SEDIKIT hal yang gue tangkap dari pembicaraan antara gue dengan Abyan tadi siang, bahwa sebenarnya ta'aruf yang dijalankan sesuai dengan syariat justru lebih banyak menghormati dan melindungi perempuan. Sebab relationship yang nggak diawali dengan cara yang baik, kadang kala banyak merugikan perempuan. Gue suka cara Abyan menjelaskan konsep ta'aruf tanpa menyudutkan apa yang masih gue lakukan. Sebelas-dua belas dengan Shafira yang lebih sering memberikan contoh lewat tindakan, tanpa menghakimi apa yang orang lain lakukan.
Lingkungan bukan hanya mempengaruhi kualitas bahasa seseorang saja ternyata, tetapi juga mempengaruhi pola pikir. Gue menyadari bagaimana Shafira mampu bertahan dengan prinsipnya, karena pola pikirnya terbentuk sebab lingkungannya yang juga berprinsip. Entah itu keluarga, bahkan pertemanan.
Usai matahari sempurna tenggelam, akhirnya gue bisa pulang meski dibayangi jalanan yang macet karena malam Minggu. Dua teman Shafira kembali ikut nebeng pulang, namun salah satunya di ganti. Gue bahkan nggak bisa mengingat nama mereka satu persatu saking banyaknya panitia dan relawan yang mengikuti acara tersebut.
Gue menepikan mobil di salah satu rest area setelah perut gue keroncongan dan mobil hanya mampu bergerak beberapa meter. Jujur aja gue agak canggung membawa mereka untuk istirahat sebentar karena gue laki-lakinya sendirian. Tapi gue lapar parah, nggak enak juga kalau suara perut gue sampai kedengeran.
"Kita istirahat dulu sebentar ya, kalian juga pada belum makan malam, kan?" Gue mengatakan itu sambil masih mencari tempat parkir yang strategis agar mudah keluar nantinya.
"Sekalian kita juga belum sholat isya."
"Sholat isya, yeah... that's the important thing too," gue menanggapi Shafira. Padahal gue nggak kepikiran menepi buat sekadar sholat isya karena baru juga jam tujuh lebih dikit.
"Aku sama Tsani lagi nggak pada sholat nih, kita juga masih kenyang. Nunggu di mobil boleh, ya?"
"Boleh, berarti kunci mobilnya saya tinggal."
Gue meninggalkan mobil dengan Shafira. Beberapa bangunan dengan sorot lampu dan nama-nama resto menghiasi pemandangan rest area malam itu. Orang-orang terlihat memenuhi bangunan-bangunan tersebut mengingat tempat parkirnya saja penuh. Tempatnya memang luas, sampe gue bingung mau makan di tempat yang mana. Gue menghampiri mas-mas yang atributnya kayaknya tukang parkir.
"Pak, maaf mau tanya. Masjid sebelah mana ya?"
"Oh, lurus Mas. Nanti ada tempat oleh-oleh, belok kanan, sebelah kirinya ada McD. Nah, di samping McD itu ada masjid."
"Deket nggak Pak kalau jalan? Ada tempat parkir deket sana?"
"Kalau jalan kaki lumayan sih Mas. Wah... penuh. Makanya pada parkir di sini, Mas."
"Oh gitu ya, Pak. Makasih ya Pak." Gue menatap Shafira yang saat itu juga menyimak penjelasan tukang parkir.
"Berani sendirian, nggak?" tanya gue. Dia nggak menjawab, terlihat nggak berani, tapi nggak mungkin juga dia ngomong ke gue minta dianterin.
"Ya udah, kita cari masjidnya buat sholat dulu." Gue berjalan mendahului.
"Nggak apa-apa, saya berani sendiri kok. Anda bisa langsung cari tempat makan aja."
"Saya juga mau sholat isya. Saya masih bisa nahan lapar beberapa menit lagi. Lagian kalau kamu ilang, saya juga yang repot." Suaranya tak terdengar lagi setelah gue mengatakan itu.
Lagipula Abyan sempat mengatakan kalau dalam kondisi lapar makan memang perlu di dahulukan daripada sholat, tapi itu dilakukan apabila makanannya sudah terhidang. Kalau pun gue memilih untuk melipir ke salah satu tempat makan, waktu selama gue menunggu makanan itu disiapkan juga cukup untuk dipakai sholat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...