SETIAP kali Shafira meminta izin untuk mengatakan sesuatu, gue selalu merasa dia akan membicarakan sesuatu yang sangat serius dalam hidupnya. Termasuk saat ini, dia ingin mengakui sesuatu, tapi mimik wajahnya sudah seperti akan mengakui dosa besar.
"Sebenarnya aku...." Kalimatnya menggantung lagi. Dia terlihat begitu ragu untuk mengatakannya.
"Sebenarnya aku?" tanya gue. Bisa-bisa mati penasaran.
"Aku... aku suka pake pakaian pendek kalau di rumah. Aku suka beli baju-baju lucu sejenis baju... baju haram gitu." Dia berusaha menjelaskannya tapi tatapannya enggan melihat ke arah gue sama sekali. Matanya berkelana entah ke mana. Selimutnya masih dia pegang erat tanpa ada niatan menurunkannya sedikitpun.
"Aku juga suka workout, hair do, pakai parfum, pake pernak-pernik lucu, make up juga. Kan, aku nggak mungkin berpenampilan kayak gitu kalau ke luar rumah. Makanya aku biasanya pake kayak gitu pas lagi di rumah aja. Kalau sekiranya kamu nggak suka... aku bakalan berusaha buat berhenti kok." Gue tersenyum mendengarnya, mana mungkin gue nggak suka penampilannya yang kayak tadi.
Rupanya dia khawatir gue marah atau nggak suka kalau dia berpenampilan seperti itu.
"Oh, soal itu... kalau begitu silakan lakukan aja sesuka kamu, Ra. Dengan syarat, hanya aku yang boleh melihatnya."
"Beneran?" tanyanya nggak yakin. Gue mengangguk. Gue senang saat dia meminta persetujuan gue untuk hal-hal sederhana kayak gini. Ketika dia menanyakannya, gue merasa dihargai sebagai suami, gue merasa dibutuhkan.
"Kamu boleh pakai baju apapun yang kamu mau. Kamu boleh pake aksesoris, perhiasan, atau pernak-pernik apapun yang kamu suka. Kamu bebas pakai parfum, atau make up model mana pun yang kamu senangi, selama kamu melakukannya di rumah, dan nggak berlebihan..."
"Dan, kamu juga nggak perlu malu lagi di depan aku. Kamu mau pake bikini, lingerie, atau setelan renang pun di rumah silakan. Aku kasih izin seluas-luasnya..."
"Ishh! Dasar mesum!" Ejeknya.
"Biarin, kan sama istri."
"Ih! Apa sih, Tha..." Dia kembali menarik diri dalam selimut. Menutupi wajah malu-malunya. Gue tertawa melihat tingkahnya.
Shafira itu biasanya bertindak cool, elegan, memesona, tak tersentuh, tapi gue suka lihat tingkahnya kalau lagi merajuk kayak gini, dan gue lebih senang lagi saat tahu kalau hanya gue yang bisa menikmati tingkah-tingkah tertentunya ini.
"Kita jadi masak nggak nih? Kamu mau begitu terus? Katanya mau lihat keahlian aku ngupas bawang."
"Keluar dulu! Terakhir kali deh janji. Aku mau ganti baju dulu..." pintanya. Padahal gue nggak memintanya untuk langsung mengubah penampilannya saat itu juga, kalau memang dia belum siap melepas hijabnya di depan gue.
"Oke... aku tunggu di luar ya." Pada akhirnya gue keluar dari kamar, memberikan ruang untuknya sendirian. Gue membawa serta buket bunga dan yoghurt yang tadi sempat gue taruh di atas nakas, khawatir mencair dan malah basah.
Beberapa hari tinggal dengannya, gue menyadari Shafira itu orang yang sangat rapi, teratur, dan serba tertata. Dia senang di rumah dan senang beres-beres. Menata sesuatu serapi mungkin hingga apartemen gue memang jauh terasa lebih cozy.
Meski di rumah, dia punya schedule kegiatan dari awal bangun, hingga akan tidur lagi. Jam kerjanya tertata meski pekerjaannya remote. Nggak kayak gue yang kerja semaunya, kalau lagi mood. Makanya dulu gue nggak bisa kerja, kalau nggak ada sekretaris.
Lagi-lagi Allah menyandingkan dia dengan gue yang setengah berantakan—nggak berantakan banget ya, catat!—kadang gue sering lupa aja naro barang dan nggak ditaro ke tempatnya. Tas kerja aja gue sering lupa naronya di mana. Jadi gue sedang berusaha sebisa mungkin menyeimbangi kebiasaanya Shafira.
Gue duduk di sofa tengah, mengistirahatkan diri sebentar setelah segala sensasi panas yang gue rasakan. Inginnya mandi dulu, tapi kalau mandi dulu terus masak, yang ada malah gerah lagi nantinya.
"Kamu beli buket bunga buat aku?" suaranya tiba-tiba terdengar. Shafira mendapati buket bunga dan bingkisan berisi yoghurt itu di meja makan. Dia keluar kamar dengan kondisi nggak pake hijab, namun kali ini bajunya lebih sopan. Dress berbahan kaos yang panjangnya sebetis dan berlengan standar.
Rambutnya dia ikat lebih rapi, masih memamerkan lehernya. Definisi cantik yang menghabiskan seluruh kosa kata yang gue punya. Gue nggak tahu lagi harus mendeskripsikan cantiknya dengan kata-kata apa. Saking cantiknya Shafira, gua nggak ikhlas untuk berkedip.
Gue tahu dia tengah menahan malu setengah mati berpenampilan seperti itu di depan gue, jadi gue hanya menghampirinya ke dapur tanpa membahas penampilan cantiknya sama sekali.
"Aku beli yoghurt juga, kesukaan kamu."
"Oh, ya? Tahu dari mana?"
"Dari Ayah. Tadi aku sempat telepon dulu Ayah buat nanyain makanan kesukaan kamu.
"This means a lot to me, alhamdulillah... Makasih banyak ya. Kamu memang selalu seniat ini. Mana aku memang suka banget lagi sama yoghurt..." Dia mengatakan itu sambil tersenyum manis antusias menatap hadiah-hadiahnya, membuat cantiknya berlipat ganda.
Gue mengikuti kemana dia berjalan. Setelah menaruh buket bunga di tempat yang lebih aman, dia mulai mengeluarkan beberapa mangkok dan peralatan masak. Mata gue nggak terlepas memandanginya saat itu. Sering kali pemandangan Shafira yang mondar-mandir di dapur, menjadi sesuatu yang sangat-sangat gue syukuri.
Kemarin-kemarin, dia masih memasak pakai hijab instan. Sekarang, syukur itu perlu lebih riuh lagi gue langitkan. Karena belum tahu makanan apa yang akan Shafira masak, tadinya gue inisiatif untuk menaruh yoghurt yang gue beli tadi ke dalam freezer, biar tetap beku. Namun ketika gue membuka pintu kulkas bagian kanan atas, freezer itu sudah penuh dengan yoghurt dan es krim.
"Ra..." Gue memanggilnya sambil masih memegangi pintu kulkas yang terbuka. Kayaknya gue telat banget, dia udah dengan sendirinya beli yoghurt.
Melihat gue berdiri di depan kulkas, dia sudah langsung mengerti apa yang akan gue keluhkan padanya. Gue mengeluh atas segala keterlambatan gue mengetahui makanan kesukaannya.
"Nggak apa-apa... Aku beli yoghurt kemarin, sekalian grocery shopping. Yang kamu beli hari ini, aku makan duluan," katanya menghargai, tapi tetap saja ini stoknya udah kayak mau buka toko. Gue juga belum bilang kalau dalam beberapa hari ke depan dia akan gue ajak mengisi rumah baru.
"Ini gimana ngabisinnya coba kalau banyak begini?" Dia tertawa.
"Nggak apa-apa dong, stok buat sebulan. Nanti kamu bantu makan juga. Biar pencernaan makin lancar jaya, atau nanti aku kasih Papa juga deh kalau udah pulang ke Jakarta..." Mendengar dia membahas grocery shopping gue baru mendadak baru teringat sesuatu
Bisa-bisanya gue beli hadiah buat Shafira tapi gue lupa belum transfer untuk kebutuhan sehari-hari!
___________
To be continued.
Pada nungguin Atha kupas bawang, ya? 🧅 🌰🧄
Yuk, ramaikan kolom komentar dan gas ke bab berikutnya. Aku double update nih. 📨
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...