PADA akhirnya gue baru landed di Soekarno-Hatta sekitar pukul empat subuh. Bayangkan, gue nunggu dari jam sebelas malam tanpa kejelasan. Bahkan gue berjamaah subuh di salah satu mushola yang ada di bandara. Pagi itu gue memutuskan pulang ke rumah yang di Menteng. Syukurlah Papa lagi nggak ada di Jakarta, jadi gue nggak mendapat pertanyaan kenapa gue pulang cepat, padahal harusnya masih tiga hari lagi di sana. Sheina nggak ambil pusing, dia nggak terlalu peduli hubungan gue dengan Nalea.
Pagi-paginya, gue langsung memutuskan untuk masuk kerja. Di rumah juga mau ngapain kalau nggak ada kegiatan. Gue sengaja berangkat lebih awal untuk nge-gym dulu di fasilitas kantor karena biasanya kalau nge-gym pagi tempatnya nggak sepenuh saat jam-jam pulang kerja. Gue membawa pakaian ganti untuk kemudian nanti gue pakai di kantor supaya nggak perlu bolak-balik ke Menteng.
Sekitar jam tujuh, selesai nge-gym gue turun ke bawah menuju ruang kerja gue. Dengan kondisi nafas yang masih terengah-engah karena kelelahan, gue dikagetkan dengan sosok yang sudah duduk di meja kerjanya pagi itu. Mana outfit-nya serba hitam hari ini.
"Astaghfirullah, Ra! Kamu bikin kaget orang aja..." Kejadian itulah membuat nafas gue makin bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Dia tak merespon apapun dan sama-sama terlihat kaget menyadari gue sudah ada di kantor padahal seharusnya gue nggak di sini.
"Jam berapa sekarang? Kamu kok datangnya pagi banget," tanya gue sambil berusaha menghirup oksigen lebih banyak. Saat itu gue nggak lagi pake jam tangan. Handphone gue juga nggak tahu di mana, kayaknya sih masih di tas gym.
Karena tenggorokan gue terasa kering dan kebetulan ada tumbler berisi air di hadapan Shafira, kontan gue duduk di depan mejanya, mengambilnya, lalu meminumnya. Itu satu-satunya solusi yang gue pikirkan paling cepat untuk membuat haus gue hilang, tanpa perlu berjalan ke pantri. Saking hausnya, gue baru minta izin setelah meminumnya.
"Minta, ya. Haus."
"Kenapa Anda tiba-tiba ada di sini? Bukannya Anda ngambil cuti selama satu minggu?" Gue sudah menebak dia akan menanyakan hal tersebut.
"Kamu belum jawab... Saya minta minum, boleh nggak?"
"Kalau pun saya larang, nggak mungkin kan airnya Anda muntahkan lagi?" Jawabnya tidak ramah, khas Shafira seperti biasa. Gue hanya mengucapkan terima kasih sambil tertawa kecil.
"Saya pengen aja pulang lebih cepat. Kenapa? Nggak boleh saya masuk kerja lebih cepet?"
"Enggak, bukannya gitu. Saya... Ah, sudahlah." Dia malas meneruskan ucapannya. Lagipula Shafira nggak akan peduli dan penasaran kenapa gue pulang lebih awal, dari cuti yang sudah dijadwalkan.
Hari itu gue menjalani kehidupan seolah-olah nggak terjadi apa-apa sebelumnya. Gue mencoba untuk tidak terdistraksi dengan masalah kemarin. Gue pernah mendengar teori galau dari Gema. Dulu gue nggak mempercayai itu, karena gue nggak pernah mengalaminya, tapi lambat laun gue merasa sepertinya teorinya benar.
Gema bilang kalau fase galau laki-laki dan perempuan pasca putus itu sangat berbeda. Ketika putus, perempuan biasanya nangis-nangis dulu, sedih-sedih dulu, baru setelah itu merasa baikan dan happy-happy.
Laki-laki kebalikannya. Dia kalau habis putus kelihatan fine-fine aja, menjalani hari kayak biasanya, kelihatan seolah nggak terjadi apa-apa, tapi hari-hari berikutnya atau lama-lama mereka baru kepikiran dan merasa galau tentang apa yang baru mereka alami.
Hubungan gue dan Nalea yang berlangsung enam tahun nggak bisa dibilang singkat. Banyak momen-momen yang gue lalui bareng dia sebelum hubungan kami sehambar ini. Mana perpisahan ini terjadi saat gue sedang bertekad untuk serius. Gue nggak menyesali perpisahan kami. Seperti yang Nalea bilang, perpisahan ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...