GUE membutuhkan waktu lebih lama untuk berganti pakaian dan menormalkan mimik wajah sebelum keluar kamar, berhadapan dengan Shafira. Mencoba bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan menganggap hal itu biasa saja. Sekitar lima belas menit kemudian, gue mendengar pintu diketuk lagi.
"Udah selesai?" suaranya terdengar dari luar. Gue membuka pintu kamarnya.
"Udah..."
"Maaf, tadi... Bang Hazm lagi ke minimarket sebentar jadi aku yang ambil bajunya." Dia malah membahasnya lagi, membuat gue seketika ingin melarikan diri dari bumi sesaat.
"Nggak apa-apa, makasih ya. Ngomong-ngomong, koper kamu yang bakalan di bawa di mana? Biar sekalian aku bawain ke bawah." Gue mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Dia berjalan masuk dan menunjukkan koper yang akan dibawanya.
"Koper ini." Ada satu koper kecil berwarna abu yang sejak tadi sudah berada di tempat tersebut.
"Cuma ini?" Shafira mengangguk. Ini lebih seperti perbekalan gue untuk perdin satu minggu. Waktu Sheina pindah dari rumah yang di Menteng ke apartemen gue yang di Kuningan City aja, barang bawaanya tiga kali lipat dari ini.
"Kamu yakin cuma segini, Ra? Kamu ikut pindah loh, bukan cuma tinggal sementara."
"Iya, cuma itu aja. Itu juga udah banyak banget baju yang aku bawa." Sepertinya Shafira agak berbeda dengan perempuan-perempuan yang gue kenal. Bisa-bisanya barang bawaanya lebih simpel daripada gue.
Akhirnya koper itu gue tarik dan bawa ke lantai bawah, karena khawatir terlalu malam, gue langsung mengajak Shafira untuk berpamitan pada keluarganya.
Ini sudah gue bicarakan dari tiga hari yang lalu, bahwa gue ada pekerjaan yang nggak bisa diganggu besok senin. Ya, begitulah kerja remote. Memang kita bisa bekerja sesuka kita, tapi kalau lagi banyak kerjaan, weekend aja kadang masih kerja.
Gue memberikan dua opsi saat itu. Shafira langsung ikut ke Jakarta, atau dia bisa tinggal dengan orang tuanya dan gue yang ke Jakarta sendiri. Seminggu lagi baru gue jemput. Shafira memilih opsi yang pertama untuk langsung ikut ke Jakarta, meski itu mungkin akan cukup melelahkan untuknya.
"Udah semua? Ada yang ketinggalan, nggak? Coba di ingat-ingat dulu," ucap Pak Adam ketika gue memasukan koper Shafira ke bagasi. Keluarganya sengaja keluar untuk mengantar kepergian kami.
"Udah kok, Yah."
"Rumah ini bakalan sepi banget kalau nggak ada kamu, Shaf." Dia berpamitan dengan kakak iparnya. Mereka saling berpelukan.
"Bang Atha, titip adik saya yang cengeng ini ya." Hazm berhasil membuat mata Shafira mulai agak berkaca-kaca. Gue tersenyum kecil melihat itu. Ternyata semua kakak laki-laki memang menjadi orang pertama yang senang sekali menganggu adiknya, juga orang pertama yang akan melindunginya.
"Ih! Aku nggak cengeng ya..." Dia bilang nggak cengeng, tapi dia mati-matian berusaha untuk nggak menangis saat itu. Di sela-sela percakapan tersebut, Pak Adam menghampiri gue.
"Tolong jaga Shafira dengan baik ya, Tha. Saya percayakan dia sama kamu... Kalau sampai kamu menyakiti putri saya. Saya orang pertama yang akan memintanya pada kamu untuk mengembalikan Shafira ke rumah ini."
"Insyaallah, Pak. Saya pastikan itu nggak akan pernah terjadi." Dia tersenyum lalu memeluk gue sambil menepuk-nepuk pundak sebentar, begitu terasa ketulusan dalam tindak tuturnya.
"Kamu juga sehat-sehat di sana ya..." katanya sebagai kalimat penutup. Dia beralih pada putrinya.
"Ayah nggak mau sedih-sedihan lagi, air mata Ayah habis terkuras tadi siang. Fir... selama nggak melanggar syariat agama. Kamu harus selalu taat sama suamimu. Bukan cuma perkara akhirat, tapi juga perkara dunia."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...