Bagian 108

10.4K 2.5K 1K
                                    

KESULITAN tidak pernah berjalan di belakang kemudahan, mereka berjalan beriringan bagai sepasang langkah kaki yang justru membuat hidup semakin ringan apabila kita berhasil memaknainya. Sesuai dengan janji Allah dalam salah satu ayatnya. Sayangnya, kita sering kali gagal memaknainya.

Hal-hal yang sulit bagi gue, mulai dari mendapatkan guru mengaji, menjalankan Islam secara kaffah, lalu Papa yang tiba-tiba sakit ditengah keinginan gue untuk mendapat guru ngaji, baru akan terlaksana. Di luar dari semua itu, sebenarnya masih banyak kemudahan yang terjadi secara bersamaan.

Gue yang mendapat akses kemudahan ilmu karena berhasil mengenal Ustaz Harits meski belum belajar secara tatap muka, Papa yang lebih cepat pulih dari kebanyakan orang-orang diusianya yang terkena stroke, Sheina yang dipermudah segala studinya. Semua itu terjadi ditengah-tengah kesulitan yang gue alami.

"Yakin nggak ada yang ketinggalan?" tanya gue ketika menurunkan koper Sheina saat kami sudah sampai di bandara Soeta. Tak lupa, gue juga menurunkan kursi roda untuk Papa, kemudian memindahkannya dari mobil. Sebab Papa bersikukuh ingin ikut mengantar Sheina ke bandara.

Bahkan sepertinya kalau Sheina tidak melarang. Papa akan mengambil penerbangan yang sama dan mengantar Sheina hingga ke tempat tujuannya. Tantenya, Tante Adiba—meski gue nggak pernah bertemu langsung—sudah meyakinkan gue berkali-kali kalau dia akan stand by saat Sheina mendarat di King Khalid International Airport nanti.

"Yakin kok, nggak ada yang ketinggalan."

"Masalahnya waktu kamu pindah dari Menteng ke Jaksel aja, kamu bawa dua koper. Masa sekarang ke Riyadh cuma bawa satu koper kecil begini." Dia hanya pernah tinggal dengan gue dan Papa, selain baju gue dan Papa nggak tahu harus packing apa aja untuk Sheina bawa ke sana.

"Kebutuhan lain nanti bisa langsung beli di sana, biar nggak berat. Nanti aku minta antar Tante Adiba," katanya. Sheina menarik kopernya sendiri, sementara gue mendorong kursi roda Papa menuju terminal keberangkatan pesawatnya Sheina.

Kami datang di waktu penerbangan yang terlalu dekat, sehingga Sheina harus langsung check in ketika sampai bandara. Dia memeluk Papa begitu erat sebelum pergi. "Hati-hati selama di sana ya, Sayang. Jaga diri, jaga salat..."

"Papa juga jaga kesehatan di sini, jangan bikin aku mendadak pulang dengan kabar yang nggak enak di dengar. Kasih kabar yang baik-baik aja selama aku di sana, kabar Kak Athaya nikah misalnya, aku pasti langsung pulang."

"Kenapa pengalihannya jadi ke Kakak sih..." komentar gue, membuat Papa dan Sheina tertawa dalam kesedihan. Sheina melonggarkan pelukannya dan kini menatap  ke arah gue. Sulit sekali menjaga pandangan dengannya, sebab gue terlalu menganggapnya sebagai seorang adik.

"No hugs?" tanyanya, padahal jelas jawabannya tidak.

"I can't, even if i want to...." Dia mengangguk, kecewa dengan keadaan.

Mungkin tidak dinasabkan pada ayah, tidak mendapatkan hak waris, nggak begitu berpengaruh ke gue. Laki-laki juga nggak perlu wali untuk menikah. Namun tidak dikenai hukum mahram pada adik perempuan yang jelas-jelas memiliki hubungan darah, agak berat bagi gue. 

Gue nggak bisa membayangkan kalau suatu saat Papa nggak ada, dan Sheina akan menikah, dia perlu mencari pamannya untuk menjadi wali, sebab gue nggak bisa melakukannya. Membayangkan hal tersebut membuat mata gue agak berair. Namun di sisi lain, gue masih bersyukur terlahir sebagai laki-laki. Posisinya akan lebih sulit kalau gue terlahir sebagai perempuan.

"Jangan nangis dong..." ejek Sheina, kontan membuat gue mengusap kedua mata seketika. Padahal bendungan itu belum pecah membasahi pipi.

"Kelilipan..." alibi gue.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang