Bagian 92

12K 2.8K 1.6K
                                    

USAI menyelesaikan dan menandatangani segala jenis dokumen yang perlu diserahkan besok, gue juga langsung bergegas meninggalkan kantor. Namun, niat untuk pulang cepat itu perlu gue tunda, sebab gue bertemu dengan seseorang di lobi. Rafif mungkin sengaja datang ke Nata Adyatama di jam pulang kerja dengan maksud mengajak Shafira berbicara lagi.

"Anda mau menemui Shafira, ya? Shafira sudah pulang, dari dua puluh menit yang lalu," ucap gue pertama saat dia bangkit dari posisi duduknya untuk menghampiri gue.

"Saya bukan ingin bertemu dengan Shafira. Saya ingin berbicara dengan Anda. Ada hal yang ingin saya tanyakan." Nada bicara Rafif terdengar sangat dingin di telinga gue.

"Oh, menemui saya? Ada hal penting apa sampai Anda harus ke sini di luar jam kerja?" tanya gue, masih dengan ramah.

"Apa Anda punya hubungan spesial dengan Shafira?"

Gue mematung mendengar itu, khawatir telinga gue salah dengar. Gue nggak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu dari Rafif. Kalau dari orang lain, mungkin gue bisa memakluminya karena gosip yang tersebar, tapi kalau dari Rafif, gue nggak bisa memberikan toleransi untuk itu.

"Bisa diulang pertanyaannya?" Gue memberikannya kesempatan untuk meralat dan menarik semua ucapannya.

"Apa Anda dengan Shafira punya hubungan lebih di luar dari hubungan pekerjaan? Orang-orang membicarakan tentang kalian, dan di tempat parkir Nirwana Group tadi, saya melihat kalian saling merayu satu sama lain sambil melempar senyum." Rahang gue mengeras mendengar itu. Rafif malah memperparah keadaan dan mengabaikan kesempatan terakhir yang gue berikan.

Tiba-tiba udara terasa panas. Gue mati-matian untuk tidak melayangkan tinju ke arahnya, mengingat ini di lobi Nata Adyatama. Masih banyak orang yang melihat kami. Gue mencoba mengumpulkan akal sehat untuk menjawab pertanyaan konyolnya itu.

"Apa yang Anda dengar dari orang-orang yang membicarakan tentang saya dan Shafira? Rumor kalau kami pernah tidur bersama? Atau Anda yang membatalkan pernikahan karena orang-orang bilang Shafira 'bekas' saya?"

Gue mengatakan itu dengan sinis, bahkan kalimat itu sangat berat untuk gue katakan. Tapi Rafif bukannya merasa risih saat orang-orang berbicara buruk tentang Shafira, dia malah datang menemui gue hanya untuk memastikan keraguannya.

"Saya bingung harus menilai Anda sebagai orang baik atau tidak. Awalnya saya mengira Anda sangat jahat karena Anda menyakiti Shafira. Lalu kemudian saya berpikir Anda orang baik. Situasi yang membuat Anda terpaksa melakukan ini pada Shafira, mengingat kondisi Anda sama sulitnya dalam hubungan ini."

"Lalu sekarang? Anda nggak mempercayai orang yang bahkan Anda cintai. Anda lebih mempercayai orang-orang yang berbicara buruk tentang Shafira?" Gue tersenyum kecut.

"Merusak hubungan Anda dengan orang tua Anda saja, Shafira nggak mau melakukannya. Apalagi melakukan atau menjalin hubungan terlarang dengan saya." Rafif bungkam mendengar itu.

"Saya nggak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Shafira kalau sampai dia tahu apa yang Anda tanyakan pada saya hari ini. Dulu saya sempat bertanya-tanya, kenapa Allah membuat jalan yang begitu sulit untuk menyatukan dua orang baik seperti Anda dan Shafira. Namun sekarang semuanya terjawab..." Gue mengambil jeda untuk membuat oksigen lebih leluasa masuk ke paru-paru.

"Ternyata Anda tidak cukup baik untuk Shafira." Rafif makin mematung dan gue nggak berniat menunggu untuk melihat responsnya. Gue berlalu pergi dengan segala emosi yang perlu gue telan sendiri.

Yang awalnya berencana pulang ke Menteng hari itu, gue mendadak memutuskan untuk pulang ke Kuningan City, karena ternyata amarah gue setelah berbicara dengan Rafif tidak mereda secepat itu. Bahaya kalau pulang ke Menteng dan Sheina menyadarinya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang