Bagian 19

14.8K 2.8K 452
                                    

Bismillah, Assalamu'alaikum Kindreaders.

Jangan lupa tinggalkan presensi sebagai bukti kehadiran meeting di tiap paragraf, ya. Siapa tahu Athaya mau ngasih konsumsi wkwk...

Happy reading, dear.

────୨ৎ────

KADANG gue takjub dengan kemampuan mengingat gue. Memang, salat gue masih pas nunggu mood doang. Itu pun kalau gue lagi nggak sibuk. Namun, sampai saat ini gue masih ingat bacaan salat dari awal takbir sampai salam beserta terjemahannya yang kadang kebanyakan orang masih nggak tahu. Nyokap gue dulu pernah bilang: salat adalah doa, masa iya kita berdoa tapi nggak tahu doa apa yang diucapkan.

Kalau mood gue lagi bagus, bangun jam sebelas siang pun gue tetap salat Subuh. Ya, gue tahu itu boleh dilakukan kalau kasusnya ketiduran, bukan disengaja. Memang gue biasanya bangun siang karena dua hal: habis ke klub subuh-subuh, atau habis lembur yang cuma sempat tidur sejam-dua jam doang. Di kasus kedua itu gue sering nyempetin salat Subuh walau kesiangan.

Tepat gue selesai salat Isya, Shafira ternyata udah bangun. Gue sempat dengar kayak ada benda yang jatuh pas salat tadi. Mungkin dia kebangun gara-gara itu.

"Ma-maaf, saya ketiduran," katanya terdengar agak gugup. Mungkin dia kira gue bakalan marah gara-gara dia ketiduran.
"Tadi saya terlalu ngantuk. Maaf, saya malah ketiduran pas meeting. Saya janji ini nggak akan terulang lagi," sambungnya. Gue mengambil sesuatu dari meja yang gue pesan bersamaan dengan makanan yang Ilyana pesan tadi.

"Permintaan maaf saya," gue mengatakan itu sembari memberikannya. Bukannya menerima, Shafira malah terlihat bingung. Mungkin dia tidak mengira kalau gue mengingat semuanya.
"Soal perkataan saya di telepon kemarin malam, saya minta maaf," sambung gue.

Hening menghantui kami beberapa detik. Shafira yang tidak merespons membuat gue salah tingkah memikirkan kalimat apa yang mesti gue ucapkan selanjutnya. "I know that introduced you to Dipta isn't good. I'm really sorry about that, and... tolong sampaikan juga permintaan maaf saya pada Ayah kamu."

Dia masih diam, bikin gue makin nggak karuan. Seenggaknya dia merespons permintaan maaf gue, entah itu dengan marah atau membentak gue sekalipun. Karena dia nggak kunjung bilang apa pun, rasanya gue ingin segera mengakhiri suasana canggung ini.

"Kamu belum makan lagi dari siang, kan? Bawa ini dan kamu boleh pulang."

"Permintaan maafnya diterima, tapi untuk ini... saya nggak bisa menerimanya," jawabnya. Gue ingin dia marah ke gue, tapi dia nolak makanan dari gue aja rasanya udah nggak enak banget ternyata.

"Kamu bisa berikan ke orang lain, atau buang aja ke tempat sampah."

"Te-terima kasih. Kalau begitu, saya pamit sekarang. Sekali lagi saya minta maaf soal ketiduran tadi. MOM-nya akan segera saya buat." Shafira mengatakan itu dengan kecepatan cahaya dan terburu-buru meninggalkan ruangan. Apa gue terlalu memaksanya untuk membawa makanan itu, ya?

Ah, terserah lah. Yang penting gue udah menyampaikan permintaan maaf gue dan gue bisa merasa sedikit lega sekarang.

────୨ৎ────

Gue memajukan jadwal rapat dengan Ilyana kemarin dengan alasan hari ini gue akan mengambil cuti setengah hari lagi, biar genap saja. Kemarin setengah hari, ditambah hari ini setengah hari, jadi dihitung cuti sehari. Biar orang HRD tidak bingung menghitung jatah cuti tahunan gue.

Padahal kalau dipikir, ngapain juga gue ngambil cuti, toh di apartemen gue berakhir gabut juga. Karena lama tidak olahraga dan kondisi badan yang rada pegal habis minum kemarin, gue memutuskan untuk pergi gym sekitar jam delapan. Habis gym, gue mau cari sarapan, dan datang ke kantor sekitar jam sepuluhan.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang