Bagian 20

14.4K 2.6K 278
                                    

Bismillah, Assalamu'alaikum.

Ciee... nunggu ya? Di sini mati lampu, apalah daya penulis yang mengandalkan wifi ini. Aku jarang beli kuota soalnya wkwkwk.

Selamat membaca...

___________

SIANG itu menjelang jam makan siang, gue masih asik berselancar di internet di ruang kerja. Mencari informasi tambahan seputar PTSD dari website-website kesehatan hingga jurnal-jurnal inter yang terpercaya. Gue hanya pernah mendengar istilah PTSD itu sendiri tanpa tahu PTSD itu apa.

Post-traumatic stress disorder, gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis, bisa muncul setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menakutkan atau mengancam nyawa. Salah satu peristiwa yang diketahui paling sering menjadi penyebab PTSD adalah kecelakaan.

Gue jadi berpikir, apakah Shafira pendiam karena PTSD itu atau memang karakternya? Rasanya nggak mungkin faktor genetik. Kadar ramah ayahnya yang di luar dari ekspektasi gue kemarin, sama sekali nggak diwariskan ke Shafira.

Nggak lama dari itu, ada panggilan masuk ke telepon kantor. Gue spontan mengangkat panggilan tersebut seperti biasanya, penyebutkan nama beserta bagian di mana gue bekerja. Namun suara di sebrang telepon menyapa gue dengan informal, menandakan bahwa itu bukan panggilan soal kerjaan.

"Orang sibuk, gaya angkat teleponnya beda ya. Ngebut bener..." Gue mengenali suara tersebut, tapi gue nggak inget suara siapa. Kayak udah lama banget nggak denger suara itu.

"Bentar... ini saya bicara dengan siapa ya?"

"Ini gue, Abyan. Jangan bilang lupa lo sama gue, parah sih kalau sampe lupa." Ketika si penelepon menyebutkan namanya, gue langsung teringat cowok rantau Surabaya jaman masih S1 yang absennya selalu deketan sama gue pas masih kuliah karena nama kami sama-sama dari huruf A.

"Serius ini Abyan? Kok lo nelepon ke telepon kantor gue sih? Inget lah, gila. Ya kali gue lupa. Apa kabar lo?"

"Gue telepon dari lobi nih, tadi habis ada meeting sama Nata Adyatama di building B. Keinget lo, gue mampir dulu ke sini. Gue boleh ke atas nggak, Tha?"

"Langsung naik aja, lantai dua puluh wing  kanan ya." Gue jadi bersemangat buat ketemu sama Abyan. Selain karena udah lama nggak ketemu, kalau ingat masa-masa kuliah dulu, tempat kosnya Abyan paling sering jadi pelarian buat gue pas gue males pulang ke rumah.

Bokap nggak mengizinkan gue untuk ngekos pas lagi S1 dengan alasan jaraknya yang masih ditempuh pulang pergi. Berakhirlah gue sering nginep di kosan Abyan dengan alasan ngerjain tugas. Habis lulus, gue melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri dan gue nggak pernah denger kabar Abyan lagi karena dia balik ke Surabaya.

Abyan masuk ke ruangan gue setelah diantar Shafira. "My goodness... it's been a while. How's everything, Yan? Parah banget lo, semenjak gue balik ke Indonesia, nggak pernah ngontak gue sekalipun. Ampun deh, mana susah banget lagi nyari kontak lo. Orang terlampau sibuk memang, padahal kerja di Jakarta juga," gue bersalaman agak lama dengan pria itu.

"Kebalik kali, Tha. Lo orang yang terlalu sibuk sampe susah gue kontak. Alhamdulillah, as you can  see Bapak Manager. Gue dalam keadaan sehat dan masih bisa nafas. Lo apa kabar?"

"Gue baik. Kayaknya gue nggak pernah lihat lo nongkrong di Play Bar atau Redroom lagi. Atau lo sekarang pindah tempat nongkrong? Gue beberapa kali ketemu temen kampus di sana, tapi nggak ada yang kontekan sama lo." Abyan agak tersenyum tipis waktu gue mananyakan itu.

"Iya nih, gue memang pindah tempat nongkrong sejak dua tahun lalu," katanya.

"Pindah kemana? Nightfly? Atau Hotel XTS?"

"Gue... udah berhenti party , Tha. Jadi, nggak pernah nongkrong di sana lagi. Sebenarnya, gue ke sini mau ketemu Shafira, ya, sekalian aja ketemu sama lo. Cuma ini masih jam kerja, ya?" Gue agak kaget mendengar Abyan mengenal Shafira. Abyan menanyakan itu sambil memastikan pukul berapa sekarang lewat jam tangannya.

Ah, gue paham sekarang. Dia berhenti party, tandanya berhenti minum juga. Melihat dia bergaul dengan Shafira, sudah bisa gue tebak maksud dari 'pindah tempat nongkrong' yang dikatakannya tadi.

"Lo kenal sekretaris gue?" Abyan mengangguk.

"Kita gabung di komunitas yang sama. Komunitas yang bergerak di bidang kemanusiaan gitu. Shafira juga jadi sekretaris di sana," jelas Abyan. Gue agak kaget waktu tahu Shafira ikut komunitas. Gue kira dia nggak suka kegiatan-kegiatan yang berbau sosial.

Sisanya, gue tentu mendukung segala perubahan baik yang dilakukan orang-orang disekitar gue, termasuk Abyan. Mereka mengambil keputusan itu, tentu atas dasar pemikiran yang udah mereka lakukan.

"Something better it's nobody hates, Bro. Asal jangan lo mendadak lupa dan nggak mau kenal lagi aja sama gue," gue mengatakan itu sambil menepuk pundaknya pelan dan Abyan menanggapinya dengan santai.

"Bentar lagi istirahat sih, kalo lo ada keperluan sama Shafira, boleh lah sekretaris gue dipinjem sebentar," sambung gue.

"Eh, gimana kalo kita makan siang bareng aja? Three of us? Nggak baik kalau cuma gue sama Shafira doang yang makan berdua."

"Boleh. Kafe depan aja, ya? Biar deket," ajak gue, yang langsung disetujui oleh Abyan. Long story short, sepanjang perjalanan gue dan Abyan banyak nostalgia masa-masa pas masih kuliah. Bertukar cerita tentang apa yang kami lakukan setelah saling berpisah tanpa kabar dulu.

"Makan siang kali ini gue yang traktir, ya," kata Abyan ketika mulai melihat buku menu.

"Nggak."

"Lo udah sering traktir gue makan waktu masih kuliah dulu, Tha. Sesekali gue lah yang traktir."

"Nggak akan nolak maksudnya," sambung gue yang kemudian disambut dengan lemparan gulungan tisu dari Abyan. Yes, gue cukup tahu diri untuk numpang nginep di kosan tanpa merepotkan dengan numpang makan juga dulu.

Habis masing-masing dari kami memesan makanan, gue memberikan kesempatan pada Abyan dan Shafira untuk membicarakan urusan mereka. "Bukannya ada yang mau lo sampaikan sama Shafira? Sambil nunggu makanannya datang, ngobrol aja dulu. Anggap aja gue nggak ada, atau kalian butuh privasi buat ngobrol berdua?" tanya gue.

"Oh, iya. Berasa di ingetin gue. Santai aja, Tha. Cuma ngomongin event komunitas doang." Abyan terlihat mencari sesuatu dari saku kemeja dan celananya, dia menyodorkan flasdisk berwarna soft purple yang terlihat lebih cocok dimiliki perempuan. Habis itu, dia juga menyodorkan sebuah shopping bag yang dari tadi dibawanya.

"Apa ini, Yan?" tanya Shafira.

"Itu oleh-oleh umrah dari orangtuanya Bang Afif. Buka aja dulu, takut ketuker sama yang punya Adisti. Soalnya katanya isinya beda, yang Adisti masih aku taro di mobil," suruh Abyan. Gue nggak bisa melihat apa isi bingkisannya, tapi gue bisa melihat Shafira yang mengukir senyum tipis saat membukanya.

Sumpah, itu pertama kalinya lihat Shafira senyum setulus itu. Senyum yang nggak ada tuntutan karena harus ramah ketemu orang, atau senyum yang formalitas.

"Nanti kalo ketemu Bang Afif, bilangin makasih ya, jazakallah khair."

"Buat rundown acara yang direvisi itu udah bener katanya. Kegiatan-kegiatan yang nggak terlalu penting dikurangi. Biar mereka lebih banyak waktu buat main. Bang Afif udah kasih tanda kegiatan-kegiatan mana aja yang dihapus. Kamu tinggal ubah, nggak perlu diketik ulang," tambah Abyan.

"Itu aja?" Shafira terdengar mengharapkan hal lain. Mimik wajahnya sangat berbeda sekali saat dia membahas soal komunitas. Bukan, sepertinya yang menarik baginya bukan soal komunitas, tetapi soal orang yang mereka panggil Bang Afif.

"Dia bilang kalau kamu jangan sampai kurang tidur gara-gara ngerjain itu. Kalau memang kamu nggak sempat ngerjain, nanti Bang Afif minta yang lain buat ngerjain," jawab Abyan. Senyum tipis itu semakin mengembang. Ah, gue sangat tahu hal yang bisa membuat seseorang banyak tersenyum saat membicarakan topik yang mereka senangi.

Dia sedang kasmaran.

____________

To be continued.

Make the Qur'an as the main reading.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang