Bagian 75

11.8K 2.7K 2.2K
                                    

SEPERTINYA gue perlu berterima kasih pada Pak Iman sebanyak-banyak sebab kaca depan mobil gue hari itu lebih condong ke arahnya. Shafira duduk di kursi belakang sendirian, sementara gue seperti biasa duduk di samping kursi supir. Selain karena gue lebih terbiasa duduk di depan, gue menyadari betapa minimnya iman gue saat itu. Mata ini akan berulang kali mencari celah untuk melirik ke arah Shafira selama perjalanan menuju hotel yang menjadi tempat resepsi anaknya Pak Jo, kalau gue juga bisa melihat dari kaca depan.

Perempuan sejatinya memang diciptakan indah, dan mata lelaki diciptakan untuk selalu tertarik dengan keindahan itu. Maka begitu adilnya Allah menurunkan aturan untuk perempuan menutup aurat dan lelaki menjaga pandangan. Sehari saja mereka tahu bagaimana mata lelaki bekerja, semakin akan tertutup mereka sebab tahu makna indah yang melekat dalam diri mereka.

Nggak banyak percakapan yang terjadi selama perjalanan. Sampai di ballroom hotel pun kami langsung berpisah sebab Shafira memilih menemui rekan kerja satu divisinya dulu, dan gue menemukan gerombolan orang-orang yang gue kenal. Sebagian besar dari mereka gue kenal karena pekerjaan, orang-orang seusia gue dari beberapa perusahaan lain. Namun ada Vian di antara kerumunan itu. Entah bagaimana dia bisa menghadiri undangan Pak Jo juga.

"Giliran yang bening-bening aja, skip dikenalin ke kita-kita," komentar salah satu dari mereka.

"This is the first time, Athaya has invited her partner to a wedding. Walau nggak dikenalin ke kita-kita, tetap aja ini hari bersejarah karena akhirnya Athaya bawa gandengan," ledek yang lain. Meskipun kenalan gue banyak, dari dulu gue nggak pernah mengajak perempuan untuk menghadiri undangan. Gue lebih sering memilih datang sendiri, sebab tahu makna mengajak seseorang ke undangan itu, secara nggak langsung menandakan bahwa gue punya hubungan lebih dengan orang yang gue ajak.

"Partner-partner... partner kerja sih iya. Dia sekretaris gue, Pak Jo ngasih undangan buat satu berdua."

"Shafira?" Vian bahkan masih mengingat nama itu. Gue mengangguk mengiayakan.

"Lo ngapain datang ke sini, Ian?" Gue mencoba mengalihkan pembicaraan dari topik tentang Shafira.

"Gue kenal sama mempelai laki-lakinya, temen sekolah." Kalau diingat-ingat, Vian memang satu spesies dengan Pak Jonathan. Sama-sama konglomerat berdarah Cina-Surabaya.

"Kayaknya Nata Adyatama bakalan rame ya, kalau Athaya dateng sama sekretarisnya, Daffin datang sama tunangannya Athaya." Salah satu dari mereka malah membahas soal Nalea. Gue sama sekali nggak pernah kepikiran itu, tapi gue cukup yakin Nalea bisa berpikir lebih jernih untuk nggak melakukannya. Orang-orang di tempat itu mendadak hening, menunggu respon gue terhadap apa yang baru saja dikatakan.

"Gue lihat Nalea jalan sama Daffin beberapa hari lalu, berdua..." Gue nggak pernah mencari tahu tentang Daffin dan Nalea, tapi sering kali orang-orang yang gue kenal yang menceritakan tentang mereka tanpa gue minta. Mereka paling sekadar makan siang bareng, atau jogging bareng. Hal tersebut nggak membuat gue terusik sama sekali.

"Nggak masalah sih, Daffin sama tunangan gue udah temenan dari jaman SMA."

"Tapi mereka mantan."

"Ya, emang mantan nggak boleh temenan?" tanya gue. Mereka malah menatap gue dengan heran.

"Lo nggak ada cemburu-cemburunya, Tha. Hambar banget tuh hubungan," komentar Vian.

"Terserah lah, gue mau stor muka dulu sama Pak Jo." Gue berpamitan meninggalkan kerumunan itu untuk menyalami Pak Jo lebih dulu, mengucapkan selamat untuk mempelai pengantin yang berbahagia hari ini meski gue nggak kenal mereka sama sekali.

Kayaknya gue udah pernah menceritakan berkali-kali, kalau liburnya Pak Jo itu malapetaka bagi gue. Meski gue sekarang nggak workholism kayak dulu, tetap aja pekerjaan Pak Jo yang penting banget dan nggak bisa di reschedule masih harus gue yang handle.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang