SELAIN momen tersebut dimanfaatkan Sheina untuk bertanya, pertemuan dengan Shafira kerap kali dimanfaatkan Sheina untuk membongkar semua aib gue. Dia menceritakan dari awal bagaimana gue bisa bertunangan dengan Nalea, hingga pada akhirnya hubungan kami kandas di tengah jalan. Nggak lupa dia juga menceritakan bagaimana Daffin memiliki andil di dalamnya.
"Katanya sih kemarin Kak Nalea sama Kak Atha putus waktu liburan di Bali. Terus nggak lama, Kak Nalea dilamar Bang Daffin. Aku baca berita dari link yang dikirim Papa. Ya gitu deh, Kak. Kak Athaya nggak ada harapan..." Sheina mengakhiri ceritanya. Makin nggak ada harga dirinya gue di mata Shafira.
"Nggak boleh tahu ghibah tuh! Sama kayak memakan bangkai saudara," komentar gue.
"Aku nggak ghibah lah, orang aku nggak ngomong keburukan Kak Atha di belakang. Aku ngomong fakta, di depan orangnya langsung." Ya Rabb, ingin sekali gue tarik anak ini untuk langsung pulang saat itu juga.
Shafira hanya menanggapinya dengan tawa kecil. Entah apa isi pikirannya, mungkin dia menganggap pertengkaran antara gue dan Sheina terlihat lucu. Karena Sheina tiba-tiba menceritakan tentang Nalea. Shafira seperti teringat sesuatu, dia langsung menggeledah tas yang dibawanya.
"Tadi Bu Nalea sempat ke kantor dan menitipkan ini." Dia menyerahkan sebuah kotak yang isinya bisa langsung gue tebak.Cincin pertunangan gue dengan Nalea. Padahal kalau nggak dikembalikan pun, nggak apa-apa sebenarnya.
Gue menerimanya, mengecek isinya sekilas, lalu menutupnya lagi.
"Is it haram to love someone before married?" tanya gue tiba-tiba, sambil memutar-mutar kotak cincin itu. Pertanyaan tersebut terlintas di benak gue begitu saja.
"No, it's not haram, but it's what you do with that love, that make it haram. Saya nggak tahu kenapa orang-orang bisa berpikiran jatuh cinta sebelum menikah itu haram."
"Bisa jelaskan lebih rinci maksudnya gimana?" tanya gue, karena gue nggak bisa secepat Sheina dalam mencerna pembahasan soal agama.
"Siapa manusia yang bisa mengontrol hatinya di dunia ini supaya nggak jatuh cinta sebelum menikah? Atau memilih untuk sukanya ke siapa dan mengatur waktunya kapan? Nggak akan ada. Kita nggak bisa memilih dan mengatur bagian itu. Soal hati kendalinya nggak sepenuhnya dikontrol sama otak, ada campur tangan Yang Maha Membolak-balikkan Hati di sana."
"Tapi memilih cara untuk menanggapi perasaan itu, kita masih punya kehendak. Apa yang kita lakukan untuk menanggapi perasaan tersebut, yang menentukan halal-haramnya. Mau memilih menanggapinya dengan cara yang haram, atau lebih memilih menahannya dan merealisasikannya dengan cara yang halal."
Ubin majid kalah adem sama penjelasan Shafira, gue makin dibuat kagum aja udah. Meski sekarang gue harus lebih berusaha menahan gejolak perasaan yang lagi gue rasakan. Sayangnya pembicaraan itu nggak berlangsung lama.
Setelah acara makan itu selesai, Hazm nggak kunjung datang dan masih nggak bisa dihubungi. Dia bener-bener nggak ada kabar. Sheina mengajak Shafira untuk melihat-lihat toko aksesoris dan beberapa toko pakaian dulu, tapi Shafira menolaknya dengan lembut, karena sepertinya dia juga masih khawatir dengan Hazm.
"Yah... beneran gak bisa banget, Kak? Ini baru jam 05.30 loh. Magrib di sini aja. Nanti kalau kemalaman pulangnya, ikut bareng kita. Kak Atha pasti mau nganter kok," bujuknya, tanpa meminta persetujuan gue lebih dulu. Dia nggak tahu, Pak Iman sudah hampir menyerah menjadi sopirnya seharian ini.
"Kakak nggak mau merepotkan, arah jalan pulangnya juga beda. Lagian-" Beberapa shopping bag berjatuhan.
Perkataan Shafira terjeda karena dia nggak sengaja menabrak orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Saat itu mungkin dia nggak melihat jalan karena terlalu asik mengobrol dengan Sheina.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...