Bagian 23

11.8K 1.9K 212
                                    

PEKERJAAN, gue sangat setia akan satu kata tersebut. Kalo udah disibukkan soal kerjaan, tidur bisa kurang dari tujuh-delapan jam, makan bisa dirangkap seharian, ponsel nggak pernah lepas dari tangan, dan isi kepala yang selalu memproyeksi tentang hal-hal yang perlu gue dahulukan.

Sudah hampir tiga hari ini, siklus tersebut berulang di hidup gue dan pekerjaan Shafira sebagai sekretaris sangat bergantung dengan pekerjaan gue. Kalau gue sibuk, jelas dia ikutan sibuk. Seharian ini gue sudah memintanya beberapa kali untuk menyalin berkas, dan mem-follow up laporan yang gue butuhkan.

"Yang masih kamu pegang itu dokumen apa?" tanya gue saat dia menyerahkan laporan dari suvervisor yang gue minta untuk direvisi minggu lalu.

"Oh, ini... Ini proposal event bareng anak yatim yang Anda minta pada Abyan waktu itu. Anda bisa membacanya nanti aja, setelah pekerjaan Anda selesai." Dia mengurungkan niatnya saat melihat kondisi pekerjaan gue.

"Debit card  saya masih di kamu, kan? Tolong transfer aja langsung nomor pinnya saya kirim lewat chat." Dia mengangguk dan hendak meninggalkan ruangan, sebelum sesuatu menganggu pikirannya saat langkahnya sudah hampir di dekat pintu. Dia mempermasalahkan soal nominal yang akan gue pake untuk donasi.

Gue berniat untuk memenuhi biaya yang mereka perlukan berapa pun itu sekalipun gue belum melihat proposalnya. Bukan karena ada Shafira, tapi karena Abyan yang mengatakannya. Jaman masih kuliah dulu, dia menjadi laki-laki satu-satunya yang pernah menjabat sebagai bendahara BEM. Tentu bukan tanpa alasan.

Soal keuangan, Abyan punya rekam jejak yang baik dari masih menjabat di himpunan soa, dia orang yang teliti, bertanggung jawab, dan amanah. Yang terakhir itu yang gue suka, uang seratus perak pun bakalan dia balikin kalo itu uang orang lain. Makanya gue nggak pikir panjang waktu dia nawarin donasi, karena gue tahu nominal yang gue donasikan nggak akan dipakai hal lain oleh Abyan.

Sebenarnya beberapa kali kantor juga sering memberikan donasi, asal acaranya jelas, proposalnya benar dan rinci, budget donasi langsung cair. Cuma ribet aja sistemnya kalau harus menghubungi bagian keuangan dulu.

"Anda yakin nggak mau membaca proposal kegiatannya dulu?" Shafira menanyakan hal yang sama untuk kesekian kalinya.

"Saya nggak punya waktu untuk membacanya, kecuali..." gue mengambil jeda dan mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang gue periksa ke arah Shafira.

"Kecuali kamu duduk di sini dan membacakannya untuk saya." Dia terlihat berpikir sebantar, entah kenapa kekhawatirannya begitu mudah terbaca dari wajahnya.

"Just open the door if you feel uncomfortable being alone with me," tambah gue.

"Memangnya boleh? Fotokopinya gimana?"

"Kamu bisa kerjakan itu nanti, itu cuma buat arsip." Akhirnya Shafira memilih opsi yang gue sarankan.

Pada awalnya, gue menyarankan hal tersebut karena gue yakin bisa mengerjakan dan mendengarkan Shafira secara bersamaan. Faktanya, Shafira malah menjadi distraksi terbesar yang menghambat pekerjaan gue. Mata gue nggak bisa fokus untuk memeriksa dokumen kalau Shafira duduk di depan gue kayak sekarang.

Berkebalikan, dia malah terlihat sangat fokus untuk membacakan dan menjelaskan setiap isi dari proposal tersebut. Hingga bagian tempat sempat mengusik gue. "Di mana tempatnya tadi?"

"JungleLand Adventure Theme Park, kawasan Sentul Nirwana, di Bogor." Keluarga dari almarhum nyokap gue tinggal di bogor, dan dulu banget gue pernah diajak jalan-jalan ke tempat wisata tersebut. Sependek ingatan gue, karena wilayah wahana yang lumayan luas, satu zona bermain di hubungkan dengan wahana kereta ke zona lainnya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang