Bagian 37

12.5K 2.5K 482
                                    

BEBERAPA kali gue pernah mengetahui tentang kakaknya Shafira secara nggak langsung. Mulai dari kartu keluarga yang pernah gue lihat, laki-laki yang menjemput Shafira setelah event di Jungleland itu selesai, dan juga lelaki yang nggak sengaja gue temui pagi ini. Awalnya gue udah negatif thinking berpikiran bahwa Shafira mungkin diantar oleh Afif. Namun gue cukup yakin kalau orang Astra Land Indonesia itu nggak mungkin mengantar Safira menggunakan motor. Mana proyek yang akan gue garap selanjutnya berhubungan dengan perusahaan satu itu.

Pagi itu gue lihat Shafira turun dari motor, kebetulan mobil gue memang terparkir nggak jauh dari pintu masuk karena gue minta Pak Iman buat beli nasi uduk dulu di depan buat sarapan. Awalnya orang yang bonceng Safira itu memang pakai helm, setelah Shafira masuk gue sempat melihat orang itu lepas helm sebentar entah buat ngebenerin rambutnya atau mungkin maskernya.

The genes, its all in the genes, DNA never lies ya. Abangnya Shafira kok kelihatan charming banget di mata gue. kayaknya kalau sesama perempuan saling memuji itu bukan hal yang dianggap aneh, tapi kalau laki-laki yang saling memuji justru bakalan ada isu-isu aneh, tapi bener deh gue sebagai cowok aja ngerasa kalau kakaknya shafira itu have a good look. Wajar sih, penampilan adiknya aja bisa secantik itu, apalagi abangnya sebagai generasi pertama.

Kegiatan mengamati itu ternyata disadari oleh Pak Iman waktu dia udah masuk lagi mobil, dia mengikuti arah pandang gue dan menemukan subjek yang lagi gue amati. Mungkin Pak Iman sering banget nongkrong di tempat security sampai hafal banget siapa aja orang-orang yang sering mengantarkan atau menjemput karyawan Nata Adyatama. Kontan dia mengatakan "Oh, Mbak Safira hari ini dianterin kakaknya lagi."

Gue berdehem, dan mengalihkan pandangan ke arah lain secara perlahan. "Emang biasanya dianterin siapa, Pak? Bapak kenal sama orang itu?"

"Kadang dianterin Papanya, kadang dianterin abangnya, kadang juga Mbak Safira berangkat sendiri. Cuma pernah ngobrol aja beberapa kali. Namanya Hazm, abangnya Mbak Shafira." Ketika Pak Iman menyebutkan nama itu seperti menarik kembali ingatan gue tentang nama-nama yang ada di kartu keluarganya, gue inget banget satu nama yang ada di urutan kedua, Hazm Zulmi Arrafi. Ternyata dia orangnya.

Gue minta diturunkan di lobi depan sebelum Pak Iman memarkirkan mobil ke basement, "Mas, ini nasi uduknya mau dibawa langsung atau menyusul saya antarkan ke atas?."

"Oh iya, saya ambil langsung aja, Pak. Udah laper banget nih. Satu lagi buat Bapak sarapan. Makasih ya pak, siang nanti saya bakalan ada meeting keluar jadi kalau bisa Bapak stand by aja di kantor."

"Siap, Mas," setelah mendapat jawaban dari Pak Iman gue mempercepat langkah untuk masuk ke lobi dengan harapan Shafira belum naik ke atas. Benar saja sosoknya masih berdiri di depan lift menunggu benda itu bergerak turun.

Gue berdiri di sampingnya, membuatnya menoleh sebentar dan menyadari kehadiran gue. Saat itu gue berharap bahwa lift yang turun sudah ada orang di dalamnya karena kalau kosong, gue yakin Shafira nggak akan mau naik ke atas bareng gue. Shafira adalah orang yang paling minim ekspresi yang pernah gue kenal, meskipun dia bekerja sebagai sekretaris gue tapi dia bisa bertingkah kayak nggak kenal gue. Jangan berharap ada sapaan penuh senyum pagi-pagi begini.

"Kayaknya akhir-akhir ini, saya sering berangkat kesiangan," katanya karena angka di lift masih menunjukkan belasan. Mungkin dia mengatakan itu karena beberapa hari ini gue selalu datang lebih awal atau bersamaan dengan Shafira.

"Kayaknya bukan kamu yang kesiangan tapi saya yang kepagian. Kemarin saya datang pagi karena saya nggak pulang ke apartemen, tapi saya nginep di hotel makanya jaraknya dekat. Hari ini saya datang pagi bukan karena saya mau kerja lebih awal, tapi karena saya mau sarapan dulu," ucap gue sambil menunjukkan nasi uduk yang lagi gue bawa.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang