MASING-MASING dari kita memiliki referensi yang berbeda dalam menilai sesuatu, seperti penilaian gue terhadap Shanna. Profesinya yang seorang model, influencer sosial media dengan followers mencapai ratusan ribu, sama sekali nggak menjadi value lebih di mata gue. Gue bahkan nggak tahu siapa dia sebelumnya. Yang berhasil menarik perhatian gue cuma satu, yaitu namanya yang mirip dengan nama adik perempuan gue, Sheina.
Tapi, beberapa menit yang lalu. Ponsel gue hampir nggak pernah berhenti muncul notif. Gue kira ada kerjaan yang ASAP yang perlu gue kerjain, karena sampai hari ini segala hal masih gue yang manage, Shafira belum menyesuaikan sepenuhnya. Ternyata notif itu dari instagram, Shanna memposting foto kami tadi sebelum menonton dan me-mention gue dipostingan tersebut.
Shanna cantik dan mandiri, tapi entah kenapa gue nggak tertarik sama sekali. Padahal tipe perempuan yang menduduki list pertama dalam kriteria gue adaalah cantik dan mandiri. Tunangan gue aja dulu gue pacarin karena dia cantik dan mandiri, saking mandirinya dia sedang S2 sendirian di US sampai saat ini tanpa pernah menghubungi gue. Namanya sering muncul, melihat story gue yang mungkin membuatnya jengkel. Tapi dia tak pernah berkomentar lebih.
Lama-lama gue sadar. Poin paling pentingnya dari segala kriteria yang gue mau cuma satu, nyambung. Mau secantik dan semandiri apapun perempuan yang gue temui. Kalau obrolannya nggak nyambung ya percuma. Itu yang terjadi dengan gue dan Shanna.
Obrolan kita kadang nggak nyambung karena sektor pekerjaan kita yang jauh berbeda. Intinya gue sering denger dari teman-teman gue, kalo model tuh besar kemungkinan terjangkit asmara dengan fotografernya. Mungkin hal tersebut yang bikin gue rada males dan sangat hati-hati, termasuk saat ini. Saat kita berbincang habis film bioskop yang kita tonton selesai. Gue udah mau cabut, tapi masih bingung cara cabut yang 'rapi'.
Gue chat teman-teman gue, minta telepon ke gue dalam lima menit ke depan. Nggak ada yang respon cepet. Akhir-akhir ini, kontak yang paling sering gue hubungi cuma Shafira, tapi gue nggak yakin dia paham dengan maksud gue. Akhirnya gue mengirim pesan dengan template yang sama ke Shafira, dan sesuai dugaan, meski dia cuma read pesan gue, lima menit kemudian namanya muncul di layar bertepatan dengan Shana yang sempat melirik layar handphone gue.
"Halo, Assalamu'alaikum. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Suaranya terdengar tenang, meski mungkin weekend-nya terganggu gara-gara pesan singkat gue menjelang malam.
"Ya, selamat malam. Gimana?" tanya gue sambil meminta izin untuk menjauh dan menjawab panggilan tersebut pada Shana.
"Gimana? Maaf?"
"Oh, don't beat around the bush, please. Langsung ke intinya aja ada apa?" tanya gue makin ngelantur.
"Saya lagi nggak bertele-tele. Anda yang minta saya menghubungi dalam lima menit lewat pesan tadi. Saya sama sekali nggak paham, apa yang lagi Anda bicarakan sekarang." Gue juga nggak paham apa yang gue omongin. Ini biar kelihatan ada urusan yang mesti di urus cepet aja.
"Iya-iya, laporannya masih ada di laptop saya. Belum sempat saya arsipkan. Saya kirim secepatnya. Thank you, Shafira..." Gue memutus panggilan itu sepihak, sebelum Shafira mengira gue gila.
"Ada kerjaan, ya?" tanya Shana waktu gue menghampirinya lagi.
"Sorry, once in the blue moon. Gue harus balik ke apartemen cepet nih."
"Oh, nggak apa-apa. Gue bisa nemenin lo ke apartemen dulu kok, habis itu bisa lanjut hangout."
"Hah?" Gue tertegun mendengar itu. Ayolah, gue bukan anak kemarin sore yang nggak paham ajakan-ajakan semacam ini. Bersamaan dengan itu, ada panggilan masuk lagi ke handphone gue. Gue kira itu Shafira, tapi dia bukan tipe orang yang mau memperpanjang urusan gila macam tadi dengan menghubungi gue lagi.
Vian yang menelepon, tapi kalimat pembukanya cukup membuat gue bingung. "Who's Shafira? Lo pagi-pagi begini udah salah kirim aja, Tha."
Gue baru inget kalo Vian lagi di US, perbedaan waktu dua belas jam dengan Indonesia membuatnya menyebutkan kata 'pagi-pagi' padahal langit Jakarta sudah sepenuhnya gelap di sini. Namun, gue heran kenapa ini anak satu menyebutkan nama Shafira. Gue meminta waktu lagi pada Shana untuk menjawab panggilan tersebut. Bodo amat, biar dia jengkel aja sekalian karena gue kebanyakan angkat telepon.
"Kenapa lo tahu nama Shafira?" tanya gue.
"Coba deh cek lagi.Tadi lo kirim chat ke gue minta di telepon lima menit lagi, tapi nama yang disebut nama Shafira. Siapa lagi nih, Shafira? Sopan bener chat-nya, udah kayak mau chat pimpinan aja." Gue mengecek pesan yang dimaksud Vian, dan benar saja. Gue mengirimkan pesan yang gue kirim ke Shafira sama percis , gue kirimkan juga ke Vian.
"Kayaknya jempol gue kegedean sampe ke kirim juga ke lo. Sorry." Gue hendak mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kondisinya di US, tapi Vian bukan orang yang gampang lupa dengan hal-hal random yang gue lakukan. Dia terus menanyakan siapa itu Shafira.
"Gue penasaran aja, kayaknya yang kali ini beda. Distory lagi dating sama Shana, tapi chat-nya sama Shafira, what is the collection that you want, Tha?"
"Shafira itu sekretaris gue, gue mau ngomongin soal kerjaan sama dia di telepon. Cuma pesannya ke kirim juga ke lo."
"Oh, your new secretary?" tanyanya terdengar mengejek dan agak nggak percaya dengan yang gue ucapkan.
"Yakin?" tanyanya lagi.
"Kalau salah satu dari koleksi, nggak mungkin gue chat sesopan itu, kan?" Gue sengaja memperpanjang obrolan biar Shana menunggu agak lama.
"Okay, than... em, kerjaan apa yang perlu dibicarakan di malam minggu begini?" Pertanyaan-pertanyaanya membuat gue merasa sedang di introgasi.
"Ya... banyak, perlu banget gue jelasin?"
"Alah, cop-out terus. Nggak seru, ya udah gue tutup." Setelah pembicaraan nggak jelas dengan Vian itu selesai, gue mendapati Shana yang udah terlihat malas karena gue acuhkan. Kayaknya kali ini bakalan berhasil.
"Sorry, nunggu. Yuk..." Ajak gue.
"Kayaknya, gue nggak bisa lanjut hangout deh. Teman-teman gue ngajakin ketemuan. Lagian lo lagi banyak kerjaan juga. Tadi telepon dari Vian ya? Vian Nawasena Abimanyu?" Gue mengangguk kaku, cukup syok waktu dia menyebutkan nama lengkap Vian. Pantas saja Vian juga tak terdengar penasaran soal Shana di telepon tadi. Lain ketika gue salah kirim dan menyebutkan nama Shafira. Mungkin mereka sudah mengenal satu sama lain.
"Kenal Vian juga? Ketemuan sama teman-temannya di mana? Biar gue antar dulu."
"Kenal, mantan gue jaman SMA."
Gue tersedak.
__________
To be continued.
Bagian ini mungkin pendek dan banyak typo, dikarenakan diketik dalam kondisi mata yang sudah lima watt menjelang padam. Jadi, harap dimaklumi.
Terima kasih sudah membaca, jazakumullah khairan.
Make The Qur'an as The Main Reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...