Bagian 78

11.2K 2.7K 1.1K
                                    

SEBISA mungkin gue mencoba untuk menjernihkan pikiran terlebih dahulu sebelum terbawa suasana dan mengambil keputusan secara impulsif. Gue memang membereskan barang-barang gue dan check out dari hotel St. Regis Bali, tapi gue nggak kepikiran untuk langsung memesan tiket untuk kembali ke Jakarta. Walau bagaimanapun, sebelum berangkat ke Bali gue sudah meminta izin pada ibunya Nalea untuk membawanya liburan selama enam hari, artinya mau kita lagi marahan atau enggak, selama empat hari ke depan Nalea masih menjadi tanggung jawab gue.

Nggak mungkin tiba-tiba gue balik ke Jakarta dan meninggalkannya sendirian di sini. Gue khawatir dia melakukan hal konyol karena masalah ini, atau bisa saja tiba-tiba dia pergi ke bar atau club sendirian dan berakhir dibungkus orang. Jadi gue memutuskan untuk mencari hotel lain yang nggak jauh dari tempat Nalea menginap.

Dia butuh waktu sendirian dan dia butuh memikirkan keputusan yang baru saja diambilnya. Mungkin jika amarahnya sudah mereda dan kami bisa bicara baik-baik,  Nalea akan berubah pikiran.

Seharian itu gue cuma menghabiskan waktu di hotel yang baru dengan perasaan dan pikiran yang benar-benar nggak nyaman. Gue masih berharap hubungan ini bisa diperbaiki, atau kalau pun pada akhirnya perpisahan menjadi pilihan terbaik buat gue dan Nalea, gue ingin kami berpisah dengan cara baik-baik. Bukan dengan bertengkar seperti ini.

Menjelang jam makan siang, beberapa pesan sudah gue kirim, tapi pesan itu nggak dibalas sama sekali. Gue juga mencoba meneleponnya namun panggilannya juga nggak diangkat.

Gue menunggu Nalea merespon hingga nggak terasa waktu sudah memasuki malam. Setelah isya gue mencoba menghubunginya lagi dan ponselnya malah nggak aktif. Karena khawatir terjadi sesuatu pada Nalea, akhirnya gue memutuskan untuk menemuinya lagi.

Orang hotel bilang, Nalea belum check out, tapi sepertinya dia nggak ada di kamar sejak pagi. Sebenarnya dia sudah cukup dewasa untuk nggak perlu lagi gue khawatirkan. Di Cambridge aja dia tinggal sendiri, tapi gue khawatir karena kita berdua lagi ada masalah. Gue takut Nalea melampiaskan rasa sedihnya ke hal-hal yang negatif. Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Nalea, gue yang akan paling merasa bersalah.

Gue teringat kemarin Nalea mengatakan dia ingin melihat sunset dari di pinggir pantai dan mungkin sampai saat ini Nalea masih berada di pantai. Akhirnya gue mencari di internet tentang beberapa tempat semacam kafe atau restoran di pantai Geger Nusa Indah dua yang biasanya dikunjungi wisatawan untuk melihat sunset.

Dua tempat pertama yang gue kunjungi, Nalea masih nggak ada di sana. Handphonenya juga masih mati. Gue hampir frustasi mencari Nalea ke mana-mana. Harusnya gue nggak meninggalkannya sendirian tadi.

"Permisi, Bli. Saya mau tanya. Kira-kira tadi ada pelanggan yang ke sini nggak ya? Ini fotonya." Pria dengan udeng di kepalanya itu memperhatikan foto yang gue tunjukkan.

"Oh, ini tadi dia duduk di kursi pojok sana dari  sore. Sepertinya masih di sana..." Dia menunjuk arah tempat duduk yang benar-benar menghadap ke arah pantai. Gue mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menuju arah yang diintruksikan.

Gue bisa bernafas lega saat menemukan Nalea yang duduk termenung menatap pantai. Sebenarnya laut sudah sepenuhnya gelap, hanya deburan ombak yang masih bisa terdengar saat itu. Gue berjalan lemas menghampirinya dan duduk di sampingnya tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Saat Nalea menyadari kehadiran gue, dia terlihat agak kaget karena mungkin dia mengira gue sudah terbang ke Jakarta dari tadi pagi. Matanya masih terlihat sedikit sembab, tapi air matanya sudah sempurna mengering.

Setelah menyadari kehadiran gue, kami hanya sama-sama duduk diselimuti keheningan sambil menatap lurus ke depan. Kafe itu terletak di lantai dua, sementara di bagian bawah disediakan layanan untuk orang-orang yang ingin menikmati bagaimana nyalanya pantai saat malam hari ditemani dengan api unggun.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang