ORANG yang mengaku mati rasa sekalipun, pernah merasakan manisnya perasaan sebelumnya. Lantas bisa-bisanya gue menyimpulkan orang pendiam seperti Shafira, nggak pernah memiliki perasaan lebih ke lawan jenis. Sependiam apapun dia, perasaannya bisa lebih berisik dari yang terlihat. Gue jadi penasaran, sosok pria seperti apa yang berhasil membuatnya menaruh harap hingga matanya lebih berbinar hanya dengan mendengar sebuah nama.
"Eh, bentar, ya. Gue ke toilet dulu," Abyan meninggalkan kami, tentu nggak bisa dikatakan berduaan saat beberapa tempat lain dipenuhi orang-orang yang hendak makan siang.
"Who's Afif?" tanya gue spontan. Lebih baik mengungkapkan isi pikiran terang-terangan daripada menahan rasa penasaran.
"Human," khas Shafira yang jawabannya selalu singkat kalo gue yang nanya.
Sejak awal gue juga tahu kalau mereka membicarakan manusia, bukan spesies lain. "Saya tahu Afif yang kalian bicarakan itu makhluk berjenis manusia. I just..." gue sempat mengambil jeda untuk memilih kosa kata yang pas untuk dikatakan.
"...want to know, what kind of man is he? Until he can make your cheeks look blushing like now," sambung gue.
"Pipi saya nggak blushing tuh!" sanggahnya langsung, terlihat kontras antara ucapan dan perkataan nggak singkron sama sekali. Senyum asimetris tercipta begitu saja di bibir gue saat itu. Entah kenapa, rasanya menyenangkan menggoda Shafira dengan topik percakapan semacam ini.
"Suara kamu nggak akan meninggi kalau pipi kamu nggak beneran blushing, Shafira." Dia memilih bungkam, membuat gue semakin yakin bahwa hipotesis gue tentang orang bernama Afif itu benar.
"Sebegitu pentingnya orang yang bernama Afif itu? Sampai kamu keberatan banget buat ngasih tahu saya." Pertanyaan gue masih nggak di respon, Shafira diam lagi. Padahal gue rasa mengetahui Afif itu siapa bukan ranah yang sangat pribadi. Kecuali kalau gue tanyakan apa hubungannya dengan Afif, gue cukup tahu diri untuk nggak menanyakan sampai sana.
"It doesn't matter if you don't want to tell me. Tanpa kamu beri tahu pun, saya bisa tahu jawabannya nanti," jawab gue dengan percaya diri. Mungkin Shafira nggak pernah mengira kalau gue akan menanyakannya langsung tepat setelah kembalinya Abyan dari toilet.
"Ada apa?" tanya Abyan heran, bahkan sebelum ia kembali duduk, sambil bergantian memandang ke arah gue dan Shafira. Suasananya jadi terasa agak berbeda dari sebelum ia ke toilet.
"Afif itu siapa?" Meski gue mengatakan itu sambil menatap ke arah Abyan, gue bisa merasakan betapa tajam sorot mata yang sempat dilemparkan Shafira.
"Oh, itu... Bang Afif, dia ketua komunitas FOKUS yang gue bilang tadi."
"FOKUS?" tanya gue, memastikan nggak salah dengar. Belum apa-apa gue marasa orang yang diceritakan memiliki kesan yang cukup luar biasa.
"Forum Kepedulian Sesama. A kind of community that holds humanitarian social activities. Kalau ada kayak bencana banjir misalnya, kita suka ikut turun tangan ngasih bantuan. Nah, Bang Afif ini semacam founder-nya gitu."
"Oh, founder-nya ternyata," gua mengangguk-angguk paham sambil beralih menatap Shafira.
"Perusahaan lo banyak kerja sama bareng ALP Indonesia, kan? Astra Land Properti?" tanya Abyan lagi, terasa tidak ada korelasi dengan topik sebelumnya. Gue mananggapinya dengan anggukan. Bersamaan dengan itu, makanan kami akhirnya disajikan. Namun pramusaji malah menaruh pesanan Abyan di hadapan Shafira.
Gue sempat melihat Shafira agak tergangu dengan bau daging kambing dari nasi kebuli yang Abyan pesan, kayaknya dia kurang suka sama makanan yang berkaitan dengan kambing. Respon lain yang dapat gue pahami dari Shafira selain kalimat singkatnya yaitu lengkungan alis, kerutan kening, mata yang menyipit penasaran, that's it.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...