Bagian 15

14.7K 2.4K 185
                                    

TERLALU banyak penyesalan dalam hidup gue, sampai hal-hal kecil yang gue lakukan sering kali gue sesali. Salah satunya adalah meminta Dipta untuk mampir ke apartemen gue dulu sebentar, karena ada barang yang mau gue ambil sebelum cabut nongkrong. Tentu Si Mager itu nggak ikut naik dan memilih nunggu di mobil karena mood-nya masih berantakan setelah bertemu Shafira tadi siang. Justu sebaliknya, mood gue lagi baik-baiknya saat itu. Setidaknya sampai gue menginjakkan kaki di lobi apartemen dan menyesali semuanya.

Gue udah hampir lupa tentang pembicaraan bareng bokap di telepon yang bilang om dan nenek dari pihak ibu berkunjung dari Bogor ke Jakarta dan ingin menemui gue. Gue kira percakapan itu berakhir setelah gue menutup teleponnya secara sepihak. Namun setelah sekian lama gue tidak pernah melihat mereka, pada akhirnya gue dihadapkan pada mereka lagi.

"Selamat sore, Pak Athaya," sapa pegawai apartemen saat melihat gue hendak memasuki lift.

"Sore, Pak."

"Ada tamu dua orang yang menunggu Bapak dari satu jam yang lalu, katanya sanak saudara. Mereka menunggu di ruang tunggu." Gue paling jarang banget nerima tamu ke apartemen. Empat dari temen gue aja cuma pernah menunggu di lobi atau tempat parkir. Nggak pernah masuk unit.

Bokap gue tahu di mana gue tinggal, tapi dia juga tahu gua paling nggak suka kalau ranah pribadi gue diusik. Sheina, gue bahkan nggak yakin dia tahu letak apartemen gue di mana. Nggak banyak orang yang 'harusnya' gue sebut keluarga hingga gue dengan mudah menebak siapa dua orang tersebut. Gue mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya mengikuti kemana pria itu menunjukkan arahnya.

"Lama nggak melihat kamu, Tha." Gue agak mematung sebentar melihat dua orang tersebut, bingung harus bereaksi seperti apa. Namun gue cukup sadar bahwa menolak kehadiran mereka saat ini, di hadapan orang asing, bukan hal yang cukup dewasa untuk dilakukan.

"Saya tinggal ya, Pak," kata orang yang mengantar tadi. Gue mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya.

"Om tahu kamu nggak mau untuk..."

"Mari bicara di atas aja," kata gue menyelanya dan memintanya untuk tidak bicara saat itu. Gue nggak tahu kemungkinan terburuk apa yang akan gue lakukan atau katakan kalau Om Dimas mulai membuka mulutnya.

Terakhir kali gue melihat perempuan itu adalah saat pemakaman ibu, saat dia menyesal dan menangisi nisan putrinya. Setelah itu gue dibawa tinggal sama bokap. Kini jalannya nggak setegap dulu, penampilannya sangat menunjukkan kerapuhan usia, tapi untuk melihatnya saja gue masih enggan.

Saat naik menuju lantai di mana unit gue berada, gue sempat mengirim pesan pada Dipta untuk nggak menunggu dan pergi lebih dulu. Dia sempat menelepon dan ngomel-ngomel karena gue udah janji bakal nyetir, tapi pas mendengar suara dingin gue di telepon, dia langsung paham kalau emosi gue berada di ambang batas paling rendah.

"Wah... Interior ruangannya menarik, ya. Kamu tinggal sendiri? Kenapa memilih hunian yang jauh dari tempat kerja, Tha?" Om Dimas basa-basi sembari melihat kondisi apartemen gue, mereka bahkan nggak duduk saat belum gue persilakan. Mendengar dia menyinggung soal kerjaan gue, dapat gue pastikan dia mendengar banyak hal soal gue dari bokap.

"Akan lebih baik kalau lokasinya lebih jauh dari Menteng. Silakan duduk, saya ke kafe depan sebentar." Gue mengatakan itu dengan sangat datar, nggak ada makanan atau minuman yang bisa gue sajikan untuk tamu di apartemen. Kulkas gue isinya hanya air mineral semua, gue lebih sering makan di luar.

"Nggak usah, Tha. Kamu ada janji, kan? Kita nggak akan lama kok," tahan Om Dimas.

"Oh ... good then."

"Maaf sampai harus menemui kamu ke sini. Om tahu kamu nggak suka bertemu Om dan Oma, tapi Oma pengen banget ketemu kamu. Jadi tadi Om agak memaksa Papa kamu untuk ngasih tahu alamat tempat tinggal kamu. Lagipula ini terakhir kami berada di Jakarta," dia langsung menjelaskan segalanya tanpa diminta.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang