apa fungsi kehadiran Kakak di sini?"
"Fungsi kehadiran kak Athaya hari ini adalah sebagai konsultan yang harus memberikan saran terbaik, sekaligus sebagai penasihat Papa terkait kampus mana yang yang harus aku pilih."
"Sekadar informasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu lokasinya juga nggak di Jakarta, Na. Itu lokasinya di Ciputat di Tangerang Selatan," tambah gue.
"Jadi sebagai konsultan yang baik, berdasarkan tinjauan lokasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Akan lebih baik kamu ambil LIPIA aja, karena LIPIA kampusnya ada di Jakarta Selatan. Jadi kamu nggak perlu ngekos, kamu bisa tinggal di apartemen bareng kakak." Sheina beralih pada Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...