KAYAKNYA kalau ada faktor-faktor yang membuat gue berkemungkinan mati muda, faktor terbesarnya adalah pekerjaan. Memang salary yang gue dapet dari posisi gue sekarang lebih besar dari job desk yang harus gue kerjakan dan gue juga tidak pernah mengeluhkan akan hal tersebut, tapi kadang fisik gue yang protes. Kalau nggak dibagi sama olahraga dan pola hidup yang bisa dibilang "lumayan" sehat. Tubuh gue bakalan gampang banget sakit.
Belum sampai dua hari gue balik dari Osaka, lagi-lagi gue disibukkan dengan pekerjaan yang mengharuskan gue pergi ke luar kota. Padahal Sheina masih di rawat. Ini bukan pekerjaan Pak Jo yang gue gantikan, tapi ini adalah pekerjaan yang tertunda gara-gara gue ke Osaka. Karena nggak ada yang jaga Sheina selama gue ke Bandung besok, akhirnya mau nggak mau gue minta tolong ke Shafira meski itu bukan bagian dari pekerjaanya. Gue mengirimnya pesan yang lumayan panjang malam itu.
"I know this is not your jobdesc, tapi boleh nggak saya minta tolong kamu jagain Sheina di rumah sakit besok? Saya harus ke Bandung buat ngurus beberapa hal penting di kantor cabang. Saya janji nggak akan lama kok, saya flight yang jam 03.00 subuh jadi kemungkinan jam 01.00 siang udah landed lagi di Soeta."
Gue mengirimkan hampir satu paragraf penuh pesan permintaan itu dan Shafira membalasnya dengan satu kata "Oke" dengan diakhiri tanda titik, tidak lebih. Gue balas pesan itu dengan ucapan terima kasih meski rasanya gue kayak lagi chating sama dosen. Rasa penasaran itu ternyata belum berakhir apa Shafira membalas pesan sesingkat itu pada Rafif juga.
Gue menggeleng-gelengkan kepala berharap pertanyaan itu segera menghilang. Gue harus mulai berhenti memikirkan tentang Shafira sekarang. Dia sudah mengenakan cincin tunangannya. Melihatnya bahagia dengan pilihannya adalah sesuatu yang seharusnya membuat gue bahagia juga. Sejak awal, memutuskan jatuh hati pada Shafira sama seperti menanti hari-hari patah hati.
Kodisi itu diperburuk ketika gue tak sengaja mendengar pembicaraan Shafira dengan Sheina setelah flight dari Bandung ke Jakarta. Saat gue hendak masuk ke ruangannya, mereka tengah membicarakan soal Shafira yang mungkin nggak akan bisa bekerja sebagai sekretaris gue lagi setelah menikah.
"Kakak mau menikah?" tanya Sheina.
"Memangnya kamu mau dia melajang selamanya? Sekretaris juga punya kehidupan pribadinya sendiri kali, Na." Gue mengatakan itu tepat ketika gue membuka pintu ruangan lebih lebar. Membuat mereka menyadari kehadiran gue di ruangan tersebut.
"Ya nggak gitu juga, Kak. Kaget aja Kak Shafira udah mau nikah. Padahal menurut aku, usia Kak Shafira itu masih terlalu muda untuk menikah."
"Terus kalau Kakak yang nikah kamu bakalan sekaget apa nanti? Parameter kesiapan menikah itu bukan dari umur aja. Ya kalau Kak Shafira di umur sekarang udah siap nikah. Kenapa enggak?"
"Kalau Kakak yang nikah, senang banget lah. Cepet-cepet sana, umur udah matang, calon udah ada, masih belum siap mulu buat nikah." Gue nggak tahu sikap sarkas kami menurun dari siapa. Sepertinya gue dan Sheina memiliki kemiripan dalam hal tersebut.
Saat itu gue baru tersadar akan sesuatu, dari sekian banyak barang dan oleh-oleh yang gue bawa, gue lupa membawa ponsel di tas kecil bersamaan dengan dompet dan barang-barang penting gue yang lain.
"Ponsel saya kayaknya ketinggalan di mobil, tunggu sebentar ya." Lama-lama gue mulai punya phobia membuka handphone setiap kali mendapatkan puluhan notifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Ada laporan kelayakan yang perlu gue kirim siang ini. Gue perlu menanyakan pada Shafira di folder mana dia menyimpannya.
"Ra, laporan kelayakan..." perkataan gue terjeda saat kembali ke ruangan dan mendapati sosok yang paling gue hindari selama ini.
"Maaf, saya nggak tahu kalau Anda ada di ruangan." Gue hendak menutup kembali pintu ruangan itu dan meninggalkan tempat itu sesegera mungkin.
"Mau sampai kapan kamu menghindar dari Papa?" mendengar pertanyaan itu, gue mengambil nafas dalam-dalam. Berusaha mengatur ritme emosi yang selalu langsung meningkat setiap kali gue melihatnya.
"Saya nggak menghindar. Saya hanya menyesuaikan diri saya, yang selalu merasa tidak nyaman setiap kali bertemu dengan Anda."
"Kalau hanya perlu menyesuaikan diri dengan Papa. Apa harus kamu harus menghindari Sheina juga? Kamu nggak sadar, kalau sikap kamu yang terlalu cuek itu sebagai seorang kakak, membuat Sheina kayak gini!"
"Anda tahu apa yang lebih menyiksa untuk Sheina?" Gue menanyakan itu dengan sesuatu yang terasa tercekat dalam tenggorokan. Memendam segala amarah, membuat dada gue merasa sesak.
"Kehadiran saya." Satu kalimat itu berhasil membuat bokap gue terdiam. Gue menatapnya kosong. Segala perasaan yang berkecamuk dalam diri gue dalam satu waktu, benar-benar terasa menyiksa.
"Harusnya sejak awal Anda membuat Sheina menjadi anak tunggal, dan berhentilah bertingkah seolah Anda adalah ayah saya. Semua itu benar-benar membuat saya muak!"
"Papa lebih menyesal telah menjadikan kamu kakak untuk Sheina."
"Udah, Pa..." Lerai Sheina.
"Baguslah kalau gitu. Jadilah Papa yang baik, karena uang nggak bisa menjadikan Anda sebagai seorang ayah. Urus Sheina dengan benar karena Anda ada satu-satunya kalau misalnya sekarang."
Emosi gue benar-benar nggak terkendali, gue lupa bahwa di ruangan itu masih ada Shafira. Dia nampak kaget dengan kejadian ini, dan ketika gue menatapnya, dengan tiba-tiba kedua kelopak mata gue semakin terasa penuh. Gue nggak sanggup berada di kondisi ini lebih lama.
"Kak! Kak Atha..." Panggilan Sheina sama sekali nggak gue hiraukan. Gue memutuskan meninggalkan ruangan itu sesegera mungkin.
Memperbaiki hubungan gue dengan Sheina adalah hal yang berbeda dengan memperbaiki hubungan gue dengan bokap. Mudah bagi gue untuk menganggapnya sebagai seorang adik tapi sulit untuk menerima seseorang Andreas Yudistira Adyatama sebagai seorang ayah setelah segala hal yang dia lakukan ke ibu.
Tanpa gue sadari, Shafira ternyata mengikuti langkah gue meninggalkan ruangan tersebut. Gue terduduk di salah satu kursi ruang tunggu setelah berjalan agak jauh dari kawasan ruang rawat Sheina. Mencoba menenangkan diri dan mengatur nafas untuk meredamkan segala hal yang gue rasakan saat itu.
"Pulang aja, kamu nggak perlu balik lagi ke kantor," gue mengatakannya sambil tengah menenggelamkan wajah dalam dua telapak tangan. Menekan kening agak kuat untuk meredakan rasa sakitnya.
Shafira masih belum beranjak, dia masih berdiri di hadapan gue, hingga gue harus mengangkat kepala untuk membuatnya pulang.
"Kamu nggak denger? Saya nyuruh kamu buat pulang!" ucap gue dengan nada lumayan tinggi. Namun pandangan kami malah bertemu, sejenak sebelum Shafira menyadarinya.
Dalam hati gue bergeming, Tuhan, bolehkah gue memeluknya saat ini? Dunia gue benar-benar lagi nggak baik-baik aja.
__________
To be continued.
Jangan peluk, entar lo digampar, Tha.
Bagian ini serasa aga berbawang ya, panas banget di mata. 500 komen, gass nggak nih?
Make The Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...