MUNGKIN sejak awal Shafira memang berencana untuk melewatkan jam makan siang. Setelah mendapat cukup waktu untuk sendirian di ruang meeting selama hampir setengah jam, Shafira akhirnya keluar ruangan. Dia terlihat agak kaget mendapati gue masih berdiri di tempat itu dan langsung berusaha mengusap kedua matanya yang masih meninggalkan jejak tangisan.
"Kenapa Anda masih di sini? Saya kira Anda sudah langsung kembali ke kantor dari tadi."
"Awalnya saya memang mau ke kantor, tapi iPad saya masih di kamu. Saya nggak bisa mengecek schedule selanjutnya apa? Apakah saya harus ke kantor, atau ada kerjaan lain di luar kantor." Shafira langsung terburu-buru mengeluarkan barang yang gue pinta.
"Anda harusnya menghubungi saya. Padahal bisa saya serahkan dari tadi," katanya disela-sela dia menggeledah tasnya.
"Handphone saya mati, makanya saya nggak bisa nelpon kamu. Kalau handphone saya nyala, saya nggak perlu repot-repot ngecek schedule pakai iPad. Saya bisa ngecek schedule saya lewat handphone." Gue beralasan dengan alasan yang syar'i, karena handphone gue beneran mati saat itu.
Shafira menyerahkan iPad ke gue, sementara gue tiba-tiba menyerahkan sebungkus besar tisu padanya. Bukan kaleng-kaleng, gue menyerahkan sebungkus tisu yang berukuran besar yang isinya 900 sheets.
Iya, ini cukup gila memang.
Pramukantor tadi menyerahkan tisu itu dalam kondisi baru, karena mungkin mengira ada minuman yang jatuh hingga membasahi karpet. Entahlah, apa isi pikirannya, gue juga nggak tahu kenapa dia memberi tisu sebanyak itu.
"Ini... tisu buat apa?" Shafira bingung. Gue juga bingung jawabnya. Konyol banget tiba-tiba memberikan tisu sebanyak itu.
"Anggap aja merch meeting dari Nirwana Group. Bawa aja, mungkin kamu bakalan butuh buat lap-lap apapun, lap jok, atau kaca spion motor, atau bawa aja ke kantor siapa tahu Nata Adyatama kekurangan tisu," jawab gue terasa makin ngawur sambil mengecek schedule selanjutnya, supaya nggak terlalu malu di depan Shafira.
Dia nggak menanyakan apapun lagi. Sudah sangat terbiasa dengan hal-hal random dan aneh yang gue lakukan. Setelah itu Shafira dan gue sama-sama mencari lift untuk kembali ke kantor. Lucu juga lihat dia membawa tisu sebanyak itu.
Saat kami berjalan di lobi menuju pintu keluar, tiba-tiba ada lelaki yang menghampiri kami. Mungkin Rafif sejak tadi menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Safira
"Shafira, kita harus bicara," pintanya terlihat begitu depresi. Gue pernah melihat bagaimana Vian dan Gema depresi akan cinta, namun gue nggak pernah melihat mereka sedepresi Rafif sekarang. Sedetik kemudian Rafif beralih menatap gue.
"Athaya, saya boleh bicara sama Shafira sebentar?" pintanya. Gue kira mereka memang memerlukan waktu untuk membicarakan masalahnya agar bisa cepat selesai, sehingga gue iya-kan permintaan Rafif saat itu.
"Masih ada waktu satu jam lagi sih. Kalau gitu saya ke kantor duluan aj-" Shafira memotong ucapan gue dengan tiba-tiba. Padahal biasanya dia jarang melakukan itu.
"Bukannya setelah ini ada meeting sama Pak Jonathan, ya, Pak?" Mendengar pertanyaan itu, gue langsung paham kalau Shafira tidak ingin berbicara dengan Rafif.
"Oh itu... ya. Saya hampir lupa. Kayaknya kalian nggak bisa berbicara sekarang, saya lagi buru-buru. Saya benar-benar minta maaf, mungkin kalian bisa bicara di lain waktu." Gue perlu berpura-pura tak tahu apapun soal masalah mereka di hadapan Rafif.
"Saya cuma butuh sepuluh menit untuk berbicara dengan Shafira. Lagipula ini masih jam istirahat. Sebenarnya saya nggak harus selalu perlu izin dari Anda untuk berbicara dengan Shafira." Rafif berbicara dengan agak sinis ke gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...