Bagian 32

12.2K 2.3K 208
                                    

MUNGKIN karena hari ini hari jum'at, perjalanan dari apartemen ke kantor berlangsung tanpa hambatan. Pak Iman sampai nggak menyangka bisa sampai di Nata Adyatama empat puluh lima menit lebih awal. Padahal kita berangkat di jam-jam seperti hari sebelumnya. Gue mensyukuri hal tersebut, sebab schedule gue hari ini lumayan hectic, gue nggak mau mengorbankan waktu istirahat gue yang udah sangat minim itu untuk bekerja lembur. Akhir-akhir ini karena proyek pemerintah, hidup gue hanya berputar-putar. Berangkat kerja dan pulang, berangkat lagi, pulang lagi. Gitu aja terus, nggak ada kegiatan lain.

Ketika gue hendak menempelkan access card untuk masuk, tenyata pintu ruang kerja gue udah dalam keadaan nggak terkunci. Hal itu hanya bisa terjadi karena dua hal, pertama Shafira lupa menguncinya karena kemarin dia terakhir pulang, atau hari ini dia sudah datang lebih awal. Gue melirik jam tangan yang gue pakai untuk memastikan bahwa ini masih terlalu pagi untuk Shafira datang.

Sekretaris memang biasanya datang sepuluh sampai lima belas menit lebih awal, waktu tersebut diperlukan untuk melakukan persiapan, seperti mengecek schedule sebelum melaporkannya ke gue, mengecek surat masuk atau dokumen-dokumen yang akan gue perlukan hari itu, atau sekadar membereskan meja kerja gue. Awalnya gue mengira Shafira lupa menguncinya, namun ternyata sosoknya sudah berdiri cemas menyambut gue.

"Ada hal penting yang perlu saya sampaikan," katanya hingga lupa mengucapkan selamat pagi. Kalau diingat-ingat gue bahkan nggak pernah mendengar ucapan selamat pagi darinya sama sekali.

"Hal sepenting apa yang perlu kamu katakan, sampai datang pagi-pagi begini?" tanya gue. Gue sudah mengira, pasti Shafira menyadari kesalahannya kemarin. Dia malah mengigit bibir bawahnya ragu, membuat gue mencoba mencari objek lain untuk diperhatikan. Harusnya gue membuat SOP tertulis kalau dia dilarang keras melakukan gestur semacam itu baik di depan gue maupun di depan pria lain.

"Sore kemarin, harusnya ada meeting dengan Pak Abinaya pukul empat sore dan... saya malah lupa bilang soal itu. Handphone saya mati total sepulang kerja kemarin, jadi saya nggak mem-follow up apapun ke sekretarisnya. Saya tahu, alasan apapun itu. Hal tersebut memang salah dan fatal. Saya benar-benar minta maaf... saya akan menghubungi pihak Pak Abinaya untuk meminta maaf dan meminta untuk di-reschedule. Saya juga akan menjelaskan bahwa kemarin murni kelalaian saya pribadi." Di dunia kerja, sulit menemukan orang yang melakukan kesalahan namun mau mengakui kesalahannya.

"Kamu nggak tidur semalam?"

"Ya?" dia nampak bingung karena pertanyaan gue yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan penjelasannya.

Kedatangannya hari ini yang lebih pagi dari biasanya, jelas memiliki alasan. Tanda sebuah penyesalan yang cukup membuat gue mengurungkan niat untuk menegurnya. Sekalipun dia menyadarinya kemarin malam, dia nggak mungkin berani menghubungi gue di luar jam kerja. Hal tersebut seolah haram dilakukan Shafira, itulah sebabnya dia memutuskan datang lebih awal untuk mengatakan hal ini ke gue tanpa menganggu jam kerja.

"Kelopak mata kamu bengkak, Ra. Kamu kayak orang yang nggak tidur tiga hari tiga malam." Dia mengusap kedua matanya segera, seolah baru menyadari hal tersebut.

"Maaf, saya mengalami insomnia akhir-akhir ini," jawabnya, padahal nggak perlu minta maaf. Kalau memang insomnianya berlangsung berhari-hari, nggak mungkin penyebabnya karena masalah kerjaan yang dibahasnya. Gue malah kepikiran perkataan Abyan soal ta'aruf. Jangan-jangan itu yang membuatnya insomnia.

"Syukurlah kamu menyadari kelalaian kamu lebih dulu, kemarin Bu Rina sudah mengabari saya tentang hal tersebut. Saya juga udah menghubungi Pak Abinaya tadi pagi secara pribadi. Kebetulan kemarin beliau juga ada kepentingan lain. Sebagai gantinya, beliau meminta meeting dilakukan di luar jam kerja. Mungkin saya akan menemuinya di akhir minggu ini. Kebetulan beliau mengajak saya untuk main golf."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang