Bagian 112

11.1K 2.5K 2.2K
                                    

KEMARIN-KEMARIN Abyan yang mendatangi gue ke Jakarta, dia memang udah nggak kerja di kawasan Jaksel lagi, dia memutuskan resign semenjak banyak hal yang perlu di urus perihal proyek Firdaus Asri ini. Karena tidak enak membuatnya harus bolak-balik Jakarta-Yogya terlalu sering, maka kali ini gue yang memutuskan mendatanginya. Apalagi setelah tahu dia akan menikah akhir minggu ini. Biar gue sekalian aja menghadiri acara pernikahannya.

Hal yang gue sebut sebagai 'lucky in romance' itu, karena Abyan pada akhirnya menikah dengan perempuan yang pernah menolak lamarannya dulu. Perempuan bernama Kinan yang kayaknya cuma pernah dua kali gue temui. Pertama, di event komunitas FOKUS dan kedua, di kantor Nata Adyatama saat dia memiliki konflik dengan Shafira.

"Jadi Pak Andre di Bandung sekarang?" tanya Abyan. Dia datang bersama Vian menemui gue di resto hotel tempat gue menginap selama di Yogya. Abyan membahas Papa karena gue menyampaikan salam yang dititipkan Papa padanya.

"Iya, sepupu gue mau menggelar pernikahan tiga bulan lagi. Jadi semua keluarga sering ngumpul di sana buat diskusi. Lo tahu sendiri keluarga besar gue itu, kalau gelar pesta suka nggak kira-kira, bisa tujuh hari tujuh malam."

"Sepupu lo mau nikah? Jangan bilang sepupu lo yang jadi sama Nalea?" tanyanya tertawa agak mengejek. Gue mengangguk mengiyakan. Memang Daffin dan Nalea yang akan menikah. Beberapa waktu lalu gue mendapat kabar studinya Nalea sudah selesai dan dia sudah kembali ke Indonesia. Gue malah ikut senang dengan berita pernikahan mereka, mengingat niat baik nggak boleh ditunda-tunda.

"Lo nggak kabur ke Yogya buat menghindari topik pembicaraan keluarga besar, kan?" Vian yang bersuara. Gue menggeleng menolak opininya. Gue udah nggak ada rasa apapun terhadap Nalea. Mungkin kalau menghindari pertanyaan kapan nikah, dari keluarga besar, jawabannya iya.

"Lo stay di Yogya sampai hari H gue menikah, kan, Tha? Kalau gitu sekalian aja jadi groomsmen gue."

"Nggak bisa... paginya gue masih ada kerjaan. Kemungkinan datang ke acara pernikahan lo insyaallah agak siang."

Gue ada meeting pagi-pagi, padahal weekend. Begitulah resiko kerja remote, kadang liburnya nggak tentu dan nggak kenal waktu. Namun tentu gue mensyukurinya, sebab pekerjaan seperti ini yang diinginkan orang-orang. Pekerjaan yang bisa dibawa kemana pun dan dikerjakan kapan pun.

"Yah, sayang banget. Padahal Kinan mengundang Shafira juga sebagai tamu," katanya mulai memancing.

Nggak Sheina, nggak Abyan, selalu saja pembicaraannya ke arah sana. Mereka menjodoh-jodohkan gue tanpa memberi informasi tentang status Shafira saat ini.

"Apa hubungannya kalau Kinan undang Shafira, dengan gue jadi groomsmen lo?"

"Kalau lo jadi groomsmen, lo bisa stand by dari pagi, dari pas sebelum akad. Kita kan nggak tahu Shafira datangnya jam berapa dan apakah lo bisa ketemu lagi sama dia atau enggak. Udah lama kalian nggak ketemu, kan?"

"Modus itu namanya, nggak baik..." tolak gue. 

"Dia udah lulus kuliah loh, Tha, tahun ini. Udah rintis usaha fashion muslim dari lama. Lo baru tahu kan soal itu?" Gue agak kaget karena Vian yang mengatakannya. Dia orang yang nggak terlalu tahu soal Shafira, bahkan mungkin nggak pernah ketemu sama sekali.

"Tahu dari mana lo?" Dia tersenyum usil saat melihat rasa penasaran gue yang mulai terpancing.

"Istri koko gue, dia punya perusahaan tekstil di Bandung. Customer utamanya Shaf Labels, punya Shafira. Dia butuh suplayer kain untuk bisnisnya. Istri koko gue sering banget membicarakan tentang Shafira. Tentang bagaimana dia begitu amanah soal transaksi. Awalnya dia kan anti banget punya partner bisnis orang Islam. Banyak nggak jujurnya, tapi Shafira beda."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang