SEPANJANG pembicaraan berlangsung, gue mencoba mencari kesempatan untuk bisa berbicara pada Shafira tanpa diketahui Rafif dan ibunya. Hanya sekadar untuk menanyakan apakah dia sungguh baik-baik saja saat itu. Gue sudah berusaha mengirim pesan pada Shafira, namun dia nggak membuka ponselnya. Mungkin merasa tidak etis apabila ada orang yang tengah berbicara namun dia sibuk sendiri dengan ponselnya.
Benar apa yang dikatakan Pak Abinaya saat meeting di tempat golf, mamanya Rafif atau lebih tepatnya istri dari orang bernama Erwin ini adalah seorang kolektor lukisan. Bahkan dia memiliki koleksi hasil karya beberapa mantan presiden Indonesia yang juga melukis. Sepanjang berbicara tadi, kami hanya membicarakan soal mama. Bibir gue begitu lancar membangun pembicaraan soal lukisan, hingga membahas jalan La Ramblas, Barcelona. Namun tentu saja pikiran gue tidak sejalan dengan topik yang sedang dibicarakan saat itu.
Sejak tadi, ekor mata gue sibuk memperhatikan gerak-gerik Shafira. Entah Rafif menyadarinya atau tidak, tapi Shafira terlihat lebih pendiam dari biasanya. Ya, Shafira memang pendiam, namun tidak pernah sediam ini. Wajahnya murung, dan dia hanya memperhatikan minuman di hadapannya dan sesekali mengaduk isinya dengan sedotan.
"Eh, tunangan kamu Nalea. Dia masih kuliah di US?" Gue hampir tidak menyimak pertanyaan itu saking sibuknya memperhatikan Shafira.
"Iya, Tan? Ah iya. Nalea? Dia lanjut S2 di sana juga sekalian. Jadi kemungkinan studinya baru selesai tahun depan."
"Kamu itu beruntung banget loh punya Nalea, Tha. Kapan rencana mau lanjut ke tahap yang lebih serius? Tante udah kenal Nalea dari dia masih bayi, masih merah. Dia cantik banget waktu kecil, sekarang Tante lihat malah makin cantik aja dia." Gue nggak tahu arah pembicaraan ini akan kemana. Siapa yang nggak kenal dengan nama Nalea Silenia Pradana, dia runner up pertama kontes kecantikan PPI beberapa tahun lalu yang mewakili Indonesia di ajang Miss Tourism Internasional.
"Mungkin nunggu Nalea selesai dulu kuliahnya, Tante. Biar dia bisa fokus sama studi-nya dulu."
"Enaknya memang begitu ya. Mandiri, pekerja keras, punya pendidikan yang tinggi, anak semata wayang mentri ATR lagi. Kamu kalau lanjut bisnis properti Papa kamu, terus punya Nalea. Insyaallah pasti lancar kedepannya."
Kenapa gue mendadak tidak suka dengan topik pembicaraan ini. Apa mamanya Rafif memang tidak menyadari ucapannya, atau dia sengaja mengatakannya di depan calon menantunya? Maksud gue, anaknya juga berkemungkinan besar melanjutkan bisnis properti milik keluarganya. Dia seolah mengatakan bahwa anaknya tidak beruntung karena tidak mendapatkan menantu seperti Nalea.
"Saya rasa, Rafif lebih beruntung punya Shafira. Ayah saya pernah bilang, regulasi itu dibuat dan diberlakukan meski dalam ruang lingkup kekeluargaan. Meski suatu saat saya mungkin resmi menjadi menantu Mentri ATR, semua pekerjaan tetap dilakukan sesuai dengan prosedur hukumnya, dan bagi saya... sesempurna apapun Nalea, dia belum mau berhijab."
"Surga tidak menerima perempuan tanpa hijab, kan?" tanya gue. Mungkin saat itu pikiran gue yang terlalu sensitif hingga gue mengatakan itu terang-terangan tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Rafif terlihat memilih diam dengan pembicaraan tersebut, dan ibunya seperti baru menyadari kalau mungkin ucapan sebelumnya bisa menyinggung Shafira, hingga dia mengulang kalimatnya dan tetap menyanjung calon menantunya.
Pada akhirnya pembicaraan itu nggak berlangsung lama, karena gue masih perlu berkeliling untuk mencari pakaian-pakaian pesanan Sheina. Anak itu bilang dia ingin menggunakan hijab, tentu gue sangat mendukung keputusan baik itu sebab Sheina melakukannya atas keinginannya sendiri.
Gue berpamitan pada Rafif dan mamanya dengan alasan bahwa sebentar lagi memasuki waktu maghrib dan akhirnya gue berpisah dengan mereka bertiga dan berjalan menuju lantai lima. Sepanjang perjalanan gue masih terganggu dengan apa yang gue lakukan tadi. Atmosfernya menjadi tidak nyaman setelah perkataan gue. Mungkin saja yang gue lakukan justru malah membuat Shafira makin murung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...