MOBIL terasa bergerak melambat dan mungkin menepi sebentar. Sebelum membangunkan gue, tangan Shafira lagi-lagi terasa menyentuh kening. Untuk kesekian kalinya, dia memastikan suhu tubuh gue yang masih belum kunjung turun. Gue membuka mata perlahan dan mengenggam tangannya. Mengumpulkan separuh nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Kayaknya hampir tiap lima menit sekali kamu ngecek suhu tubuh aku pake tangan. Cari-cari kesempatan megang wajah suami, ya?" Dia hendak menarik tangannya, namun genggaman tangan gue masih cukup kuat untuk menahannya.
"Efek demam tinggi bikin kamu kayak gini, ya? Bercanda di waktu kayak gini sama sekali nggak lucu... Demam kamu masih belum turun dari tadi. Apa nggak sebaiknya kita ke rumah sakit dulu?" Gue menggeleng pelan dan melepaskan tangannya. Tidur di rumah sakit dengan selang infus dan bau obat-obatan, benar-benar bikin nggak nyaman.
"Nggak usah, kita pulang aja. Aku nggak apa-apa kok. Sakit kepalanya udah nggak ada, tinggal demamnya aja..." pinta gue.
"Kita pulang ke mana? Ke rumah yang di Menteng, atau ke apartemen yang di Kuningan City?" Dia masih mengingat dua tempat tinggal gue ternyata. Karena ke Kuningan City jaraknya lebih dekat daripada ke Menteng gue memutuskan untuk pulang ke sana buat sementara.
"Kita ke apartemen yang di Kuningan City aja. Biar aku yang nyetir sekarang. Aku udah sempat tidur tadi..." Gue memintanya untuk bertukar posisi, tapi Shafira jelas langsung menolaknya dan langsung menjalankan mobil kembali agar kami nggak memiliki waktu untuk bertukar posisi. Gue paham betul, dia bukan nggak taat. Dia khawatir kalau membiarkan gue menyetir dalam kondisi masih demam meski udah nggak pusing.
"Kamu masih ingat alamatnya, kan?" tanya gue. Dia mengangguk.
"Tentu, aku ingat semuanya. Termasuk ketika dulu kamu malah nunjukin termometer suhu ruangan saat aku minta termometer suhu badan..." Gue tertawa kecil, kembali teringat masa-masa itu. Masa saat gue masih sama Nalea dan Shafira datang ke apartemen dengan status sekretaris gue, karena gue nggak masuk kerja tanpa kabar.
"Dulu kamu ribet banget kalau lagi berdua sama aku, harus selalu bawa orang lain, atau pintunya harus selalu terbuka. Aku paham kekhawatiran kamu waktu itu. Sekarang cek suhu tubuh aku udah nggak perlu pake termometer lagi, ya? Berduaan sama aku di mobil kayak gini juga udah nggak canggung lagi."
"Jangan mulai... mending kamu tidur lagi aja, masih ada waktu. Biar aku bisa menyetir dengan tenang. Jangan katakan hal yang aneh-aneh, dan jangan buat aku mengulang dua kali kalau bercanda di saat kayak gini nggak lucu sama sekali." Dia seolah tahu gue akan menggodanya habis-habisan dengan kata-kata.
Gue menuruti perkataanya. Namun mungkin karena terlalu lama berada di dalam mobil ber-AC, demam gue malah makin naik. Kayaknya ujian pernikahan kami yang pertama adalah demam yang langsung di bayar Allah tunai saat itu juga.
Ketika sampai di apartemen, gue bahkan di bantu Shafira untuk berjalan naik karena nggak kuat jalan sendiri. Kepala gue terasa sakit lagi saat efek obatnya habis.
Dia membantu gue berbaring, bahkan melepaskan sepatu dan kaos kaki yang gue pakai. Rasa syukur menyeruak memenuhi hati tatkala menyaksikan itu. Belum nyampe sehari, dia sudah sangat sepeduli ini. Saking nggak kuatnya dengan demam itu, gue nggak ingat apapun lagi, kecuali Shafira yang sepertinya memanaskan air entah untuk apa.
Sekitar pukul tiga lewat tiga puluh menit, gue terbangun dengan kondisi handuk hangat yang terasa basah menempel di kening. Sebuah mangkuk stainless tersimpan di samping nakas. Shafira tertidur di samping gue dalam kondisi duduk, kursi dari ruang kerja di tariknya ke kamar ini. Dia bahkan tertidur tanpa sempat berganti pakaian dulu.
Gue merasa bersalah melihatnya tidur dengan kondisi seperti itu, pasti nggak nyaman dan punggungnya akan sakit. Gue berniat memindahkannya agar dia bisa tidur sambil berbaring, namun gue nggak punya cukup tenaga untuk melakukan itu dan malah membuatnya bangun saat lengan gue sudah berada di pinggangnya.
Jarak wajah kami yang hanya kurang dari sepuluh senti, membuat matanya yang baru setengah terbuka tiba-tiba terbuka sempurna. Seketika gue membuka jarak dan menjauhkan diri dari Shafira.
"Maaf... aku... aku nggak bermaksud apa-apa. Aku cuma berusaha memindahkan kamu ke tempat tidur... supaya... supaya kamu bisa tidur lebih nyenyak." Gue mendadak gugup luar biasa. Shafira juga sama, dia terlihat sangat canggung namun memilih untuk pura-pura tidak ingat dengan momen awakward tadi.
"Kamu masih demam?" tanyanya. Saat itu Shafira masih duduk di kursi dan gue duduk di tempat tidur. Lagi-lagi dia menempelkan telapak tangannya di kening gue tanpa ragu. Namun kali ini dampaknya terlalu luar biasa di tubuh gue.
"Alhamdulillah, udah nggak demam lagi sekarang, tapi..." Perkataanya menggantung, dia memperhatikan wajah gue dengan seksama.
"Kenapa kok muka kamu masih kelihatan merah?" tanyanya polos. Dia nggak tahu penyebab wajah gue memerah kali ini bukan karena demam, tapi karena ulahnya. Gue tiba-tiba berdiri, meninggalkannya dengan berjalan menuju arah kamar mandi.
"Ekhem... aku mau salat malam dulu. Kamu mau salat malam juga, nggak?" Dia mengangguk. Gue masuk ke kamar mandi lebih dulu untuk mengambil wudhu. Bisa-bisanya malah gue yang merasa salah tingkah sendirian saat itu.
Ketika keluar dari kamar mandi, Shafira sudah dalam kondisi terlelap di tempat tidur. Dia pasti masih sangat mengantuk dan tidur lebih sebentar dari gue. Mengingat dia yang menyetir dan dia yang mengompres gue selama gue tidur tadi, agar demamnya segera reda.
Gue nggak langsung membangunkannya. Memilih berganti pakaian dan salat malam lebih dulu. Setelah menunaikan salat tahajjud beberapa rakaat. Gue baru membangunkannya.
"Ra... Shafira." Gue membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan lengannya. Saking lelahnya, dia nggak terusik sama sekali. Akhirnya gue menyentuh pipinya dengan telunjuk dan memanggilnya dengan lembut beberapa kali.
"Ra... Mau salat malam nggak? Waktunya udah mau habis nih... Shafira..." Dia membuka matanya perlahan. Ketika pandangannya sudah sempurna, dia terperanjat kaget dan seketika duduk ketika melihat keberadaan gue.
"Kenapa Anda ada di sini?!" tanyanya. Gue bingung menjawabnya. Jelas gue ada di sini karena ini apartemen gue.
"Ya, karena... kita lagi di apartemen aku." Dia mengamati sekeliling kamar itu dan seolah baru menyadari sesuatu. Beberapa menit kemudian, Shafira meringis sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangan.
"Astaghfirullah... Maaf, aku lupa kalau aku udah nikah."
Gue tertawa lepas mendengar itu. Mungkin karena belum genap satu hari, dia lupa dengan status barunya sendiri.
"Ya udah, nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf juga. Bangun, yuk. Masih ada waktu buat salat malam. Sayang kalau dilewatkan begitu aja... Sayang." Gue menggodanya. Dia malah langsung menutup sekujur tubuhnya dengan selimut.
"Ah, ini masih pagi! Tolong jangan serang aku dengan amunisi kata-kata semacam itu. Aku belum siap..." Gue tertawa lagi melihat tingkahnya, hanya Shafira yang ketika digombali, dia malah protes.
__________
To be continued.
Aku menyerah. 🏳️🏳️🏳️
Nggak lagi nantangin kalian deh. 🤧
Tapi lunas ya, triple update udah aku posting semua. 🤝🏻
Sampai ketemu di bab selanjutnya, insyaallah. Mungkin dalam beberapa hari ke depan. Mau mengistirahatkan jari-jari aku yang sudah berotot berkat kalian. 😂
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...