Bagian 58

12.8K 2.8K 3.3K
                                    

TADINYA gue sengaja turun ke lantai bawah dan menyusul Shafira hanya untuk memastikan bahwa perempuan yang gue lihat dari dalam lift itu memang Shafira, dan ternyata saat kepastian sudah gue dapatkan, gue nggak bisa pura-pura abai dan pulang begitu saja saat tahu Shafira memang sendirian. Setidaknya gue perlu memastikan lagi, bahwa Shafira mungkin sedang menunggu jemputan kakaknya dan bisa sampai rumah dengan aman. Dengan begitu gue bisa pulang dengan tenang.

"Kenapa belum pulang?" Suara gue sontak membuatnya menoleh, dia nampak heran mendapati gue masih berada di tempat tersebut setelah beberapa jam lalu kami berpisah.

"Anda sendiri kenapa belum pulang?" tanyanya. Gue menunjukkan beberapa shopping bag yang ada di tangan gue, secara tidak langsung menjawab bahwa gue belum pulang karena gue harus mencari beberapa pakaian yang Sheina inginkan.

"Saya habis keliling dulu tadi, nyari dress rok panjang, outer, sama hijab yang warna-warnanya sering kamu pakai."

"Buat apa baju-baju itu?"

"Buat Sheina. Sejak dia dapat Al-Quran yang ada terjemah bahasa inggris-nya dari kamu, dia mau mulai pakai hijab katanya. Pakai baju-baju yang modelnya mirip sama baju yang sering kamu pakai ke kantor."

"Katanya tadi bilang nggak akan jenguk Sheina malam ini?" Shafira mengingatkan gue akan perkataan gue pada Pak Iman saat di mobil tadi. Ya, awalnya gue memang tidak akan menjenguk Sheina malam ini. Selain karena Papa ada di rumah sakit. Gue sengaja mengatakannya karena Pak Iman pasti akan memilih menunggu meeting gue selesai dan mengantar gue kembali ke rumah sakit jika gue katakan itu

"Awalnya memang nggak akan, tapi terornya makin parah sekarang. Dulu kalau saya nggak balas, Sheina gampang banget nyerahnya. Sekarang makin ekstrem, dia ngirim pesannya pakai ayat," jawab gue bisa mendengar Shafira tertawa kecil, meski gue nggak menatapnya. Kami hanya saling berdiri memandang jalan raya yang menyala dan mengkilap karena guyuran hujan yang belum kunjung memberikan jeda.

"Terus kalau habis shopping, kenapa malah turun ke lantai satu? Mobil Anda masih di lantai 5A, kan?" tanyanya lagi, membuat gue seketika gelagapan harus menjawab apa, karena tidak mungkin gue katakan terang-terangan kalau gue turun lagi ke lantai bawah karena sengaja mengikutinya.

"Saya nyari smoking area, tapi nggak nemu-nemu sampai sini. Pas turun, saya baru tahu kalau ternyata di luar lagi hujan."

"Kamu sendiri, kenapa nggak diantar pulang sama Rafif? Atau nunggu dijemput kakak kamu?" tanya gue mengalihkan pembicaraan supaya dia tidak terlalu fokus terhadap alasan kenapa gue masih berada di sini. dia hanya menggeleng pelan, tanpa menjelaskan apakah dia dijemput atau tidak.

Gue teringat mouse wireless yang baru gue beli. Kontan gue mengeluarkannya dan menyerahkannya kepada Shafira. Benda itu memang di disimpan terpisah menggunakan shopping bag yang lebih kecil. Tadinya baru akan gue berikan besok pagi di kantor.

"Apa ini?"

"Buka aja, buat kamu. Lama nunggu dari bagian pengadaan." Shafira terdiam sebentar sebelum membuka bingkisan itu dan menyadari isinya. Dia tidak merespon apapun setelah itu, membuat gue banyak membuat hipotesis terhadap isi pikirannya.

"Jangan berpikiran yang buruk terus tentang saya. Saya cuma belikan itu buat kamu, tanpa ada maksud lain. Ini pure saya belikan supaya kinerja kamu nggak kehambat. Lagian lebih nyaman kerja pakai itu, kamu nggak akan kesetrum lagi. Kalau sampai ada kecelakaan kerja lagi, nanti saya juga yang dirugikan."

"Saya nggak mengatakan apapun."

"Saya cuma meluruskan sebelum kamu salah paham."

"Semua orang akan salah paham, kalau terlalu sering mendapat hadiah dari pimpinannya. Setelah sebuah tas yang harus saya terima tanpa penolakan. Bukannya saya harus lebih hati-hati kalau Anda yang ngasih? Mungkin aja Anda memberikan hadiah seperti ini ke semua perempuan yang pernah jadi sekretaris Anda."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang