SEPERTINYA Pak Adam belum mengajak anak gadisnya berdiskusi tentang lamaran ini. Gue bisa merasakan kekagetan yang sama yang dialami Shafira atas jawaban ayahnya sendiri. Papa dan Om Abi sudah senyum-senyum ketika mendapat lampu hijau dari keluarganya Shafira.
"Yah... kok nggak nanya aku dulu sih?" komplainnya terdengar oleh kami semua.
"Loh, Ayah kira kamu mengizinkan Nak Athaya untuk ketemu Ayah, karena kamu memang sudah menerima lamarannya."
"Selama ini, setiap kali ada laki-laki yang mau datang ke rumah, yang Abang kenalkan dan mau ketemu sama kamu, kamu selalu menolaknya dengan alasan mau fokus menyelesaikan kuliah dulu. Logikanya sih... kalau kamu mengizinkan anaknya Pak Andreas untuk ketemu Ayah, itu artinya kamu memang menerimanya. Nggak perlu ditanya lagi." Hazm menambahkan.
Gue mengulum senyum mendengar itu. Bukankah artinya selama dua tahun ini nggak ada laki-laki yang Shafira izinkan untuk bertemu dengan ayahnya kecuali gue.
"Ih, nggak gitu maksudnya, Bang."
"Kalau begitu... Nak Shafira berencana menolak lamaran ini?" Papa menanyakan itu dengan sangat hati-hati, namun sekaligus membuat Shafira kalah telak.
"Ng-ggak gitu juga..." katanya lirih dan terdengar agak malu-malu.
"Alhamdulillah, berarti Athaya resmi di terima udah." Om Abi antusias, semua orang di tempat itu mengucap hamdalah sama-sama. Termasuk gue yang mati-matian menahan wajah bahagia. Saking bersemangatnya, Papa langsung berbicara lagi.
"Kalau dari keluarga kami, Pak Adam. Kami ingin pernikahannya segera dilangsungkan. Satu bulan paling lama. Kalau persiapannya bisa selesai satu minggu, minggu depan juga saya nggak masalah. Anak saya ini umurnya udah mau kepala tiga, jadi saya enggan menunda lama-lama. Nggak baik juga kalau niat baik ditunda-tunda."
"Pa..." Gue agak menegur Papa saat itu, sebab seminggu bahkan sebulan mungkin terlalu cepat bagi keluarganya Shafira. Namun tanggapan Pak Adam di luar perkiraan. Sepertinya orang tua kami sudah sama-sama ingin segera menikahkan putra putrinya.
"Ya, boleh banget, Pak. Kalau saya boleh memberi saran. Nggak perlu lagi ada acara lamaran-lamaran resmi, prosesi tukar cincin, dan lain sebagainya. Langsung aja tentukan tanggal pernikahannya." Gue mendengar Shafira terbatuk-batuk. Pertemuan yang awalnya bertujuan hanya menanyakan kesiapan Shafira untuk di lamar, kini malah berakhir menentukan tanggal.
"Bagaimana? Kalian berdua setuju, kan?"
"Saya... terserah anak Om aja," Shafira melemparnya begitu saja ke gue. Papa beralih menatap gue menunggu jawaban.
"Apa nggak terlalu cepat, Pa? Memangnya persiapan pernikahan bisa dilakukan dengan waktu secepat itu. Bukankah mendaftar ke KUA perlu dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya? Belum lagi kita harus menyesuaikan schedule aku, schedule Papa, dan keluarganya Shafira juga."
"Urusan schedule, Papa rasa hal itu bisa di atur, tapi soal KUA..."
"Aman, Om. Pendaftaran ke KUA kurang dari sepuluh hari, bisa minta surat dispensasi dari kecamatan supaya bisa diproses segera."
"Berarti bisa, kan, Zam? Terhitung sisa hari di minggu ini. Pernikahan bisa dilangsungkan minggu depannya. Masih ada sekitar sebelas hari." Pembicaraan itu berlanjut hingga membicarakan soal mahar yang diinginkan Shafira dan konsep pernikahannya. Benar-benar sesuatu yang diluar dari dugaan gue, namun tetap gue syukuri sebab alurnya selancar ini.
Setelah segala pembicaraannya selesai, Om Abi, Papa, dan gue dijamu untuk makan malam dulu. Bahkan dilarang pulang sebelum makan malam di rumahnya. Setelah sempat mengobrol dengan Hazm, gue baru tahu kalau ternyata makan malam tersebut di sponsori oleh bisnis katering istrinya, Hasna.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...