Bagian 43

11K 2.4K 379
                                    

Author's Note:

Gemes nih, lima ribu lagi. Yuk bisa yuk follow supaya dapet notif update. Makasih loh <3

OTAK gue bekerja agak lambat saat mendengar istilah log in yang dimaksud Abyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

OTAK gue bekerja agak lambat saat mendengar istilah log in yang dimaksud Abyan. Masalahnya ini berkaitan dengan agama. "Maksud lo Vian mau jadi mualaf? Terus keluarganya gimana? Itu bukan keputusan impulsif yang dia ambil karena perempuan yang lagi dia suka waktu itu, kan?" Gue mencecar Abyan dengan berbagai pertanyaan, karena gue berasumsi Vian tidak mungkin mengambil keputusan tersebut.

"Beberapa waktu terakhir ini, Vian sering ikut kajian-kajian yang gua datangi. Gue sama sekali nggak mengajak dia apalagi maksa buat ikut. Awalnya memang dia yang pengen tahu lebih banyak tentang Islam, dia nggak tahu harus datang ke mana. Ya akhirnya gue bilang kalau gue sering mendapat jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang nggak bisa gue jawab dari kajian yang gue ikuti."

"Setelah beberapa kali mengikuti kajian, gue juga mengenalkan dia ke guru gue yang sering mengisi kajian di sini. Habis makin sini pertanyaan-pertanyaannya makin sulit dan bukan kapasitas gue untuk menjawab. Setelah diskusi panjang lebar dengan guru gue. Dia sendiri yang memutuskan untuk masuk Islam. Bahkan yang gue tahu, justru dia udah nggak pernah komunikasi dengan perempuan yang dia suka itu selama sebulan lebih."

Ternyata hidayah bisa datang secepat itu untuk Vian, padahal kayaknya kurang dari sebulan gue mengenalkan Vian pada Abyan. Namun akhirnya keputusan hebat itu berani dia ambil. Pantas saja dia jarang muncul di grup akhir-akhir ini, bahkan kayaknya dia agak susah buat diajak nongkrong. Gue nggak nongkrong karena gue lagi sibuk sama kerjaan, lah Vian nggak nongkrong karena ternyata lagi sibuk kajian sama Abyan.

Gue cukup ikut bahagia mendengar kabar baik itu, meskipun agak resah karena gue tahu kondisi keluarganya yang juga seorang Kristen yang taat. Dari pemaparan Abyan gue bisa tahu kalau Vian sama sekali belum mengatakan hal tersebut atau meminta izin kepada keluarganya bahwa dia akan memeluk agama Islam. Jalan yang dia ambil akan lebih rumit dan terjal.

Entah kenapa gue menganggap orang-orang yang pada awalnya bukan seorang muslim, namun mendapatkan hidayah dan taufik hingga memeluk agama Islam dan bahkan lebih taat dari orang yang sudah muslim sejak lahir, mereka justru lebih beruntung dari orang-orang yang sudah terlahir sebagai muslim. Karena banyak yang beragama Islam namun tidak hidup dengan ajarannya, salah satunya gue.

"Rencananya kalau nggak ada kendala, inshaallah Vian akan mengucap dua kalimat syahadat setelah kajian Sabtu depan. Karena dia hanya datang bareng gue doang, tadinya gue harap lo bisa datang juga di momen yang sangat penting itu. Tapi karena kemungkinan lo masih di Osaka sabtu depan. Nggak apa-apa sih, nggak bisa maksain juga kan kalau soal kerjaan kan," kata Abyan

"Itu tergantung seberapa cepat gue bisa menyelesaikan pekerjaan di sana, gue usahakan supaya bisa balik ke Indo lebih cepat. Tapi Yan, gue nggak pernah ikut kajian. Kenapa malah gue yang merasa jadi non muslim, ya? Saking jarang datang ke masjid buat menghadiri majelis ilmu."

"Ya elah, santai aja kali. Mereka yang datang ke kajian juga nggak akan nanyain kapan terakhir kali lo ngaji. Lagian ya, dimana-mana orang yang dateng ke majelis ilmu itu karena mereka pengen belajar tentang apa yang mereka belum tahu. Bukan karena mereka pinter. Dan lo nggak usah maksain juga kalau nggak bisa datang." Gue mengangguk-angguk paham. Iya juga ya, kalau hanya orang yang sudah sempurna imannya yang boleh datang. Maka majelis ilmu hanya pantas dihadiri malaikat. Abyan berbicara lagi. Hal yang sepertinya perlu gue sesali karena memutuskan datang ke tepat ini.

"Sebenarnya minggu depan, gue harus menghadiri dua acara yang  sama-sama penting. Bang Afif minta gue untuk menemaninya juga datang ke rumah Shafira, karena dia bilang dia cuma bisa bawa ibunya sebagai pihak keluarga. Katanya Ayahnya lagi ada kerjaan di luar negeri juga, tapi gue rasa menemani Vian lebih prioritas karena dia sendirian."

"Rafif mau ke rumah Shafira? Bukannya Rafif udah tunangan minggu lalu sama Shafira," tanya gue datar sambil menghela nafas dan mulai membuka buku menu.

"Nggak tahu juga sih, Bang Afif cuma ngajak gue doang, tanpa ngasih tahu acaranya apa. Mungkin mereka mau membicarakan seputar persiapan pernikahan, atau mungkin minggu lalu baru pertemuan dua kelaurga dan minggu ini khitbahnya. Bentar, tapi lo tahu dari mana kalau mereka udah tunangan minggu lalu?"

"Tadi pagi gue abis meeting sama salah satu klien seumuran bokap gue dan mereka kayak biasa membicarakan seputar pernikahan anak-anaknya. Bokapnya Rafif itu adalah orang yang pernah gue kenal dulu banget. Namanya Pak Erwin dan menurut klien gue, anaknya Pak Erwin udah tunangan minggu lalu dan itu pasti Rafif kan. Kalau nggak salah lo pernah bilang dia anak tunggal." Kini giliran gue mendengar Abyan menghela nafas.

"Kayaknya hidup alurnya memang harus rumit kayak gini. Gue suka sama Kinan, Kinan malah suka sama Bang Afif, dan Bang Afif malah suka sama Shafira. Seenggaknya gue cukup senang karena mereka cocok dan semoga saja hubungannya langgeng sampai jannah." Gue mengharapkan hal yang sama, meski jauh dalam pikiran gue ada segelintir harapan bahwa semoga saja mereka tidak bersama.

Kita sebagai manusia sering sekali mencintai kemustahilan. Udah tahu nggak akan sejalan, udah tahu nggak akan bisa, masih aja mau nyoba dan agak maksa.

Ternyata pembicaraan-pembicaraan dengan Abyan itu masih mengisi pikiran gue hingga keesokan harinya. Saat harus masuk kantor, gue masih bisa bersikap seolah gue nggak tahu apa-apa soal pertunangan Shafira dengan Rafif dan berpura-pura seolah tidak terusik dengan hal tersebut. Yang masih mengganggu pikiran gue adalah sampai pagi ini pun, gue belum melihat Shafira mengenakan cincin di jari manapun. Ingin menanyakan secara langsung namun menurut gue pertanyaan itu terlalu jauh untuk ditanyakan.

Shafira langsung membahas soal pekerjaan ke Osaka pagi itu, saat dia menjelaskan schedule gue hari ini. "Kemarin Pak Jo menanyakan perihal jadwal Anda untuk Sabtu depan. Katanya beliau meminta Anda untuk menggantikan pekerjaan ke Osaka. Tadinya saya mau langsung mengabari Anda kemarin, tapi Pak Jo bilang dia sendiri yang akan menanyakan perihal tersebut kepada Anda. Apa Pak Jo sudah bilang?"

"Ah ya, dia sudah menghubungi saya saat saya sedang meeting dengan Pak abinya kemarin."

"Anda akan menggantikan pekerjaannya?" Gue sengaja menatapnya saat dia menanyakan itu mencoba mencari perubahan mimik untuk lagi-lagi menduga apa yang sedang dia rasakan saat ini. Namun seperti biasa Shafira kembali memalingkan pandangannya dan menatap ke arah lain.

"Ya, akan saya ambil. Kebetulan Sabtu depan saya lagi nggak mau ada di Indonesia."

___________

To be continued.

Make The Qur'an as the main reading.

Make The Qur'an as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang